Sore itu, mene­duhkan seti­ap insan untuk duduk dan berdiskusi di hala­man rumah komu­ni­tas sas­tra. Seti­ap napas yang hem­bus ditem­pat itu adalah napas kolek­tif sesung­guh­nya. Den­gan kopi hitam, lan­tu­nan puisi dari salah satu maha­siswa mam­pu men­gubur sunyi.

Adi melan­tunkan puisi pada sesi ter­akhir. Ia men­ja­di salah satu sas­trawan yang pal­ing banyak men­da­p­at dukun­gan di kalan­gan maha­siswa. Den­gan banyaknya per­mintaan untuk tampil, men­jadikan Adi seo­lah – olah men­ja­di artis maha­siswa. Sehing­ga, mem­bu­at seba­gian orang men­ja­di gan­drung keti­ka menye­but namanya. Di lain sisi, seo­rang dari juru­san Fil­safat bertanya – tanya men­ge­nai Adi dan puisinya yang menu­rut dia tidak sein­dah isinya.

Maha­siswa Fil­safat itu berna­ma Niam. Ia juga terke­nal kare­na beber­a­pa karyanya banyak mengkri­tik para sas­trawan terke­nal. Namun, tin­dakan Niam bukan untuk unjuk gigi dalam eksis­ten­si absurd. Seman­gat­nya berasal dari sejarah orang tuanya yang dipen­jara kare­na mengkri­tik pemer­in­tah den­gan puisi. Perasaan yang men­dalam men­ge­nai keadaan orang tuanya itu meny­eret dirinya dalam kon­flik perbe­daan pen­da­p­at men­ge­nai sastra.

Diskusi di Rumah Fil­safat itu berakhir. Den­gan diirin­gi teri­akan dan tepuk tan­gan Adi mer­am­pungkan bacaanya. Namun, di sisi lain Niam sama sekali tidak bereak­si. Ia malah men­gatakan kepa­da teman di samp­ingnya bah­wa puisi Adi san­gat buruk dan hanya berisi perasaan prib­adinya yang cen­derung cengeng.

Teman Niam men­jawab, “Lan­tas, menu­rut­mu puisi yang baik itu bagaimana?”

Puisi itu seharus­nya berisi kri­tikan dan moti­vasi mem­ban­gun, bukan puisi cin­ta yang mendekrip­sikan perasaanya. Menu­rut saya san­gat ego­is dan cen­geng mengin­gat akhir – akhir ini banyak dari buku sas­tra yang laris berisikan perasaan men­dayu penulis. Oleh kare­nanya Adi tidak lain adalah sas­trawan musi­man. Men­co­ba mengam­bil zaman seba­gai ajang men­cari kese­nan­gan baik kete­naran maupun perem­puan”. Jelas Niam.

Den­gan terge­sa – gesa Adi kem­bali ke tem­pat duduk dan berse­be­la­han den­gan teman Niam. Dia­log mere­ka pun ter­den­gar Adi. Seketi­ka itu Niam ter­diam meli­hat Adi ada di sebe­lah teman­nya. Suasana men­ja­di murung dan sepi. Lalu Adi pulang mem­bawa perasaan marah.

Keesokan harinya Adi mem­pub­likasikan puisi dalam blog prib­adinya yang berbun­yi “Ham­paran sabana mem­bawaku dalam sab­da pal­su. Melirik seti­ap bait yang tak teru­cap dalam kalbu. Entah apa yang mer­in­tih itu yang ku tahu kau maha­siswa Fil­safat tak tahu malu.”

Niam tahu bah­wa puisi terse­but adalah ungka­pan perasaan Adi yang tidak ter­i­ma dikri­tik Niam. Adi meli­hat hal itu dan mey­o­dor­kan komen­tar “Bahasa apa lagi yang mam­pu diu­tarakan seo­rang jablay selain kata – kata lunglai”. Pertengkaran mere­ka ditang­gapi banyak maha­siswa. Sebab, karya Adi memang men­da­p­at banyak pem­i­nat dari maha­siswa. Sehing­ga mem­bu­at komen­tar Niam banyak men­u­ai keca­man dari teman – teman Adi. Namun, juga tidak sedik­it yang men­dukung perkataan Niam.

