Dimensipers.com — Kamis, (26/09/2019) aliansi mahasiswa Tulungagung menggelar aksi tolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukuman Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) di depan halaman Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tulungagung. Peserta aksi berkumpul di kampus masing-masing pukul 07. 00 WIB. Perjalanan dilanjutkan menuju kantor DPRD Kabupaten Tulungagung.
Aksi tersebut dihadiri oleh 1084 peserta (100 dari Himpunan Mahasiswa Islam, 50 dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, 40 dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, 14 dari Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Tulungagung, 170 dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (STKIP PGRI) Tulungagung, 40 dari Universitas Tulungagung, 100 dari Fakultas Ushulludin Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, 100 dari Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung, 100 dari Fakultas Ekonomi Bisnis Islam IAIN Tulungagung, 150 dari Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Tulungagung, 30 dari Komunitas Tanpa Nama, 50 dari Sekolah Tinggi Agama Islam Diponegoro, 20 dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) STIKIP PGRI Tulungagung, 100 dari PMII IAIN Tulungagung, dan 20 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Abdi Husada Tulungagung).
Asep Setiawan, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa STKIP PGRI Tulungagung, menyatakan motif dalam penyeruan aksinya untuk menuntut keadilan masyarakat. Menurutnya, mahasiswa harus menyuarakan aspirasinya atas nama masyarakat.
Menyoal tuntutan aksi, Asep menuturkan “RUU yang merasa kita tidak digubris dan masih tumpang tindih dengan kesejahteraan masyrakat Indonesia. Dari kami banyak beberapa poin yang kita kaji dan dalam aksi ini. Kita aspirasikan ke DPR Tulungagung untuk disalurkan ke DPR pusat. Untuk poin-poin itu, satu yang saya rasa perlu diperhatikan, yaitu tentang pertanahan.”
Berbeda dengan Asep, Mahendra salah seorang mahasiswa dari STIKES Abdi Husada Tulungagung memberatkan tuntutannya pada RKUHP pasal 432. Pasal tersebut dinilai mengancam perempuan yang pulang malam di atas pukul 22.00. Selain itu juga dianggap gelandangan dan dikenakan denda 1 juta. “Kita sebagai tenaga kesehatan, misalnya kita shift malam kalau kena denda, nanti yang salah siapa? Nanti kalau pasiennya mati yang salah siapa? Terus siapa juga yang bertanggungjawab di rumah sakit?” Ucap Mahendra.
Salah seorang Mahasiswa IAIN Tulungagung, yang tidak ingin disebut namanya menyatakan motif dalam aksi ini adalah memenuhi panggilannya sebagai mahasiswa. Yang mana tidak berwewenang dan tidak bisa bermediasi atau maju sendiri untuk menyuarakan tuntutannya. Adanya aksi adalah sebagai wadah untuk membela negara.
“Yang namanya DPR kan wakil rakyat, seharusnya kebijakannya, ya, memihak kepada rakyat. Kan, demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kalau kebijakan-kebijakan itu merugikan rakyat sendiri apa gunanya demokrasi. Kan, DPR digaji melalui uang rakyat juga, harusnya mereka sebagai penghubung aspirasi rakyat bukan penjilat rakyat. Gitu aja, sih.” Jelasnya.
Adapun tuntutan yang ingin diaspirasikan oleh aliansi mahasiswa Tulungagung disebutkan Tamba, selaku koordinator aksi. “Tuntutan yang ditandatangani tadi antara lain: menolak RKUHP pasal 218, 219, 252, 278, 432, meminta perkuatan RKUHP pasal 604, menolak pelemahan KPK dengan UU KPK dan mendesak presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pencabutan UU KPK serta mengkaji ulang UU KPK di periode selanjutnya, menolak RUU pertanahan pasal 26, 91, dan 95, mendesak pemerintah segera menyelesaikan konflik Papua, mengutuk tindakan represif aparat kepolisian yang tidak manusiawi kepada mahasiswa, dan menindak tegas oknum yang menjadi pelaku penganiayaan mahasiswa, menuntut pemerintah daerah serta menindak tegas oknum penebangan sono keling di Tulungagung.”
Aksi ini berakhir dengan penandatanganan surat tuntutan. Yang mana ditandatangani oleh Calon Ketua DPRD Tulungagung, Kapolres Tulungagung, serta perwakilan mahasiswa yang mengikuti aksi.[] (Nat/Ulm)