Menu­rut sto­icism prin­sip kehidu­pan yang baik ter­letak pada physikos zen. Dalam hal ini meru­juk pada pengert­ian untuk men­jalani kehidu­pan den­gan alam. Kese­larasan kehidu­pan manu­sia den­gan alam ini juga diim­ban­gan den­gan logos yang memu­ngkinkan adanya ketert­iban dan keter­at­u­ran alam yang san­gat sis­tem­a­tis. Manu­sia dan hewan memi­li­ki kecen­derun­gan untuk melin­dun­gi dirinya sendiri ter­lepas dari perbe­daan men­dasar dari dua spe­sies ini.

Manu­sia yang dibekali den­gan pemiki­ran yang logis dan kemam­puan bernalar yang baik apa­bi­la diasah den­gan mak­si­mal. Den­gan kemam­puan terse­but manu­sia beru­paya untuk men­dorong daya inst­ing men­ja­di ter­arah. Sto­icism sendiri meru­pak ali­ran fil­safat Yunani kuno yang dipelo­pori oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke‑3 SM

Jika kita mem­ba­ca sto­icism, kita akan men­ge­nal tokoh yang memi­li­ki pen­garuh besar pada perkem­ban­gan sto­icism, yaitu: Seneca, Epicte­tus dan Mar­cus Aure­lius. Tokoh-tokoh terse­but kemu­di­an mem­bawa sto­icism berkem­bang hing­ga saat ini dike­nal dalam masyarakat luas.

Kehidu­pan manu­sia yang penuh den­gan dinami­ka sosial ser­ta turut ser­ta dipen­garuhi oleh berba­gai macam peruba­han yang dise­babkan adanya gesekan-gesekan di dalam bermasyarakat. Per­masala­han yang muncul di dalam lingkun­gan masyarakat tidak ter­lepas den­gan ambi­sis dan keing­i­nan manu­sia untuk megua­sai alam dan men­gua­sai manu­sia untuk men­ca­pai tujuannya. 

Has­rat manu­sia ter­ben­tuk aki­bat per­sain­gan yang terus ter­ja­di dalam pen­cip­taan teknolo­gi dan keing­i­nan untuk terus berkem­bang secara tidak ter­batas. Ide dan gagasan dari manu­sia terse­but akhirnya menim­bulkan kega­galan dalam upaya inte­grasi manu­sia dan alam. Sehing­ga pada prak­teknya kehidu­pan manu­sia hanya dipenuhi den­gan ambi­sis yang selalu saja haus akan objek-objek yang dap­at men­datangkan kepuasan. 

Abad ke-21 ini banyak mem­bu­at manu­sia ber­saing den­gan sesamanya untuk men­da­p­atkan suatu pen­gakuan sosial yang diang­gap pent­ing bagi dirinya. Per­sain­gan ini kemu­di­an menye­babkan adanya tin­dakan untuk menghi­langkan suatu iden­ti­tas manu­sia lain­nya agar ia secara simul­tan dap­at ber­saing den­gan manu­sia lain­nya yang ada di kelom­pok sosial­nya masing-masing. 

Tidak jarang kita dap­at meli­hat sese­o­rang yang melakukan flex­ing untuk men­da­p­atkan suatu pen­gakuan dan mem­per­oleh kepuasan diri atas apa yang sudah ia per­oleh dan prestasi yang dica­pai. Sto­icism kemu­di­an tim­bul dan kem­bali men­ja­di suatu fenom­e­na sosial yang melu­as di kalan­gan masyarakat.

Sto­icism men­ja­di langkah yang digu­nakan oleh sese­o­rang atau kelom­pok sosial untuk ter­lepas dari kepuasan yang tidak ter­batas dan beru­paya untuk menge­jar kehidu­pan yang selaras den­gan alam. Dalam pan­dan­gan sto­icism sendiri meman­dang bah­wa ter­da­p­at banyak kemu­ngk­i­nan yang ter­ja­di kepa­da sese­o­rang dan ini men­ja­di titik tolak pent­ing untuk hidup den­gan sewajarnya. 

Ia beru­paya untuk menghin­dari dan mem­i­ni­mal­isir kege­lisa­han dalam hidup manu­sia dan berpros­es untuk men­ca­pai suatu keba­ha­giaan. Keba­ha­gian yang dimak­sud adalah keba­ha­giaan yang berasal dari segala sesu­atu yang dap­at kita kenda­likan, sehing­ga fokus manu­sia tidak ter­paku pada hal-hal yang tidak terkendali.

