Kabar mengagetkan muncul saat Indonesia mulai meniti jalan menuju cita-cita Indonesia Emas 2045. Sepanjang pemerintahan Prabowo-Gibran, nilai mata uang rupiah ditargetkan akan terus melemah hingga mencapai angka Rp17.000. Yang membuat heran adalah IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) mengalami penurunan drastis hingga 7% di tengah tren menguatnya bursa global. Tak hanya IHSG yang menurun, media asing juga menyoroti nilai tukar rupiah yang saat ini merosot paling parah se-Asia.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah hanya investor yang terdampak? Sebelum itu, penulis akan menggambarkan maksud dari IHSG dengan contoh yang mudah dipahami.
Bayangkan IHSG sebagai lampu lalu lintas yang biasa kita jumpai di jalan. Saat lampu merah rusak atau macet total, semua kendaraan akan berhenti, lalu lintas menjadi kacau, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan akan terhambat serta mengalami kerugian. Lampu merah yang rusak menandakan bahwa IHSG sedang tidak baik-baik saja, pengusaha rugi, harga barang naik, dan banyak orang kehilangan pekerjaannya.
Ketika lampu kuning berkedip, kendaraan mulai melambat, pengendara menjadi lebih waspada, dan pengusaha akan mengamati serta berhati-hati dalam menjalankan usahanya. Sementara itu, lampu hijau menandakan IHSG sedang menguat, kendaraan bergerak lancar tanpa hambatan, perekonomian stabil, masyarakat dapat berbelanja, bisnis tumbuh, dan lapangan pekerjaan tersedia.
Mengapa semua ini bisa terjadi?
Dilansir dari Financial Times dan Reuters, alasan mengapa IHSG menurun di antaranya adalah melemahnya ekonomi, isu kepemimpinan dan kebijakan yang dianggap “absurd,” serta kinerja BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Sejak dilantiknya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, pergulatan investasi negara menjadi tidak stabil karena investor khawatir daya konsumsi masyarakat Indonesia menurun. Tak hanya itu, defisit meningkat akibat program unggulan, yaitu makan bergizi gratis, yang membutuhkan anggaran sebanyak Rp456 triliun per tahun.
Gelombang permasalahan politik turut memperkeruh situasi, membuat para investor menarik dananya dari Indonesia serta enggan berinvestasi kembali. Salah satu pemicunya adalah pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang. Pada Kamis, 20 Maret 2025, ribuan massa dari berbagai daerah menolak pengesahan tersebut karena dianggap memberi wewenang kepada militer untuk mencampuri urusan sipil, yang dikhawatirkan akan mengembalikan masa kelam Orde Baru.
Kinerja BUMN juga menjadi faktor penting dalam penurunan IHSG. Banyak kasus korupsi yang mencuat, seperti PT Timah Tbk. yang terlibat korupsi sebesar Rp300 triliun dan PT Pertamina (Persero) yang nyaris mencapai Rp1 kuadriliun. Hal ini menimbulkan keraguan di kalangan investor. Selain itu, terdapat isu transparansi dalam pengelolaan Sovereign Wealth Fund (SWF) Danantara, yang memiliki aset awal sekitar Rp14.670 triliun.
Gw kan bukan investor, emangnya ngaruh?
Anjloknya IHSG menandakan perekonomian suatu negara sedang bermasalah, dan dampaknya tidak hanya dirasakan oleh investor, tetapi juga seluruh masyarakat. Mengutip dari Whiteboard Journal, beberapa dampaknya adalah kenaikan harga barang, semakin sempitnya lapangan pekerjaan, penurunan nilai reksa dana dan asuransi, serta melambatnya perekonomian.
Efek domino akan terus terjadi. Jika sebelumnya masyarakat bisa berbelanja kebutuhan dengan harga murah, pelemahan rupiah akan membuat harga barang impor lebih mahal, termasuk harga bensin. Banyak perusahaan gulung tikar karena kesulitan keuangan, yang akhirnya menyebabkan meningkatnya angka pengangguran.
Perlambatan ekonomi juga membuat Indonesia semakin tidak stabil dan dijauhi oleh negara-negara yang sebelumnya tertarik untuk bekerja sama. Jika akumulasi problematika negara semakin tinggi, para revolusioner bisa saja berupaya mengubah keadaan negara ini secara drastis demi perbaikan.
Saat ini, Indonesia sedang mengalami masa sulit dengan banyak ketidakteraturan, penyimpangan, dan nepotisme. Maka dari itu, agar tidak menjadi Indonesia Cemas 2045, diperlukan semangat pengorbanan untuk memperbaiki negara. Mengingat pada tahun 2025 saja, Indonesia telah mengalami banyak persoalan vertikal, yakni ketimpangan antara masyarakat dan pemerintah.
Penulis: Mustofa Ismail
Redaktur: Wahyu Adjie Kumbara