Kediri, 18 April 2019 — Belajar bersama sembari ngopi telah diselenggarakan di Sanggar SBL Ranseba Pujasera Kongan Pare. Acara dipantik oleh Aan Anshori (Gus JIAD), Aak Abdullah Al-Kudus, selaku Presidium Gusdurian Jawa Timur dan Timotius Suwarno, selaku tokoh agama Kristen dan Komunitas Orang Pinggiran (KOPI). Acara didukung oleh, Gusdurian, detasmen87, serta KOPI, dengan tema “Kopi Kebangsaan”. Acara ini juga dihadiri oleh komunitas-komunitas lain, serta warga sekitar dari berbagai lintas agama.
Acara diawali dengan sambutan Anto sebgai tuan rumah sekaligus moderator. Dilanjut dengan para peserta yang saling bergantian mengutarakan kegelisahan atau semangat ikut serta Kopi Kebangsaan ini. Diteruskan sambutan dari Timo, sapaan akrab Timotius Suwarno yang menceritakan kegelisahan organisasi KOPI yang bergerak di bidang kemanusiaan. Menyikapi salah satu peserta yang mengutarakan pesimis memikirkan negara, Timo menjelaskan, bahwa wawasan kebangsaan zaman sekarang kurang toleransi antar sesama bangsa Indonesia. “Siapa yang tak sesuai partaiku maka dia bukan bangsaku,” sindirnya. Ia melanjutkan, “Seharusnya kita bisa memahami ideologi orang lain tanpa memaksakan ideologi kita, itulah Idonesia.” Kemudian, Aak Abdullah Al-Kudus memaparkan tentang keterbalikan bangsa sekarang dengan masa kepemimpinan presiden Abdurahman Wachid (Gus Dur) yang suka perdamaian. Maka terbentuklah Gusdurian, yang berusaha meneruskan nilai-nilai perjuangan Gusdur. Aak berpendapat ada beberapa faktor yang memengaruhi mengapa hari ini sesama orang Indonesia mudah bertengkar, daripada diajak persaudaraan. Faktor utama menurutnya adalah pendidikan, “Karna kita dituntut untuk jadi juara, menjadi pemenang. Konsekuen logisnya adalah dia akan menganggap teman di sekolah adalah lawan, berbeda dengan yang di ajarkan Ki Hajar Dewantara, beliau mengajar tentang pentingnya saling berbagi, dan nilai itu yang sekarang hilang.” Dilanjut dengan pemaparan Aan Anshori yang membicarakan tentang mulai menyebarnya Islamisme. “Islamisme adalah gagasan atau ideologi politik yang menganggap semua yang di luar Islam itu salah,” jelas Aan. Menurutnya bangsa ini krisis intoleran, seperti halnya hasil survei UIN di Jakarta yang ia kutip, Bahwa 60% guru agama di Indonesia adalah intoleran. Salah satu peserta bernama Aji dari Malang (asisten salah satu DPR), berpendapat bahwa kebangsaan kita sudah terkoyak. Ia berharap, bahwa ke depanya akan ada acara serupa ini diadakan lagi dan keberagaman Indonesia tetap dijaga. “Jangan sampai konflik politik identitas yang marak berkembang ini, merusak kesatuan (Indonesia),” tegasnya.