Dimensipers.com — Tercatat dalam data Direktorat Pendidikan Pondok Pesantren, ada 40 pondok pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag) dengan estimasi 4500-an santri bermukim dan 600-an santri tak bermukim.
Karangrejo, salah satu kecamatan yang terletak di utara Tulungagung, memiliki tiga pondok pesantren yang terdaftar secara resmi di Kemenag, yakni Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Nurul Iman yang terletak di Desa Karangrejo, Pondok Al Ghazali yang terletak di Desa Punjul, dan Pondok Miftahul Ulum yang terletak di Kelurahan Sukowiyono.
Punjul sebagai kelurahan terluas di bawah Kecamatan Karangrejo, memiliki beberapa pondok TPA yang melatih kemampuan baca-tulis Quran bagi anak-anak, serta pondok tasawuf Nuraniah di dusun Dadapan yang dikelola oleh Khamim.
Pondok yang menekankan pada penyucian diri tersebut dalam aktivitasnya mengundang perdebatan di tengah masyarakat Desa Punjul. Beberapa ritual dinilai sesat dengan konsep Islaminya yang berbeda dengan yang lain.
***
Khamim Pengasuh Pondok Nuraniah
Di antara rimbunnya taman, seorang laki-laki paruh baya duduk di sebuah kursi besi berwarna biru laut. Masker scuba-nya turun menutupi dagu. Badannya kecil, namun suaranya menggelegar. Di sekelilingnya berkumpul enam pemuda, memegang pena, dan memasang telinga. Ia bercerita perjalanan panjang menuju Dadapan hari ini.
Jauh sebelum Khamim mewujudkan Dusun Dadapan seperti hari ini, kawasan ini merupakan daerah yang terisolir di delta kali mati. Abangan turut mendominasi warna kehidupan di Dadapan sebelum kian masifnya perkembangan Islam.
Di zaman aman itu, bahkan masih diliputi kekalutan akan dicurinya tali pocong bagi yang meninggal pada Selasa Kliwon. Bagi yang segera melahirkan, mereka menenteng gunting pemotong. Eksistensi pemuka agama di Dusun Dadapan saat itu masih belum mampu membendung hal tersebut.
Dengan latar belakang pendidikan pesantren yang ditempuhnya selama 12 tahun di Pondok Pesantren Al-Ghozali, membuat Khamim mengetahui ada metode pendidikan yang tak sekaku pondok pesantren pada umumnya. Menurutnya, ada pendidikan kejiwaan rohani yang mengarahkan kedekatan manusia kepada Allah, baik secara fisik maupun metafisik. Sehingga, Khamim memutuskan untuk mendirikan Pondok Nuraniah yang memberikan materi-materi tersebut kepada anak-anak muda sesuai dengan kejiwaannya.
“Yang melatarbelakangi saya adalah rasa keperdulian, tergugah, dan sebuah kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan tentang agama, tentang kebaikan,” ujar Khamim.
Beragam santri kebatinan yang berusia senja pun datang dari berbagai daerah di Jawa Timur. “Disini memang pondok rohani, akan tetapi muridnya tidak hanya anak-anak pondok. Justru yang banyak menghadiri adalah orang-orang tua. Santri yang mukim saat ini ada 3, tapi yang ngga mukim banyak,” pungkasnya.
Pondok Nuraniah didirikan tahun 1999, setahun paska krisis ekonomi 1998. Khamim berniat mengumpulkan anak-anak muda untuk bertukar kawruh. Namun, serangkaian pertikaian buntut pergantian rezim, turut memanaskan kondisi sosial di tengah masyarakat. Bayang-bayang kekerasan atas apa yang terjadi waktu itu membuat masyarakat kian sukar membuka diri.
Intoleransi dan diskriminasi agama dan kepercayaan tercatat di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief atau setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan yang tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar yang setara.
Mengenai kondisi intoleransi di Indonesia, sejauh ini belum ada data yang memetakan kondisi ini secara komprehensif. Data yang ada umumnya merupakan indikator ataupun survei persepsi atas praktik yang terjadi.
