Menertibkan keamanan dari pelanggaran serta memberikan ruang lingkup yang aman untuk masyarakat dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran adalah tugas kepolisian. Tidak hanya itu saja, tugas mereka juga sebagai publik figur yang memberikan contoh kepada masyarakat agar mentaati peraturan dan norma-norma kebaikan sehingga menciptakan masyarakat yang harmoni. Hal ini berlaku kepada seluruh masyarakat bernegara yang tidak memandang status sosial, baik kelas menengah kebawah atau menengah keatas agar semua mendapatkan keadilan yang sama.
Dalam hal ini polisi berorientasi pada kepentingan publik, yakni tidak membedakan suku, ras, budaya, dan kelas sosial menengah kebawah atau menengah keatas. Namun pada implementasinya, di dalam kepolisian masih ada yang bersikap egois atau tidak memberikan sikap yang sopan dan ramah kepada masyarakat. Masyarakat yang membutuhkan sosok pemberi keamanan malah mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya. Sangat disayangkan jika kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian malah menjadi ancaman bagi mereka yang mengalami kekerasan atau pelanggaran, apalagi jika pelakunya merupakan oknum polisi sendiri.
Kekerasan yang di lakukan salah satu aparat kepada mahasiswa pendemo di Tanggerang menjadi kritik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (kontras) terhadap kasus brutalisme yang di lakukan aparat kepolisian. kasus seperti ini harusnya mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang ada. Hal ini menjadi salah satu cara agar pihak polisi tidak melakukan tindakan yang sewenang-wenang.
Tetapi pihak kepolisian justru tidak memberikan sanksi atas tindak kekerasan yang dilakukan anggotanya. Pihak kepolisian justru melindungi “oknum” dengan melakukan permohonan maaf kepada korban. Sangat terlihat bahwa hukum menjadi tumpul ke atas namun tajam kebawah, akibatnya yang menjadi korban adalah masyarakat.
Sebagai aparat kepolisian seharusnya memberikan tindakan tegas kepada pelaku brutalisme yang seenaknya sendiri main banting. Tidak hanya itu, banyak aduan dari masyarakat kecil mengenai penanganan kasus yang tidak kunjung mendapat keadilan. Salah satunya aduan kasus pelecehan seksual. Kekerasan seksual sangat banyak dan rentan terjadi di negara Indonesia.
Hal yang memperihatinkan dalam kasus ini menurut laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat kasus kekerasan Seksual yang dilakukan oleh ayah kandung sendiri terhadap tiga anak di bawah umur di Luwu Timur. Kasus ini dihentikan oleh kepolisian tanpa penyelidikan secara intensif. Hal ini lantaran bukti yang ada kurang akurat dan justru membuat korban tidak aman.
Dalam kasus ini, belum Ada tanda-tanda titik terang. Hal ini tentu membuat pihak korban merasa bingung mengenai kasus ini. Selain itu kemana mereka dapat menuntut keadilan bagi kasusnya juga menjadi dilema. Bila perlakuan polisi saja masih seperti ini, lantas kepada siapa lagi masyarakat melaporkan tindak kekerasan atau kriminal. Bahkan kepolisian belum bisa memberikan ruang aman bagi masyarakat.
Aparat kepolisian selama ini tidak menerapkan Undang-undang Republik Indonesia (UU RI), tentang kepolisian yang seharusnya memelihara keamanan dan menegakkan hukum, perlindungan masyarakat, mengayomi, serta perlindungan dan pelayanan masyarakat selaku alat negara. Hal ini sangat menghawatirkan bila tugas mereka tidak di jalankan dengan baik.
Alih-alih menjadi pelindung, justru malah menjadi alat yang kehilangan kontrol dan mengamuk menakuti masyarakat yang ingin menuntut keadilan. Pedahal di dalam Hak Asasi Manusia (HAM), setiap individu harus memperoleh keadilan, berupa pengajuan permohonan, pengajuan dan gugatan. Namun hal ini justru absen dalam pelayanan kepolisian. Mereka yang melakukan tindak kriminal dengan Kesewenang-wenangannya malah tidak diberikan sanksi. Ini jelas menyalahi kode etik kepolisian.
Masyarakat percuma melapor bila keadilan tidak bisa di dapatkan ketika aparat kepolisian sendiri menyalahi kode etik dan UU RI yang tertera di dalamnya. Ketika mereka dapat menjalankan kewajiban dan tugasnya dengan tegas, maka polisi akan menjadi publik figur yang seharusnya.
Penulis: Rosyid
Editor: Nurul