Beberapa dari kalian mungkin ada yang sudah mengetahui apa itu mural. Jika dari kalian ada yang belum mengetahui mural, kalian bisa berjalan ke kota-kota atau desa-desa, coba lihat di dinding-dinding bangunan di sekitarnya. Adakah sebuah coretan di sana?
Coretan berupa gambar yang terdapat di dinding itulah yang dinamakan mural. Lebih tepatnya, mural adalah seni, seni melukis di dinding, seni berani berekspresi, dan seni memerdekakan bakat diri.
Menurut Ryan Sheehan Nababan dalam jurnal ICADECS yang berjudul “Karya Mural Sebagai Medium Mengkritisi Perkembangan Zaman”, mural merupakan salah satu bentuk seni rupa, atau lebih tepatnya seni lukis, yang biasanya menggunakan dinding atau tembok sebagai medianya. Atau dapat juga menggunakan media besar dan datar lainnya, seperti langit-langit, papan besi, maupun kain, baik eksterior maupun interior.
Mural yang sering kita jumpai biasanya gambar berupa kartun atau lukisan dari tangan terampil untuk memberikan keindahan bagi orang-orang yang berjalan melewatinya. Mereka yang memiliki keahlian melukis, dan di sisi lain sedang sedih atau bahagia dengan keadaan negara, mereka menuangkan semua itu dalam bentuk mural.
Jika kita menengok ke sejarahnya, mural sudah ada sejak abad ke-20, sejak periode revolusi. Dilansir dari phiradio.net, kebebasan berpendapat dikunci oleh aparat sejak perang dunia kedua. Masyarakat hanya diperbolehkan mendengarkan berita-berita baik tentang penjajah.
Perkara tersebut membuat gejolak pada pemuda-pemuda Indonesia. Mereka merasa kebebasan berpendapat sudah direnggut, maka tidak cukup diam saja. Mereka mulai berani memberikan pesan-pesan semangat untuk mengusir penjajah melalui seni mural. Dari sinilah seni mural itu ada.
Semakin berkembangnya zaman, seni mural tak hanya digunakan sebagai mengkritik atau berpendapat mengenai pemerintahan. Tapi mulai digunakan untuk memerdekakan diri seseorang dalam mengekspresikan keahliannya bahkan sebagai tempat pengiklanan.
Sejak pertama adanya seni mural, sudah dianggap sebagai media berpendapat dan mengkritik. Mulai dari mural bertuliskan “Merdeka atoe Mati”, pembelaan terhadap para pembela HAM, sampai akhir-akhir ini yang ramai diperbincangkan “Jokowi: 404 Not Found”. Mural inilah yang akhirnya ramai di masyarakat karena terdapat wajah yang dianggap seperti Joko Widodo (Jokowi), Presiden Indonesia, hingga akhirnya dianggap sebagai pelecehan lambang negara.
Dikutip dari cnnindonesia.com, tulisan “404 Not Found” merupakan istilah teknis dan kode status HTTP. Artinya, browser telah terhubung dengan server, tetapi halaman web yang ingin diakses tidak dapat ditemukan atau dijangkau.
Selain itu, dalam unggahan Twitter @KRMTRoySuryo2 menjelaskan maksud asal mula “404 Not Found”. Sejarahnya, Conseil Européenpour la Recherche Nucléaire (CERN) konon memiliki Ruang 404. Namun, sebenarnya ruang itu tidak pernah ada. Maka, muncullah mitos kalau file yang dicari-cari tidak ketemu, maka ditulis “404 File Not Found”.
Pun dengan mural yang disebut-sebut dengan “mural Jokowi. Setelah mengetahui mural itu viral, aparat meminta untuk menutupi gambar tersebut dengan cat hitam. Dan dianggap sebagai pelecehan lambang negara.
Lalu salahkah seni mural di sini? Mereka yang melukis mural tersebut tak lain hanyalah sebagai ekspresi seni. Mereka tidak mencantumkan nama Jokowi dalam lukisannya. Mural itu hanya gambar wajah disertai tulisan “404 Not Found”.
Setelah ramainya perbincangan mural, tak lama setelahnya ada aksi “Gejayan Memanggil”. Aksi tersebut dengan gencar mengadakan lomba mural dan mengajak seniman yang ada di Yogyakarta. Fantastisnya, siapa pun akan mendapat nilai lebih jika muralnya cepat dihapus oleh aparat.
Mengingat perkara di atas, akan terkesan mebgherankan jika di negara demokrasi, negara yang harusnya menghargai kebebasan menyampaikan aspirasi, malah terkecoh dengan seni mural. Padahal, mural sudah dianggap sebagai media masyarakat, terutama di kalangan remaja, sebagai kotak pesan kepada pemerintah. Namun, kini ruangnya malah dibatasi.
Penulis: Wanda
Editor: Ulum