Ini­lah aku, Fanan.  Boc­ah istime­wa yang diberkahi Tuhan den­gan ibu sabar dan penyayang. Aku meng­habiskan banyak wak­tu bersamanya. Mulai dari mem­bu­atkan sara­pan, men­gan­tar ke seko­lah, men­ge­lap noda di pipiku, dan banyak hal lain.

Dahu­lu sekali secara sem­bun­yi-sem­bun­yi aku per­nah memer­go­ki  perem­puan paruh baya itu terse­du sem­bari berib­adah. Samar-samar aku juga menden­gar per­mo­ho­nan ibu yang meng­harap kesem­buhanku. Kala itu aku tak tahu menahu den­gan apa yang ter­ja­di, namun ingatan terse­but terus memu­tari piki­ranku sam­pai sekarang. Aku men­duga keja­di­an men­guras air mata yang ibu ala­mi dise­babkan oleh sulit­nya mengkon­disikan diriku. Akan tetapi, sela­ma ini  dirinya  senan­ti­asa teguh merawatku.

Saat bera­da dilu­ar rumah, banyak raut hen­dak men­cibir lakuku. Ya, aku memang cen­derung ter­li­hat sedik­it agre­sif, sulit men­gen­da­likan emosiku, dan sukar bersosial­isasi. Juga eng­gan dis­en­tuh dan engggan bers­ing­gung. Selain memasang mimik wajah yang masam, orang sek­i­tar acap­kali  men­ertawakan gelakku yang ter­li­hat asik bermain den­gan duni­aku sendiri.

nanana.. yayaya..”  berse­nan­dung dan berlari kesana kemari adalah kesukaanku.

Kadan­gkala mere­ka memang­gilku manu­sia aneh keti­ka meli­hat tingkah laku diriku. Hing­ga suatu hari, ibu dipang­gil ke ruan­gan Bimbin­gan Kon­sel­ing (BK).

Bu, kami harus mem­per­tim­bangkan kelan­ju­tan anak ibu di seko­lah ini. Teman-teman seke­las­nya kesuli­tan fokus kare­na kegaduhan yang tidak bisa kami kenda­likan” Kata guru BK.

Menden­gar hal terse­but, ibu ter­me­nung. Selepas keja­di­an pemang­gi­lan guru BK,  aku tak lagi berseko­lah. Di per­jalanan pulang, aku terus meng­ger­akkan tubuhku secara agresif.

brokk.. klon­teng.. brokk..brokk!” barang-barang di mobil berser­akan. “Nak, diam!” teri­ak ibu den­gan wajah mena­han amarah.

Sesam­painya di rumah, ibu memelukku. “Plakk” aku menepis pelukan itu kare­na merasa tidak nya­man. “Maaf ya, nak. Ibu tadi tidak bermak­sud untuk mene­r­i­akimu.” Kata ibu den­gan lem­but. Aku pun hanya terdiam.

***

Sore itu air Tuhan ter­jun begi­tu deras­nya, ten­tu saja aku akan bermain hujan. Ibu ten­gah menikmati the secara selon­jo­ran dan meli­hat tele­visi saat aku sudah berlari men­er­o­bos hujan. Keti­ka memang­gil ibu dari kaca jen­dela, pan­dan­ganku ter­al­ihkan pada sebuah ben­da  dalam TV seper­ti kipas rak­sasa, ia ter­li­hat ting­gi dan megah. Cepat-cepat aku masuk den­gan baju yang masih basah kuyup guna meli­hat ben­da terse­but lebih dekat.

Ibu keheranan meli­hat boc­ah­nya yang sela­ma ini tak bisa diam, sekarang mel­on­go dan anteng di depan TV.

Nak, apakah kamu baik-baik saja?” Tanya ibu

Ibuu aku ingin itu buu!!!” keti­ka tayan­gan itu sudah menghi­lang sam­bil menun­juk ke arah televisi.

Mata ibu kemu­di­an berbinar saat aku bertanya ten­tang ben­da yang sedari tadi menarik perhatianku.

Bu, itu apa?” Tanyaku,

Itu kin­cir angin, nak. Apakah kamu menyukainya?”

Wow! Apa itu kin­cir angin? Kena­pa dia begi­tu besar? Itu ter­bu­at dari apa? Dan kena­pa dia berputar? Apakah itu kipas angin untuk rak­sasa, bu?” ungkap­ku secara cepat.

Heheh, bukan. Jika kamu ingin menge­tahuinya, bulan depan per­gi bersama ibu, ya?

Menden­gar per­tanyaan terse­but, ibu masih tak menyang­ka bah­wa aku sepe­nasaran itu. Meli­hat antu­si­asku atas kin­cir angin, sebu­lan sete­lah­nya, ibu men­ga­jakku ke suatu tem­pat yang dipenuhi kin­cir angin.

Sebelum keberangkatan kami, aku giat mem­pela­jari seluk-beluk kin­cir angin. Apa itu kin­cir angin, sia­pa pence­tus­nya, untuk apa  dicip­takan, bagaimana  dicip­takan, dan banyak per­tanyaan lain­nya. Ibu mem­per­hatikanku dari kejauhan, dirinya mulai mem­pun­yai hara­pan ter­hadap­ku. Aku kem­bali memi­li­ki minat bela­jar menulis dan mem­ba­ca. Ajaib­nya belum ada sebu­lan, kemam­puan mem­ba­ca dan menulisku men­gala­mi kema­juan, mem­o­riku ber­jalan den­ga cepat. Bahkan aku juga telah bisa menggam­bar ser­ingkali gam­baranku adalah kin­cir angin. Bisa dibi­lang, aku ter­ob­sesi ter­hadap ben­da tersebut.

Beber­a­pa hari kemu­di­an, tiba saat­nya per­gi ke desa kin­cir angin yang jaraknya 78 kilo­me­ter dari rumah kami.  Sela­ma per­jalanan, pem­bicaraan men­ge­nai kin­cir angin mewar­nai obrolanku den­gan ibu sam­pai kami tiba di Desa Kin­cir Angin. Aku pun kegi­ran­gan sam­bil lom­pat-lom­pat dan memeluk ibu. Air mata ibu tak dap­at ter­ben­dung meli­hatku yang tak lagi sen­si­tif pada sen­tuhan fisik. Kami pun berke­lil­ing dan bercengk­era­ma den­gan war­ga setem­pat mem­bicarakan hal yang pal­ing kusukai – kin­cir angin.

***

Lam­bat laun, gejalaku yang hyper­ak­tif — sen­si­tif telah berku­rang. Sam­pai akhirnya kini telah meng­in­jak 18 tahun. Kesukaanku ter­hadap kin­cir angin juga masih sama. Bahkan sekarang, aku memi­li­ki keing­i­nan untuk mendirikan kin­cir angin bagi banyak orang. Per­jalananku men­ca­pai impian terse­but masih cukup pan­jang, tapi kini aku tak gen­tar, tak akan ada lagi cer­caan yang mam­pu men­em­bus semangatku. 

Penulis: Novin­da
Ilus­tra­tor: Vidya
Edi­tor: Vidya