Social Progress Imperative merilis laporan tahunan Social Progress Index yang melihat kualitas kemajuan sosial suatu negara. Penilaian dilakukan atas tiga faktor utama, yaitu basic human needs, foundations of wellbeing, dan opportunity. Ketiga faktor tersebut dijumlahkan dengan angka 100 sebagai nilai tertinggi.
Melihat tingkat toleransi di Indonesia, komponen yang disorot adalah toleransi dan inklusi dalam faktor opportunity. Skor yang tercatat terus menunjukkan tren yang cenderung meningkat. Pada tahun ini, skor toleransi dan inklusi Indonesia adalah 59.92, hampir dua kali lipat dibandigkan skor intoleransi naik pada 2015 yang mencapai 32,30.
Freedom of religion di Indonesia memperoleh rapor merah dengan skor 2.38, menempatkan Indonesia di urutan buncit peringkat intoleransi, nomor 140 dibanding negara lain. Discrimination and violence against minorities dengan skor 7.40, menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat ke 122 paling toleran terhadap diskriminasi dan tindak kekerasan kepada kelompok minoritas. Secara keseluruhan, Indonesia menempati posisi 68 dari 163 negara lain di kategori Oportunity tersebut.
Diskriminasi turut terjadi pada Khamim dan pondok yang didirikannya. Berbagai macam julukan tak mengenakkan disematkan kepada Pondok Rohaniyah yang belum genap berusia 1 tahun, mulai dari aliran sesat, Islam padang-peteng, dharma gandul, dan lain sebagainya.
“Waktu itu ada anak-anak muda yang seneng bergerombol ngedekne geng, gelut. Lha dikira kami juga yang seperti itu, (waktu itu, ada anak-anak muda yang suka bergerombol membuat geng untuk berkelahi. Dikiranya, kami juga seperti itu, red.),” ujar Khamin.
Buntut stigmatisasi tersebut membuat Khamin memperoleh ultimatum-ultimatum dari kelompok besar, pondok pesantren, hingga tokoh-tokoh masyarakat. Stigma bahkan masih berlangsung hingga saat ini.
Sentimen negatif juga muncul dari akar rumput. Beberapa warga yang berhasil kami temui mengungkapkan bahwa pondok itu memiliki aliran sesat, aliran yang tidak bisa diikuti oleh semua orang, hingga melabeli aktivitas di Ruhaniah sebagai tasawuf liar.
Kepala Desa Kelurahan Punjul, Makin, ketika ditemui mengungkapkan hal yang juga tak jauh berbeda. “Itu sekolah apa, ya, nyebute, sekolah batin. Tapi memang yang ikut di situ orang jauh-jauh. Ngajinya Nahwu Sharaf. Tapi ya gitu, itu ndak untuk kabeh wong. Piye, ya, lik aku oleh omong, dari agama memang baik tapi kono iku kaya ora salat, ora papa, (sebutannya sekolah batin. Memang yang mengikuti orang-orang jauh. Mengaji Nahwu Sharaf. Tapi, tidak untuk semua orang. Menurut saya, agamanya memang baik, tapi di sana seperti tidak melaksanakan salat, dan sebagainya, red.),” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan Pondok Nuraniah juga bukanlah pondok pesantren yang resmi. Pondok tersebut tidak memiliki aspek legal di depan hukum, karena tidak memiliki surat pengesahan sebagai pondok pesantren.
“Itu bukan pondok, itu punya Pak Khamim. Tapi gini, itu sampai sekarang, lek ku ngarani belum tertulis, belum ada izin formal. Cuma ada sing ngaji di situ, ya, ramai,” ungkap Makin. “Tapi, ya, kembali ke pribadi masing-masing. Intinya, selama bisa membedakan mana yang baik mana yang ndak, ya, tidak masalah,” pungkasnya.
Beberapa warga yang berhasil ditemui pun tak semuanya menempelkan stigma atas aktivitas yang dilakukan di Pondok Nuraniah. Kardi, salah seorang warga menuturkan bahwa ia telah mengenal baik pondok tersebut sedari ia kecil. Warga lain, Kholis tak mendapati ada yang salah dengan aktivitas di Pondok Nuraniah. “Pripun, ya, aktivitase ya nyedekne ning Pangeran ngono, (aktivitasnya mendekatkan diri kepada Tuhan, red.),” ujarnya.
