Pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur telah memicu perdebatan panjang. Isu lingkungan, terutama deforestasi dan kerusakan ekosistem, menjadi salah satu aspek yang paling kontroversial. Pulau Kalimantan dikenal sebagai salah satu paru – paru dunia dengan luas hutan mencapai 40,8 juta hektar. Sayangnya, laju deforestasi di wilayah ini sangat tinggi.
Menurut Departemen Kehutanan, antara tahun 2000 hingga 2005, Kalimantan kehilangan 1,27 juta hektar hutan setiap tahun setara dengan 673 hektar per hari. Selain itu, laporan “State of the World’s Forests 2007” dari The UN Food & Agriculture Organization (FAO) menyebutkan bahwa Indonesia mengalami deforestasi sebesar 1,8 juta hektar per tahun pada periode yang sama. Bahkan, Guinness Book of Records mencatat Indonesia sebagai negara dengan laju kerusakan hutan tercepat di dunia.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa mega proyek IKN dapat memperburuk kerusakan lingkungan di Kalimantan. Target penyelesaian proyek ini yang direncanakan secara bertahap hingga tahun 2045 juga memunculkan pertanyaan tentang dampak jangka panjangnya. Isu baru – baru ini dimana Presiden Prabowo Subianto menyebut bahwa sawit juga pohon yang dapat menyerap karbon menambah rentetan kekhawatiran yang Panjang.
Tak perlu takut memperluas sawit karena tudingan deforestasi sawit juga merupakan pohon yang berdaun dan menyerap karbon, “itu aset – aset negara dan saya kira ke depan kita harus tambah tanam kelapa sawit. Nggak usah takut (dengan) apa itu, membahayakan (karena menyebabkan) deforestation. Namanya kelapa sawit itu ya pohon, ya kan. Bener nggak? Kelapa sawit itu ya pohon, ada daunnya,” ujar Prabowo Subianto saat memberikan pengarahan dalam Musyawarah Perencanan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025 – 2029 di Jakarta, Senin (30/12/2024) lalu.
Pandangan Prabowo dalam memandang deforestasi yang menganggap sawit sebagai pohon yang berdaun dan mampu menyerap karbon jelas salah kaprah. Pernyataan Prabowo pun bertolak belakang dengan berbagai komitmen pelestarian iklim, maupun langkah – langkah pengendalian deforestasi yang dilakukan di Indonesia. Pasalnya penyerapan karbon pohon sawit sangatlah rendah jika dibandingkan pohon – pohon lain di hutan yang heterogen jenis pohonnya (dibanding monokultur kebijakan pemerintah). Hal ini mengingatkan saya dengan gagasan ekologi anarkisme dari Murray Bokchin.
Dunia sedang memulai kehancurannya (nuklir, megapolitan, polusi Batubara, pertanian monokultur: sawit). “rangkaian peracunan yang tak ada habisnya, menyerang udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan hampir semua hidangan di meja makan malam kita” tulis Bookchin dalam esai Ecology and Revolutionary Thought pada 1964.
Menurut Bookchin keputusan konsensus warga akan bertentangan dengan elitisme politikus negara. Ia menebak bahwa kelak, warga kota dan negara akan berada dalam puncak ketegangan, hal ini akan memunculkan kekuasaan ganda. Ia pasti akan berjuang dimana yang satu akan mencoba untuk mengalahkan yang lain yaitu Munisipalisme libertarian.
Munisipalisme libertarian adalah tentang demokrasi langsung pada Tingkat lokal, khususnya di kota – kota. Alih – alih mengandalkan pemerintah pusat sebagai pengampu kebijakan, hal ini mendorong agar kekuasaan dikembalikan ke tangan warga (Munisiplisme libertarian juga merupakan bagian dari tradisi sosialis dan anarkisme) Dalam hal ini adalah terkait dengan ekologi, dimana Bookchin tercatat sebagai radikal kiri pertama yang menaruh perhatian serius pada krisis iklim serta yang mengelaborasi gagasan dasar ekologi dan anarkisme dis saat Sebagian besar sosialis pada zamannya masih memusingkan diri dengan ide – ide perjuangan kelas.
Dengan berbagai isu – isu belakangan ini tentang ekologi, deforestasi, kurangnya pemerintah dalam membuat kebijakan – kebijakan yang membahayakan salah satu paru – paru dunia yaitu Indonesia selaras dengan gagasan Murray Bookchin. Di Indonesia, hutan hujan tropis kita dihancurkan oleh pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit yang diawali dengan penebangan, pembakaran hutan, lalu kabut asap.
Polusi Pembangkit Listrik tenaga uap (PLTU) batubara juga cukup mengerikan, asap kendaraan bermotor saja sudah sangat merusak udara perkotaan. Kota – kota tumbuh semakin besar dan pada akhirnya menggantungkan pangannya pada daerah – daerah pertanian (monokultur sawit di Kalimantan) yang terus dipecut untuk memproduksi secara cepat dan besar. Hal ini selaras dengan yang terjadi di Indonesia saat ini, paradoks dimana Indonesia sebagai salah satu paru – paru dunia justru menempati peringkat ke‑3 di dunia dengan Ibu Kotanya Jakarta sebagai salah satu ibu kota paling tercemar di dunia, menyaingi New Delhi dan Beijing. Bahkan dalam indeks kualitas udara menurut situs International Quality Air (IQAir) kualitas udara Jakarta sudah masuk kategori tidak sehat dan tidak layak hidup.
Penulis : Wahyu Firmansyah
Redaktur : Mustofa
Ilustrator : Bella Editor : Tika