Dimensipers.com — Perubahan pola konsumsi penduduk yang beragam mengakibatkan bertambahnya sampah yang dihasilkan. Data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan, hasil Sensus Penduduk (SP2020) pada September 2020 mencatat jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa. Jumlah penduduk hasil SP2020 bertambah 32,56 juta jiwa dibandingkan hasil SP2010. (bps.go.id)
Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui, pada 2020 total produksi sampah nasional telah mencapai 67,8 juta ton. Artinya, ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk atau setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari. Kondisi tersebut menjadi salah satu masalah di Indonesia mengenai pengelolaan sampah.
Pengolahan sampah pada dasarnya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah pada Bab I pasal 1, pengolahan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
Melalui pola pengolahan sampah tersebut, Indonesia masih mengikuti pola lama, yaitu kumpul-angkut-buang. Pola tersebut mengandalkan tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu dan tempat pemrosesan akhir. Namun, hal ini menjadi salah satu pola pengelolaan sampah yang sudah ketinggalan zaman.
Tak terkecuali di Tulungagung. Sampah menjadi persoalan yang tak akan ada habisnya. Tahun 2020, Tulungagung diprediksi akan memproduksi 535,64 ton sampah per hari. (radartulungagung.jawapos.com)
Problem sampah di Tulungagung masih sulit terselesaikan. Ditambah dengan pola pikir masyarakat yang masih keliru dalam pengelolaan sampah. “Sampah seharusnya tidak dibuang. Tapi sampah harus dimanfaatkan. Pola pikir semacam itu belum ada di masyarakat. Ketika masyarakat dapat mengubah pola pikir, tentu saja sampah di Tulungagung akan dapat dikurangi,” ungkap Maryoto Birowo, Bupati Tulungagung, dilansir dalam radartulungagung.jawapos.com.
Hal ini berakibat pada sulitnya sampah di Tulungagung untuk terselesaikan. Dari data pengelolaan sampah di Tulungagung terlihat jumlah produksi sampah yang dihasilkan (133,17 m3/hr) dan sampah yang terangkut hanya sebesar 50,67 m3/hr. Maka, masih terdapat 82,5 m3/hr yang belum terlayani.
Namun, untuk antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang, dengan memperhitungkan asumsi sampah yang dihasilakn per orang dalam per harinya sebesar 3 lt/org/hari dan jumlah penduduk sebesar 113.856 jiwa. Maka, besarnya sampah yang masih harus diangkut sebesar 290,9 m3/hr.
Prosedur Pengelolaan Persampahan
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung No. 19 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Persampahan, pengelolaan persampahan adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengendalian timbulan sampah, pemilahan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pengolahan pembuangan sampah dengan cara yang merujuk pada dasar-dasar yang terbaik mengenai kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, konservasi, estetika dan pertimbangan lingkungan yang lain, dan juga tanggap terhadap perilaku masyarakat.
Proses pengelolaan sampah tersebut bertujuan untuk mengendalikan timbunan sampah dalam rangka mewujudkan pola hidup masyarakat yang berwawasan lingkungan. Adapun tahapan yang dapat dilakukan, yaitu pengurangan, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, dan pengolahan.
Tahap pertama, pengurangan sampah dilakukan dengan cara mengurangi produksi sampah dan konsumsi barang yang kemasannya menggunakan bahan yang tidak dapat atau sulit untuk didaur ulang, serta menggunakan dan atau memanfaatkan kembali sampah secara langsung.
Tahap yang kedua, pemilahan sampah dilakukan dengan cara memisahkan sampah organik dan anorganik sesuai dengan sifat dan jenisnya.
Tahap ketiga, pengumpulan sampah yang dilakukan oleh pengelola sampah dengan memindahkan sampah dari sumber sampah ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan pengumpulan sampah tersebut dapat melibatkan penyedia jasa pelayanan persampahan.
Selanjutnya, tahap pengangkutan sampah ke tempat pemrosesan akhir dilakukan setiap hari dan pengangkutan sampah dari tempat sampah domestik, TPS, dan Transfer Station ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menggunakan sarana pengangkutan sampah.
Terakhir, tahap pengolahan dilakukan dengan cara penimbunan (sanitary landfill), insenerasi dan atau cara lainnya sesuai dengan jenis sampah, kebutuhan dan perkembangan teknologi serta melibatkan penyedia jasa pelayanan persampahan.
Namun, tahapan pengelolaan persampahan ini tidak terlaksana di seluruh desa yang ada di Tulungagung. Seperti Desa Punjul, salah satu desa di Kecamatan Karangrejo. Desa ini memiliki wilayah terluas sekecamatan Karangrejo, yaitu 5,78 km2 atau sekitar 16,27 total luas kecamatan. (punjul.tulungagungdaring.id)
Tepat di Dusun Dadapan, sungai yang biasanya dipakai untuk aktivitas warga sehari-hari kini beralih fungsi menjadi tempat pembuangan sampah.
Menurut Supari, warga Desa Punjul yang lokasi rumahnya berada dekat dengan sungai, tempat pengolahan sampah memang tidak ada. Warga biasa membuang sampah seenaknya, salah satunya membuang sampah di sungai.

