Badai layoff yang melanda Indonesia pada tahun 2024 telah menciptakan gejolak besar dalam pasar tenaga kerja, menimbulkan berbagai dampak yang luas dan mendalam. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi memaksa lebih dari 100.000 pekerja keluar dari dunia kerja hanya dalam enam bulan pertama tahun ini. Fenomena ini memicu berbagai pertanyaan mengenai dampak ekonomi jangka panjang dan bagaimana negara ini dapat mengatasi krisis ketenagakerjaan yang semakin memburuk.
Salah satu penyebab utama gelombang PHK ini adalah perlambatan ekonomi global yang berdampak signifikan, terutama pada sektor-sektor pekerjaan yang sangat bergantung pada ekspor dan bahan baku impor. Sektor-sektor seperti tekstil, alas kaki, manufaktur elektronik, otomotif, dan pengolahan pangan menjadi yang paling rentan terhadap fluktuasi ekonomi global. Penurunan permintaan ekspor, khususnya di industri tekstil dan alas kaki, memaksa banyak perusahaan untuk memangkas biaya operasional. Kondisi ini semakin diperparah oleh masuknya produk impor ilegal yang merusak pasar domestik, sehingga memaksa perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja sebagai langkah efisiensi.
Selain itu, devaluasi rupiah yang berkelanjutan semakin memperburuk kondisi ekonomi. Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS meningkatkan biaya impor dan menurunkan daya beli konsumen. Dilansir dari data Bank Indonesia, menunjukkan bahwa pada kuartal pertama 2024, nilai tukar rupiah mencapai Rp15.940 per dolar AS, yang merupakan salah satu titik terendah dalam beberapa tahun terakhir, memperparah tekanan ekonomi yang sudah ada.
Dampak dari gelombang PHK ini tidak hanya bersifat finansial tetapi juga sosial dan psikologis. Pekerja yang kehilangan pekerjaan menghadapi kesulitan ekonomi yang signifikan, termasuk penurunan kualitas hidup dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Penelitian menunjukkan bahwa kehilangan pekerjaan sering kali memicu stres, kecemasan, dan depresi. Data dari Harvard Business Review mengungkapkan bahwa dampak psikologis dari kehilangan pekerjaan bisa sangat merusak dan memperburuk keadaan dengan menambah tekanan emosional pada individu. Selain itu, pekerja yang terkena PHK sering kali mengalami isolasi sosial dan stigma, yang memperburuk perasaan rendah diri dan ketidakberdayaan. Menurut laporan dari Gallup, sebuah perusahaan analitik dan konsultan global yang terkenal dengan penelitian di bidang kesejahteraan dan opini publik, isolasi sosial akibat PHK ini dapat memperparah tekanan psikologis dan menciptakan perasaan keterasingan dari komunitas. Gallup telah banyak melakukan penelitian untuk memahami dampak kesejahteraan emosional pada individu, termasuk bagaimana perasaan terputus dari lingkungan sosial dapat meningkatkan risiko gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.
Namun, di balik krisis ini juga terdapat peluang untuk inovasi dan pembaruan. Gelombang PHK bisa menjadi titik balik yang mendorong perubahan dan perkembangan di sektor-sektor yang masih berkembang. Misalnya, sektor teknologi dan industri kreatif menunjukkan ketahanan yang lebih baik dan bahkan mengalami pertumbuhan. Data dari e‑Conomy SEA 2023 menunjukkan bahwa pasar e‑commerce di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tumbuh sebesar 15% per tahun, menandakan adanya peluang bagi mereka yang ingin beralih ke sektor-sektor yang berkembang pesat. Kewirausahaan juga muncul sebagai jalur yang menjanjikan. Dengan adanya kebutuhan yang belum terpenuhi dan kesempatan untuk menciptakan solusi inovatif, banyak individu terdampak PHK dapat memanfaatkan situasi ini untuk memulai bisnis mereka sendiri. Program pemerintah yang mendukung UMKM dan inovasi lokal dapat memberikan dukungan penting dalam proses ini, dan data dari Global Entrepreneurship Monitor (GEM) menunjukkan bahwa tingkat kewirausahaan di Indonesia meningkat sebesar 2,5% pada tahun 2023, mencerminkan semangat inovasi di tengah ketidakpastian.
Peran pemerintah dan perusahaan dalam mengatasi dampak dari gelombang PHK ini sangat penting. Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan perdagangan dan impor yang merugikan industri lokal. Perlindungan terhadap produk domestik dan kebijakan yang mendukung sektor-sektor yang terdampak dapat membantu memperbaiki kondisi bagi industri dalam negeri. Program bantuan sosial yang lebih luas juga perlu diperluas, termasuk bantuan tunai dan pelatihan keterampilan untuk mendukung keluarga yang terdampak PHK. Perusahaan harus mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif, seperti pelatihan ulang dan penempatan kembali karyawan, daripada hanya melakukan pemutusan hubungan kerja. Pendekatan ini tidak hanya membantu pekerja tetapi juga menjaga hubungan baik dengan karyawan dan memperbaiki citra perusahaan. Menurut data dari McKinsey, perusahaan yang berinvestasi dalam pelatihan karyawan dapat mengurangi tingkat pergantian karyawan sebesar 10% dan meningkatkan produktivitas sebesar 25%.
Melihat ke depan, generasi muda memiliki peran penting dalam membentuk masa depan ekonomi Indonesia. Dengan keterampilan dan ide-ide baru, mereka bisa menjadi agen perubahan yang positif. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk menanamkan semangat kewirausahaan dan inovasi di kalangan anak muda serta mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan dan peluang di pasar kerja yang terus berubah. Penelitian dari World Economic Forum menunjukkan bahwa keterampilan adaptif dan kreativitas akan menjadi kunci dalam pasar kerja masa depan, menekankan pentingnya pendidikan yang relevan dan keterampilan yang dapat diadaptasi.
Krisis PHK yang terjadi menyoroti pentingnya ketahanan dan fleksibilitas dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi. Pekerja dan perusahaan yang mampu beradaptasi dengan cepat akan lebih mampu bertahan dan berkembang di tengah krisis. Meskipun gelombang PHK ini menimbulkan ketidakpastian, ia juga membuka pintu untuk peluang baru dan solusi kreatif yang dapat membawa dampak positif dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penting bagi kita semua terutama generasi muda untuk tetap optimis, terus berinovasi, dan siap menghadapi tantangan yang ada di depan kita.
Penulis: Kurnia Faizatul Muna (Kontributor)
Editor: Novinda