Beraw­al den­gan komen­tar berlan­jut pada sebuah karya prib­a­di dan isu yang banyak bermuncu­lan. Dalam salah satu karyanya, Niam men­gatakan “Sas­trawan itu tidak per­lu men­dayu. Mere­ka yang ter­lalu ser­ing men­gungkap­kan kata cin­ta sebe­narnya hanya menc­in­tai dirinya. Jika dia benar menc­in­tai, maka jalan­nya adalah keseder­hanaan bahasa dan keren­da­han hati. Sikap terse­but banyak ter­da­p­at dalam bait puisi para aktivis dan pemu­da idealis”.

Pertengkaran antara Adi dan Niam sam­pai mem­pen­garuhi pemil­i­han pres­i­den maha­siswa. Seti­ap calon biasanya mengkam­pa­nyekan dirinya lewat para sas­trawan dan maha­siswa ter­pan­dang agar banyak men­da­p­at suara. Adi pun dip­il­ih seba­gai penyokong calon pres­i­den maha­siswa nomor urut 2. Menge­tahui hal ini, Niam den­gan berge­gas menuliskan komen­tar pedas dalam blog pribadinya.

Niam menuliskan bah­wa sas­tra adalah napas yang indah tidak keruh oleh poli­tik dan polusi kemu­nafikan. Berbekal bakat berba­hasa, sas­tra di tem­patkan­nya di ladang kee­go­isan berlabuh. Bagaimana nasib kata yang telah din­odai penyem­bun­yian fak­ta. Nada yang pal­ing mem­bosankan adalah kata “Aku berdiri di sini untuk kalian wahai raky­atku”. Lalu, ia meny­o­dor­kan selem­baran puisi tan­pa tahu bah­wa kata itu menyem­bun­yikan fak­ta. Kare­na niat baik yang diungkap­kan adalah motif untuk ter­li­hat baik sedan­gkan kata seder­hana meru­pakan cin­ta sebenarnya.

Adi meli­hat kata – kata Niam. Den­gan segera ia mem­bat­alk­an perseku­tu­an­nya den­gan Pasan­gan calon (Paslon) nomor 2 dan menyam­paikan bah­wa keti­ka aku menyetu­juinya, otoma­tis aku akan ter­de­pak dari tem­pat ku seba­gai sas­trawan. Bukan tan­pa alasan, namun aku telah menge­tahui bagaimana kata ditem­patkan den­gan baik.

Ket­ua Paslon nomor 2 men­jawab, “Kena­pa demikian? Bukankah dalam berpoli­tik sas­tra seba­gai wajah yang akan dil­i­hat oleh mere­ka. Jika kau mem­ban­tuku, aku akan mem­ber­imu sedik­it uang”.

Lebih baik berikan uang­mu ke pem­bual lain. Kare­na ter­lalu banyak aku men­ja­di hiasan dind­ing yang menakjubkan tiap orang. Sekarang mere­ka akan meli­hatku den­gan seman­gat baru. Kata dalam sas­tra itu lebih pan­tas bertem­pat di belakang mere­ka yang ter­bungkam ser­ta mere­ka yang tertin­das. Apakah sudah jelas wahai calon penin­das?”, tim­pa Adi.

Seketi­ka itu Paslon nomor 2 per­gi tan­pa berka­ta satu kata pun. Ber­jalan 2 ming­gu blog milik Adi mati tan­pa puisi dan esai sama sekali. Meli­hat­nya, Niam kebin­gun­gan. Batin­nya, “Apakah dia berhen­ti berpuisi?” Prasang­ka Niam terny­a­ta salah, tiga hari kemu­di­an tepat hari Ming­gu Adi mener­bitkan antolo­gi puisi berjudulkan “Ter­be­lakang Ruang Ter­bungkam”. Isi puisi itu mem­bu­at Niam ter­diam keti­ka mem­ba­canya. Kare­na buku terse­but berisi ten­tang desa ter­pen­cil dalam suatu wilayah yang tidak per­nah men­da­p­at ban­tu­an dari pemerintah.

Niam ter­me­nung dan beren­cana untuk men­e­mui Adi dalam diskusi yang dilak­sanakan hari Selasa. Hati Niam gun­dah meli­hat kri­tik yang dibu­at­nya berbuah peruba­han cara pan­dang sese­o­rang. Datanglah hari Selasa yang ditung­gu – tung­gu, mere­ka berte­mu den­gan ekspre­si canggung.

Adi mem­bu­ka perbin­can­gan “Niam bagaimana kabarmu?”.

Aku baik. Perke­nalkan aku bersama temanku Fati­mat­ul Nis­bi”, jawab Niam.

Halo aku Adi”, tutur Adi sem­bari men­gu­lur tangan.

