Keti­ka anak kecil ditanya “Apa cita-cita­mu kelak, Nak?” “Jadi dok­ter,” jawab­nya. Keti­ka ia mulai beran­jak dewasa dan menger­ti kehidu­pan dan segala ker­an­cuan­nya ia beral­ih, “Aku ingin men­ja­di rev­o­lu­sion­er,” katanya.

Seo­rang anak lahir den­gan poten­si yang berbe­da. Perbe­daan poten­si terse­but bukan­lah alasan untuk mendeskrim­i­nasi satu sama lain. May­ori­tas orang dalam pan­dan­gan saya mungkin akan cen­derung mengabaikan bakat dan poten­si yang dim­i­li­ki oleh anak yang memi­li­ki gang­guan men­tal maupun fisik, semacam penyan­dang difa­bel mis­al­nya. Seti­ap orang itu memi­li­ki fitrah, yang dalam hadits Nabi juga dise­butkan bah­wa seti­ap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan fitrah sehing­ga ked­ua orang tuanya lah yang mem­ben­tuk fitrah terse­but men­ja­di berma­cam ben­tuk dan war­na. Sena­da den­gan hal terse­but, dalam fil­safat pen­didikan muncul­lah isti­lah ali­ran human­isme di mana seti­ap sese­o­rang itu memi­li­ki poten­si dalam dirinya, oleh kare­na itu seti­ap dari mere­ka harus dihar­gai selayaknya manusia.

Bagaimana pun keadaan sese­o­rang sela­ma ia manu­sia maka ia memi­li­ki poten­si dalam dirinya. Manu­sia telah dibekali akal dan naf­su untuk melang­sungkan kehidu­pan­nya. Lan­tas kena­pa hal ini tak digu­nakan? Apakah tin­dakan terse­but bisa dikatakan seba­gai kebodohan? Saya tak bisa memas­tikan­nya. Yang jelas manu­sia ter­lahir den­gan akal piki­ran kemu­di­an ting­gal bagaimana cara ia mengem­bangkan poten­si dalam dirinya. Ten­tun­ya ia per­lu ban­tu­an orang lain, tak bisa den­gan sendirinya. Tri pusat pen­didikan yang diungkap­kan oleh Ki Hajar Dewan­tara menye­butkan bah­wa per­an kelu­ar­ga, seko­lah, dan masyarakat itu san­gat­lah pent­ing. Jadi, satu sama lain sal­ing men­dukung dan bekerjasama.

Rene Descartes, mes­ki saya tak begi­tu kenal den­gan fil­suf terse­but seti­daknya saya mengin­gat satu kali­mat yang pop­uler darinya,”Cog­i­to Ergo Sum” Aku bepikir maka aku ada. Dari sini dap­at ditarik kes­im­pu­lan bah­wa sese­o­rang memang dibekali sebuah akal untuk berpikir kemu­di­an meng­gu­nakan­nya den­gan baik. Bahkan menu­rut anal­i­sis saya men­ge­nai kali­mat terse­but men­dorong manu­sia men­e­mukan jati dirinya. Sete­lah ia berpikir dan melakukan berangkai eksper­i­men untuk men­dukung piki­ran­nya maka ia akan men­da­p­ati dirinya ada. Artinya ia men­e­mukan jati dirinya.

Pen­didikan meru­pakan salah satu alat untuk mem­berikan beber­a­pa rangka­ian pros­es agar manu­sia meng­gu­nakan piki­ran dan nuraninya den­gan benar. Kalau reali­ta yang ter­ja­di sekarang pen­didikan jus­tru menc­etak gen­erasi tikus buncit dan tikus berdasi maka jan­gan tanyakan saya sia­pa yang harus­nya dis­alahkan? Pen­didikan seper­ti hal­nya diungkap­kan oleh salah satu dosen fil­safat UIN Sunan Kali­ja­ga, Fahrud­din Faiz meny­atakan bah­wa pen­didikan meru­pakan salah satu ele­men yang pent­ing dalam mem­ban­gun per­ad­a­ban manu­sia. Kena­pa saat itu Islam maju? Kare­na pen­didikan saat itu maju. Kena­pa pada saat­nya juga barat maju? Kare­na pada masa itu pen­didikan juga maju. Jadi jan­gan kesamp­ingkan pendidikan. 

