25 Agustus 2022, bertempat di Yogyakarta, hari terakhir konferensi 2nd International Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health (ICIFPRH) telah dilaksanakan. Pembahasan kali ini berfokus pada “Pasca Pengesahan UU TPKS: Mendefinisikan Ulang “Komprehensif” dalam Layanan Bagi Korban Kekerasan Seksual”. Beberapa narasumber kunci dari Komnas Perempuan, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan Kabiddokkes Polda Jawa Tengah juga terlibat dalam konferensi tersebut. Penjabaran mengenai penanganganan pelecehan seksual yang komprehensif dibahas secara singkat dalam konferensi oleh masing-masing ahlinya.
Mantan Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati menjelaskan, posisi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam hukum nasional berguna untuk mendukung korban kekerasan seksual. Terdapat komitmen politik untuk melindungi korban dengan UU pidana khusus dalam menjalankan mandat International Convention on Elimination of All Froms of Discrimination Againts Women (CEDAW). Asumsi dalam UU TPKS ini, semua aparat penegak hukum, penyelenggara pemerintah, pendamping dianggap paham dengan seksualitas, kesehatan reproduksi, atau edukasi soal kesehatan reproduksi. Perlu diketahui bahwa mandat UU TPKS adalah adanya turunan 5 Peraturan Pemerintah (PP) dan 5 Peraturan Presiden (PerPres).
Kabiddokkes Polda Jawa Tengah, Summy Hastry Purwanti yang menerangkan soal penyidikan pelecehan seksual berkata, “kerjasama tenaga kesehatan, kepolisian, dan relawan atau masyarakat yang membantu sangat dibutuhkan untuk mencapai tindakan komprehensif dan menyeluruh agar korban benar-benar tertolong haknya. Pelecehan seksual itu sesuatu yang sulit, sampai berkasnya tidak selesai P19 (berkasnya dikembalikan), jadi alat buktinya tidak cukup. Menurut pasal 184 KUHAP dibutuhkan minimal dua alat bukti. Untuk memaksimalkan bukti pelecahan seksual, bisa dilakukan DNA terhadap apapun yang menempel di barang korban untuk diberikan pada penyidik agar di cek”.
Perwakilan dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Masruchah menjabarkan soal perspektif keadilan KUPI dalam memandang pelecehan seksual. Fakta sosial dan fakta diskriminasi dipandang sebagai bagian yang harus dijamin dan dijawab oleh agama. Pendidikan ulama perempuan menitikberatkan pada perspektif kesetaraan gender dan HAM. Pada kongres 2017, KUPI mengkaji soal fatwa MUI yang tidak pro dengan kesetaraan gender, misalnya khitan bagi perempuan. Kekerasan seksual dianggap mengancam jiwa manusia, ini bertentangan dengan ajaran islam. Pada komunitas muslim, gerakan perempuan dibuat agar bisa bersuara di ruang publik termasuk mengambil keputusan dan bisa menjadi pemimpin di ruang politik serta rumah tangga.
Respon Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah soal universitas islam yang belum menyediakan layanan penanganan kasus pelecehan seksual adalah “bisa melakukan advokasi ke pimpinannya, saya kira semua pimpinan perguruan tinggi sudah dikumpulkan oleh dikti agar segera membentuk akun di portalnya dikti. Itu wajib, bahkan saya sudah disurati. Portal ini isinya macam-macam, mulai dari edukasi bagaimana penanganan kasus kekerasan seksual sampai database kasus. Jadi, ketika ada kasus, kampus wajib memasukkan pada portal database kasus tersebut. Satgas penanganan kasus kekerasan seksual bisa diadvokasi ke kampusnya. Semoga kampus bisa segera membentuk itu kalau banyak yang bersuara”.
Dalam kesempatan wawancara ekslusif pada Alimatul Qibtiyah setelah Konferensi Pers selesai, terkait punishment pada universitas islam yang tidak kunjung membentuk satgas, beliau menjawab “hampir sama dengan Kemendikbud ya, yaitu penurunan akreditasi dan pemecatan rektor. Tapi belum tau hasil akhirnya, kemarin pas diskusi sempat membahas itu. Kalo yang Pendis belum sampai kesana sih, yang SK Dirjen Pendis 5494 belum sampai se-clear itu. UIN Tulungagung sudah berkomitmen kok”.
Penulis: Farida
Reporter: Farida
Editor : Nurul