Mendengar berbagai pendapat kanan-kiri, Khamim tanggapi dengan santai, “prinsip adalah prinsip. Kalau kita bersikap baik maka kita harus terus maju dan maju. Selama tidak menghancurkan, tidak membahayakan, dan membangun, meskipun prinsip membangunnya tidak sama dengan kita. Baru kita jadi bijak.”
***
Pukul 22.05 WIB, lima pemuda pemudi menapaki jalan sepi bagian barat Desa Dadapan. Langkahnya kian mantap menuju sebuah surau kecil dengan lampu LED putih yang tak bergeming, menyinari tembok hijau dan lantai merah maroon. Di undakan menuju terasnya, seorang santri dengan peci miring tertidur. Satu keluar, satu lagi baru datang.
Tim Dimensi, pertama kalinya menyambangi kediaman Khamim sebagai pemilik sekaligus pengelola harian pondok tersebut. Istri dari Khamim menyambut hangat kami. Setelah sekejap berjabat tangan, kami segera berpindah menuju musala, tempat di mana ‘kelas tasawuf’ ala Khamim dilaksanakan.
Setengah jam berselang, beberapa santri telah berdatangan. Tiga lelaki dewasa, beserta seorang perempuan, satu pasangan diantaranya. Khamim muncul dengan Koko putih sederhana. Ia membuka kelas dengan menanyakan mengenai apa pentingnya membahas kehidupan. Dari sana ia memulai kelas singkatnya.
Menurut Khamim, manusia memulai perjalanannya dari dunia ruh, lahir, mati, alam kubur (penantian), dan berakhir di dua pilihan, surga atau neraka di alam akhirat. Dengan sebuah ilustrasi kuda putih yang awalnya penulis kira Pegasus. Khamim menjelaskan, “Iki Buroq, terinspirasi dari tunggangane nabi saat Isra’ Mi’raj.”
Kemudian, tongkat kayunya menunjuk sebuah penggambaran seorang nabi yang menunduk kepada perempuan bermahkota. Merepresentasikan derajat dan pangkat di dunia. Kuda yang ditungganinya menggambarkan sikap hewaniah yang ada dalam diri manusia. “Siapa yang menunjukkan sikap duniawi, akan mendapatkan nur,” ujar Khamim.
Pada gambar kedua, nampak seorang lelaki yang tengah menjalanlan salat, namun kepalanya ditunggangi kuda. Menurut penjelasan Khamim, ini merepresentasikan orang yang menjalankan ibadah ditunggangi oleh kepentingan duniawi. “Orang iki ora iso ke Sidratul Muntaha. Ragane remuk. Raga dan ruhnya terpisah, dadi ruh gentayangan, (orang ini tidak bisa ke Sidratul Muntaha. Raganya remuk. Raga dan ruhnya terpisah, sehingga ruhnya gentayangan, red.),” terangnya.
Dalam kesempatan terpisah, Khamim memimpikan pendidikan yang tangguh. Ia berharap peserta didiknya bisa mencapai kesadaran mereka dan menyadari apa yang harus dilakukan kedepannya. Perannya sebagai pengajar, tak lebih hanya sebagai pendamping dan penghatar titik kesuksesan yang mereka gapai. Akhir dari penggapaian itu adalah kembali ke jalan Tuhan.
“Intinya, nggak salah jalan itu yang paling benar. Tapi untuk nggak salah jalan itu, kita perlu berada di jalan yang benar. Jalan yang benar, yaitu jalan-jalan Tuhan. Dan pendidik merupakan satu-satunya orang yang memiliki tujuan,” pungkasnya.
- Penulis adalah salah satu anggota LPM Locus, Surakarta.
Penulis: Elsa Lailatul Marfu’ah
Reporter: Adip, Ana, Elsa, Fathoni, Ulil, Nadya
Editor: Ulum