Sampah di salah satu sungai
“Cuma nek pembuangan (sampah) iku wong deso sak enake, ngunu. Sak enake kan umpomo seng cedek kali (membuang sampah) neng kali kadang, ya, dibakar ning samping omahe dewe, (kalau pembuangan [sampah], orang desa suka seenaknya. Maksudnya, jika rumahnya di dekat sungai [embuang sampahnya] di sungai. Terkadang, ada yang dibakar di samping rumahnya sendiri, red.),” ungkap Supari.
Sama dengan ungkapan Supari, Firoh, warga Desa Punjul, menyatakan bahwa masyarakat dulunya membuang sampah di sungai. Sekarang beralih dengan mebakarnya guna menghindari banjir. Ia juga menjelaskan, warga di Rukun Tetangga (RT) lain sudah memiliki tempat pembakaran sampah. Ada pula himbauan kepada warga untuk tidak membuang sampah di sungai.
Meskipun sekilas terlihat praktis dan sampah langsung lenyap, sebenarnya membakar sampah secara terbuka bisa membahayakan kesehatan dalam jangka panjang. Pasalnya, asap hasil pembakaran sampah mengandung bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mengakibatkan polusi udara.
Dilansir dari halodokter.com, akibat dari menghirup asap pembakaran dapat menganggu kesehatan, seperti batuk, mata merah atau berair, hidung terasa perih, ruam, mual, sakit kepala, dan serangan asma pada penderitanya. Selain itu, mengonsumsi makanan yang terkontaminasi abu dan asap dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, gangguan kardiovaskulas, kerusakan ginjal, dan kerusakan otak.
Antisipasi dari pembuangan sampah tersebut, pemerintah Desa Punjul sudah berupaya memberikan sosialisasi dan himbauan. Mereka memberikan saran untuk dikumpulkan dan dibakar. Himbauan tersebut diberitahukan melalui kepala dusun (Kasun), RT dan warga.
Ketika masih ada yang mebuang sampah di sungai, menurut Kepala Desa Punjul, kesadaran masyarakat kurang. Di tambah penyediaan tempat pembuangan yang dirasa warga belum ada. Dari penuturan Erika, anggota Karang Taruna, sebelum pandemi, sekitar 2 bulan sekali, desa mengadakan kerja bakti yang dilakukan secara bergiliran dari satu dusun ke dusun lainnya. Karena ada pandemi, seluruh kegiatan ikut berhenti.
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa, “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Pasal tersebut menunjukkan pengakuan negara serta jaminan bagi setiap warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Realitasnya, tidak cukup tersedia masyarakat mendapat lingkungan hidup yang baik di beberapa daerah serta kurangnya kesadaran yang dimiliki warga, menjadikan salah satunya membuang sampah di sembarang tempat.
Upaya Pemerintah Desa
Terkait pengelolaan sampah, Desa Punjul berencana membuat tempat sendiri yang membedakan sampah basah dan sampah kering. Mengenai kesadaran warga yang kurang, akan dilakukan door to door dari ketua RT secara pelan-pelan. Selain itu, pemerintah desa juga sudah menghimbau untuk mengumpulkan dan membakarnya saja.
Warga pun memiliki gambaran dengan menerapkan nabung sampah. “Warga nabung sampah botol, plastik dan lain sebagainya. Kemudian dipilah dan ditimbang. Satu bulan sekali bisa diambil tunai, berbentuk tabungan,” jelas, Tony, warga Desa Punjul. Namun, hal ini belum sempat dibicarakan dengan pemerintah desa.
Ada pula dari Supari untuk membuat lubang. Ketika lubang tersebut sudah penuh dengan sampah, bisa ditutup dengan tanah yang digali untuk membuat lubang lagi. Dari warga lain pun memiliki tanggapan yang demikian.
Melansir dari indonesia.go.id, pola pengolahan sampah mestinya sudah mengadopsi konsep ekonomi sirkular, yaitu memanfaatkan nilai ekonomi sampah secara maksimal dengan menerapkan reduce, reuse, recycle (3R). Pola pengelolaan tersebut lebih ke daur ulang dan bank sampah. Apalagi pembakaran sampah yang sebenarnya tidak sehat dilakukan, tercatat dalam UU 18 Tahun 2008, Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan bahwa melarang pembakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.
Mengenai kasus pengelolaan sampah, peran preventif pemerintah Desa Punjul diharapkan sebagai lembaga awal yang memenuhi penyediaan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warganya. Namun, kesadaran masyarakat akan wawasan lingkungan perlu disosialisasikan, berkenaan dengan kurangnya komunikasi antar aparat dengan warga yang juga memiliki pemikiran demikian.“Pihak deso omong gak oleh ngguak nde kali, tapi ndak dicepaki tempat sampah. Jarene enek alas sing arep dituku di ngge ngguwak sampah, tapi trubusane ga enek, (pihak desa berujar untuk tidak membuang di sungai, tapi [warga] tidak diberi tempat sampah. Katanya ada hutan yang akan dibeli untuk membuang sampah, tapi kelanjutannya tidak ada, red.),” ungkap Paisah, warga Desa Punjul.
Penulis: Desyana Fitria Natalia
Reporter: Desyana, Nico, Nopal, Nur
Editor: Ulum