Sto­icism yang baik adalah seba­gai pan­dan­gan hidup untuk men­ca­pai suatu keba­ha­giaan yang apa adanya dan ter­batas pada kon­sep keterk­endalian. Pan­dan­gan hidup ini ter­ben­tuk secara men­dasar pada seti­ap manu­sia dan sesuai den­gan kehen­dak manu­sia itu sendiri. keter­batasan yang ter­ja­di apa­bi­la sto­icism seba­gai mode atau tren ter­letak pada kehen­dak yang tidak murni berasal pada diri manu­sia itu sendiri.

Pen­garuh lingkun­gan ter­hadap kehidu­pan seo­rang manu­sia adalah hal yang mut­lak, namun dalam menen­tukan suatu mode atau tren kita cen­derung akan men­ja­di pasif dan mener­i­ma suatu kon­sep apa adanya. Pan­dan­gan hidup yang kita ter­ap­kan dan akan dit­er­ap­kan adalah hasil dari anal­i­sis secara mandiri yang didasarkan pada iden­ti­fikasi manu­sia itu sendiri untuk men­cip­takan kesesua­ian kon­sep agar keba­ha­giaan yang diinginkan tercapai.

Kon­sep mode atau tren yang sudah digen­er­al­isir oleh sekelom­pok orang memi­li­ki batasan-batasan yang tidak dap­at sesuai den­gan kehidu­pan indi­vidu lain­nya untuk ia ter­ap­kan dalam hidup­nya. Mod­i­fikasi dari sto­cism yang sudah ada dari hasil kelom­pok atau indi­vidu seba­gai mode atau tren, apa­bi­la dis­esuikan kem­bali den­gan pan­dan­gan indi­vidun­ya akan semakin keliru dan kelu­ar dari kon­sep yang seharus­nya ada di stoicism.

Pan­dan­gan hidup yang meru­pakan dasar untuk men­jalani kehidu­pan sese­o­rang akan dis­esuaikan secara lang­sung dalam hidup­nya dan tidak ter­pen­garuh oleh sekelom­pok orang yang melakukan pengem­ban­gan per­i­laku kolek­tif. Sehing­ga iden­ti­fikasi secara mandiri tidak memi­li­ki batasan defin­isi seper­ti mengikut mode atau tren yang sudah ter­defin­isi oleh sekelom­pok orang.

Manu­sia seba­gai mahluk yang bebas dan juga memi­li­ki kemam­puan ter­batas untuk men­gen­da­likan sesu­atu yang hanya dap­at ia kenda­likan. Tidak semestinya men­gadop­si sto­cism seba­gai mode atau tren yang hanya bertu­juan untuk mengiku­ti per­i­laku kolek­tif yang sedang berkem­bang hanya untuk sesaat. 

Imple­men­tasi sto­icism seba­gai pan­dan­gan hidup yang orisinil berasal dari kemam­puan manu­sia untuk men­gen­da­likan defin­isi yang ingin ia capai secara mandiri. Keter­batasan kemam­puan untuk men­ca­pai defin­isi sto­icism yang ter­ben­tuk berdasarkan mode atau tren dap­at saja keliru dan tidak sesuai den­gan mak­na asli dari stocism.

Sehing­ga den­gan mengiku­ti perkem­ban­gan zaman dan budaya kolek­tif yang rumit akhirnya mem­bu­at cacat kon­sep hidup sto­icism yang secara fun­da­men­tal fokus kepa­da upaya prak­tis untuk men­ca­pai kese­jahter­aan dan keba­ha­giaan. Keu­ta­maan dalam hidup yang dis­ing­gung oleh pla­to dan dike­nal seba­gai Eud­ho­ma­nia.

Cara peni­la­ian sese­o­rang bukan berdasarkan tren atau mode, namun ia harus men­e­mukan keu­ta­maan. Agar hidup­nya men­ja­di selaras den­gan alam dan tidak hanya berdasarkan kepentin­gan kolek­tif yang dap­at mem­bawa keti­dak baha­giaan apa­bi­la ia tidak dap­at terkendalikan.

Penulis: Angga Prata­ma
Edi­tor: Nurul