Surabaya, Hari Anti Tambang diperingati pada tanggal 29 Mei 2019. Pada tanggal itu pula, terkenal sebuah tragedi 13 tahun lalu, yakni terjadinya tragedi luapan lumpur lapindo yang telah menenggelamkan belasan desa di 3 Kecamatan (Porong, Tanggulagin, Jabon) di Kabupaten Sidoarjo. Namun, perlu diketahui pula, penuntasan atas kasus tersebut belum sepenuhnya selesai.
Puluhan korban Lapindo dari berbagai kelompok dengan didominasi perempuan mendatangi Kantor Gubernur Jawa Timur guna menyerahkan tuntutan kasus Lapindo. Kelompok tersebut meliputi, Kelompok Perempuan Korban Lapindo Ar- Rohmah, Korban Lapindo Menggugat, dan Sanggar Al-Faz. Mereka menyuarakan permasalahan penuntasan kasus Lapindo yang masih jauh dari kata selesai. Langkah yang diambil adalah dengan menggelar aksi teatrikal yang menggabarkan ancaman, kerusakan baik secara fisik, sosial dan kesehatan. Para korban hendak menunjukkan bahwa persoalan kesehatan serius selama ini tidak diperhatikan pemerintah.
Menurut Rere Christanto, selaku direktur eksekutif WALHI Jatim mengatakan bahwa sampai saat ini persoalan kasus Lapindo hanya berfokus terhadap penyelesaian ganti rugi tanah dan bangunan. Padahal terdapat hak-hak yang telah dirampas pasca semburan lumpur lapindo yang sampai saat ini belum terselesaikan.
“Ini bukan sekedar persoalan ganti rugi, dibilang 99% selesai pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan. Namun, justru ini yang menjadi persoalan. Padahal pembayaran ganti rugi tanah dan bagunan itu hanya sebagian dari keseluruhan problem. Problemnya adalah lingkungan, lingkungan yang secara besar-besaran rusak sehingga mengakibatkan rantai dampak. Jelas, hal ini agar menjadi perhatian pemerintah,” jelas Rere Christianto.
Persoalan yang paling pokok terkait kasus kesehatan adalah meningkatnya penderita ISPA dari puskesmas di tiga kecamatan. Sebelum dan sesudah terjadi semburan lumpur lapindo ditemukan lonjakan mencapai 200 ribu kasus kesehatan. Artinya ada keterhubungan antara semburan lumpur lapindo dengan korban kasus kesehatan.
Pada dasarnya, berbagai macam persoalan kesehatan pada korban lumpur lanpindo diakibatkan adanya degradasi kondisi lingkungan di wilayah semburan lembur. Rere Chistanto, menyebutkan bahwa menurut penelitian yang telah dilakukan sejak 2008 sampai 2016, WALHI Jatim menyimpulkan bahwa tanah dan air area sekitar lumpur panas mengandung PAH ( Polyclic Aromatic Hydrocarbon) mencapai 2000 kali di atas ambang batas normal.
Menurut UNEP (Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa), menyatakan bahwa PAH merupakan senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsinogenik (memicu kanker). Selama 13 tahun ini pemerintah masih belum serius terkait dampak pencemaran lingkungan. Tidak hanya kerusakan lingkungan berupa menurunnya kualitas tanah dan air, namun juga bertambahnya penderita ISPA yang terpaksa harus mengeluarkan biaya pengobatan. Kemudian menyebabkan beban sosial, ekonomi bertambah akibat kerusakan yang terjadi.
Di sungai porong, yang di jadikan sebagai pembuagan semburan lumpur lapindo, terdapat logam berat dalam kadar tinggi berdasarkan penelitian WALHI Jatim. Dalam tubuh udang ditemukan kandungan Timbal (Pb) sebesar 40–60 kali diambang batas dan kandungan Kadmium (Cd) 2–3 kali di atas ambang batas. Selain dampak tersebut, kontaminasi terhadap air juga menyebabkan air menjadi tak layak minun dan berbau.
Rantai dampak lainnya dapat dilihat dari situasi pendidikan dan tak adanya validasi adminitrasi bagi korban terdampak. Di sektor pendidikan tercatat 63 unit sekolah tenggelam sehingga menyebabkan ribuan anak-anak kehilangan tempat untuk belajar. Anak-anak dipaksa pindah sekolah, sementara tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus meninggalkan kampung.
Permasalahan semburan lumpur semakin parah dengan adanya upaya pemerintah menjadikan sekitaran lumpur lapindo sebagai obyek wisata. Salah satunya adalah pulau Lusi ( Lumpur Sidoarjo).
”Itu (wisata lumpur Lapindo, red) bahkan menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu dalam penanganan. Dibuat pulau lusi di muara dengan endapan lumpur lapindo yang didalamnya terkandung logam berat, justru mengambarkan pemerintah tidak becus melihat ancaman yang terjadi” jelas Rere Chistanto.
Hingga sekarang, status keselamatan ruang hidup rakyat belum menjadi prioritas, para pemegang kebijakan dan penguasa modal yang lebih diutamakan. “Tragedi lumpur lapindo rupanya tidak akan pernah menjadi pelajaran. Di tengah karut marut pemulihan dampak semburan lumpur yang tidak kunjung tuntas, perpanjangan kontrak kepada PT Lapindo Brantas dan pemberian izin pengeboran baru itu mendemonstrasikan pengusaha dalam urusan pertambangan migas dan keselamatan rakyat” ujar Ikhwanul, perwakilan Korban Lapindo Menggugat (KLM) dari desa Glagaharum.
Sampai saat ini, tidak ada satupun mekanisme yang memastikan bahwa aset-aset sosial rakyat dan lingkungan aman ataupun bisa dipulihkan. Bahkan tidak ada pihak yang diseret ke pengadilan akibat kecelakaan migas yang menyebabkan ribuan warga menderita. Bentuk pembiaran nasib yang menimpa masyarkat porong, harus segera diakhiri. Itulah mengapa perpanjangan kontrak PT. Lapindo Brantas harus ditolak.