Keti­ka sese­o­rang telah menye­la­mi dan ber­e­nang dalam samud­era keil­muwan, ting­gal pil­ih ia akan men­cari apa di dalam­nya. Apakah ia men­em­puh semua itu hanya kare­na sebuah peker­jaan? Atau ia ingin men­da­p­atkan ilmu? Atau ingin mem­berikan keman­faatan bagi orang lain. Tiga kesadaran men­tal dalam pen­didikan seba­gaimana diungkap­kan oleh Paulo Friere yakni yang per­ta­ma, kesadaran magis, sese­o­rang pem­be­la­jar yang hanya ikut saja. Ikut yang dikatakan dosen, ikut di buku, dia tidak per­nah menawar. Kecen­derun­gan men­er­ap­kan dan dihafalkan. Mema­ha­mi-dihafalkan-dit­er­ap­kan atau seba­liknya. Imp­likasinya, ilmu penge­tahuan men­gala­mi stag­nasi. Ked­ua, kesadaran naif. Kesadaran yang seten­gah-seten­gah. Tahu ada per­soalan pura-pura tidak peduli. Keti­ga, kesadaran kri­tis. Orangnya tahu kalau ada masalah dan siap berusa­ha men­gubah masalah.

Sete­lah mem­ba­ca keteran­gan di atas, ting­gal Anda pil­ih, ter­ma­suk dalam kat­e­gori mana saya ini? Sete­lah itu intropeksi diri Anda dan berusa­ha­lah men­ja­di prib­a­di yang lebih baik untuk diri Anda, be the best for your self! Sete­lah itu jadi­lah penebar kebaikan untuk orang lain!

Terny­a­ta tak berhen­ti di sini saja, terkadang mak­sud kita mem­berikan kebaikan pada orang lain namun jus­tru kita menim­bulkan masalah dan mem­perkeruh keadaan. Seharus­nya seo­rang ilmuwan, seo­rang berpen­didikan itu muncul seba­gai prob­lem solver, mem­berikan kon­tribusi pemiki­ran agar masyarakat men­e­mukan jawa­ban dari berba­gai per­masla­haan yang telah lama diperde­batkan. Mem­beri lebih baik dari­pa­da mem­inta bukan? Berikan­lah yang ter­baik, solusi ter­baik dan pen­e­muan baru untuk dunia!

Tak ada gunanya berhen­ti di kelas dan per­pus­takaan saja kawan! Mes­ki saya kadang ser­ing berhen­ti di mana-mana dan cen­derung tak memi­li­ki arah, maka saya juga mem­berikan cibi­ran ini pada diri saya sendiri. Kelas adalah pen­jara penuh atu­ran, dan per­pus­takaan adalah pen­jara para ilmuwan untuk mem­berikan kon­sep yang ditanamkan pada otak kita. Seharus­nya kita bisa kelu­ar, eksplo­rasi dan cip­takan sesu­atu yang luar biasa.

Berka­ta dan cerewet dalam tulisan memanglah mudah namun sulit untuk men­jalaninya. Akan tetapi keti­ka sese­o­rang sudah memi­li­ki tekad dan kemauan maka hal itu tak akan mungkin tidak ter­ja­di. Per­caya atau tidak bah­wa pola pikir sese­o­rang akan men­gubah kehidu­pan­nya. Niat dan ker­ja keras akan menun­tun pada keniscayaan. 

Sekarang, peruba­han apa yang hen­dak Anda cip­takan untuk mem­berikan kon­tribusi pada per­ad­a­ban? Akankah Anda stag­nan dalam satu posisi tan­pa men­co­ba posisi lain­nya? Hal itu kony­ol sekali. Jan­gan hanya ingin men­da­p­atkan ilmu, itu ego­is, jan­gan hanya ingin men­da­p­atkan ijazah dan peker­jaan, itu hanya sebuah for­mal­i­tas, sudah biasa saja. Tetapi jadi­lah pem­be­la­jar yang pro­fetik yang bisa men­ja­di agen perubahan! 

Penulis: Ummi Ulfa­tus Syahriyah
Edi­tor: Nifa K. Fah­mi