Seber­a­pa banyak per­juan­gan yang kita lalui demi men­ca­pai pen­didikan pada tingkat ini? Bera­pa banyak keringat yang bercu­cu­ran dari para guru demi mem­per­juangkan seman­gat per­juan­gan­nya atas nama pen­didikan? Mari kita renungkan.

            Pela­belan guru seba­gai “pahlawan tan­pa tan­da jasa” itu memang benar adanya, mengin­gat per­an guru yang amat kru­sial dalam melawan kebodohan. Dulu, seko­lah guru berna­ma Kweek­sh­cool itu melahirkan para pahlawan ber­jasa besar. Mere­ka berasal dari kelom­pok elite yang mengenyam pen­didikan barat seper­ti hal­nya Ki Hajar Dewan­tara, K.H. Ahmad Dahlan, Tan Mala­ka, dan lain seba­gainya. Penyebu­tan guru kala itu dise­but ndoro menun­jukkan seber­a­pa ia dihor­mati dan dijun­jung ting­gi oleh masyarakat.

            Seman­gat per­juan­gan men­ja­di alasan uta­ma men­ga­pa pada tang­gal 25 Novem­ber 2019 men­ja­di Peringatan Hari Guru Nasion­al di Indone­sia. Kala itu, per­juan­gan dim­u­lai oleh Per­sat­u­an Guru Hin­dia Belan­da yang dike­nal den­gan PGHB pada tahun 1912. Pada masa ini, segala sesu­atu dibedakan den­gan kas­ta yang dim­i­li­ki oleh sese­o­rang. Bahkan pen­didikan pun juga berlaku sis­tem yang sama. Para guru yang berasal dari bang­sawan elite hanyalah men­ga­jar para peser­ta didik tingkat dua. Sek­i­tar dua dekade sete­lahya, PGHB ini men­gubah namanya men­ja­di Per­sat­u­an Guru Indone­sia. Hal ini ten­tu menge­jutkan kaum Belan­da kala itu. 

            Awal­nya per­juan­gan para guru ini hanyalah seba­gai unjuk rasa atas keti­dakadi­lan hak dan per­samaan nasib yang mere­ka ter­i­ma. Tetapi seir­ing men­galirnya wak­tu sikap benih-benih akan kesadaran kebangsaan dan seman­gat per­juan­gan kian men­guat. Sete­lah per­juan­gan lama yang dilalui oleh para guru, organ­isasi ini kem­bali dibungkam keti­ka Indone­sia dial­ih jajahkan kepa­da Pemer­in­ta­han Jepang, lebih tepat­nya bangsa Belan­da dipak­sa meny­er­ah pada tahun 1942. Jepang beram­bisi mem­bu­at Asia Timur Raya den­gan sem­boy­an Hakko Ichiu (kemak­mu­ran bersama Asia Raya)  dan Indone­sia men­ja­di wilayah poten­sial yang akan menopang ambisi besar tersebut. 

            Jepang melarang semua bib­it dan memangkas habis para induk lem­ba­ga organ­isasi kala itu. PGI tak bisa berku­tik dan organ­isasi guru malah men­ja­di stag­nan dalam wak­tu yang tidak bisa diten­tukan. Pen­er­a­pan indok­tri­nasi ide­olo­gi hakko ichiu meng­haruskan seo­rang guru untuk mem­ber­lakukan pen­didikan sesuai den­gan kemauan Jepang. Indok­tri­nasi ini bertu­juan untuk meng­ha­puskan Ide­olo­gi Indone­sia Raya. Guru ibarat wayang yang dig­er­akkan oleh para dalang yaitu pen­ja­jah Jepang untuk mem­bu­at alur ceri­ta sesuai yang mere­ka inginkan. 

            Keke­ja­man yang dilakukan pen­ja­jah Jepang telah menum­buhkan seman­gat rev­o­lusi bangsa Indone­sia. Keti­dakadi­lan dan pem­ber­lakuan romusha ter­lan­jur mem­bekas. Selain itu juga meningkatkan har­ga diri masyarkat demi mem­per­ta­hankan ide­olo­gi bangsa. Mere­ka mem­per­taruhak­na har­ga, harkat, marta­bat, jiwa bahkan raganya hanya demi menyan­dang sta­tus kemerdekaan Indonesia. 

            Lalu, sete­lah ter­jer­at sekian lama akan per­juan­gan, kita hanya akan berdiam diri meli­hat alur pen­didikan yang seper­ti sekarang ini? 

Seo­rang wani­ta yang dilahirkan den­gan keing­i­nan kuat untuk men­ja­di sese­o­rang yang berguna