Ini dia sas­trawan kita”, goda Niam.

Aku per­nah baca puisimu bagus menu­rutku, kebanyakan men­ge­nai cin­ta ya?”, Nis­bi mulai mem­bu­ka pembicaraan.

Benar aku menulis banyak men­ge­nai cin­ta. Namun, aku mulai meli­hat ada hal yang lebih pent­ing per­i­hal harus men­gungkap­kan perasaan yakni kemanu­si­aan dan segala per­masala­han keti­dakadi­lan yang ada”, jelas Adi.

Nis­bi menam­bahkan bah­wa menu­rut­nya semua hal yang memang ada dalam diri manu­sia itu pent­ing. Tidak melu­lu ter­hadap keti­dakadi­lan dan penin­dasan. Manu­sia kan san­gat kom­pleks, jadi bukan pada alur mana yang benar. Namun bagaimana kita menyikapi seti­ap per­masala­han kehidu­pan yang ada.

Niam yang menden­gar perny­ataan Nis­bi mer­agukan, “Kok kamu berka­ta demikian, bukan­nya keti­dakadi­lan adalah per­masala­han serius dan per­lu perhatian?”

Tidak Niam, semua yang ada dalam diri manu­sia adalah pent­ing, bahkan perasaan­nya itu. Jan­gan­lah kita terko­tak dalam jenis tujuan dan urgen­si yang sama. Kita ini diko­dratkan untuk berbe­da. Maka dari itu, berbe­da bukan­lah hal yang patut dike­cam. Bahkan jika memang per­lu dike­cam maka biar­lah hal terse­but ter­ja­di. Dalam ruang dan wak­tu yang berdialek­ti­ka. Perbe­daan itu yang menye­babkan manu­sia paham beta­pa bah­wa mere­ka dis­atukan dalam iden­ti­tas kodrati yang sama yakni manu­sia”, jelas Nis­bi pelan-pelan.

Niam dan Adi son­tak mengek­spre­sikan hal tak ter­duga. Mere­ka ter­diam lalu menun­duk. Sem­bari mem­be­narkan perkataan Fati­mat­ul Nis­bi. Den­gan perkataan­nya Nis­bi telah mem­o­tong seti­ap ide­al­isme dan kesadaran yang mere­ka anggap seba­gai pusat.

Kau benar Nis­bi. Men­ga­pa kau bisa berpikir demikian?,” tanya Niam.

Apakah kalian tahu bah­wa nama Nis­bi ini dibu­at ayahku agar suatu saat aku bertanya apa itu Nis­bi? Lalu ayahku den­gan bang­ga men­gatakan bah­wa Nis­bi itu­lah nilai pun­cak dari pen­ca­pa­ian manu­sia. Mere­ka yang ter­be­leng­gu ide­al­isme dan tujuan poli­tis akan ber­jalan den­gan kon­flik. Maka kau adalah din­gin di kala terik dan kau embun pagi di kala malam. Jadikan dirimu bergu­na wahai Fati­mat­ul Nis­bi”, ceri­ta Nisbi.

Ayah Nis­bi adalah seo­rang sufi dan penyair. Sas­trawan pal­ing terke­nal di masa 90-an. Puisinya dise­but seba­gai awal mula Nis­bi mulai dibicarakan.  Puisi itu berjudul “Menyadari Nisbi”.

Apa kalian tahu arah ibadah?

Ibadah itu ber­jalan tan­pa arah

Men­er­jang hitam dan putih

Menu­ju yang suci

Darah dari nadi yang telah menden­gar sunyi

Mere­ka menyadari bah­wa Nis­bi adalah inti

Baik yang kanan atau kiri

Baik yang telah mati atau masih dibuahi

Sedik­it pema­paran dari penulis bah­wa “Nis­bi” adalah nilai yang akan ter­ja­di keti­ka manusui mulai menyadari keaadaanya. Hal ini menu­rut penulis akan men­ja­di nilai pal­ing baru dan ting­gi yang akan men­jadikan manu­sia seba­gai abdi dan sufi. Kare­na kita ter­lalu larut dari gelom­bang kon­flik yang tia­da akhir. Untuk itu menyadari Nis­bi akan men­jadikan cara pan­dang baru yang meman­dang suatu kon­flik seba­gai teater yang harus dilak­sanakan seba­gai pemain. Den­gan kesadaran untuk memainkan per­an yang telah ditentukan.

Penulis: Fer­dian
Redak­tur:
Nata­sya