Riak kecil di permukaan laut membuat gulungan ombak semakin tinggi dan pecah di antara batu karang. Aku meliuk, menyibak gelembung-gelembung yang diciptakan oleh gerakanku sendiri. Air ini terasa asin. Tapi, semenjak hari itu aromanya aneh, seperti perpaduan antara besi berkarat dan minyak. Dan sialnya bau itu makin hari makin menusuk.
“Lira, ayo, lekaslah kemari!” itu suara Ibu, sepertinya ia sudah siap untuk mengajakku bertemu kawan-kawannya.
Aku meluncur pelan. Tapi sebentar, kenapa siripku terasa perih? Dan kenapa di sana nampak seperti guratan merah?
“Lira, ayo! Kenapa kau diam saja?” teriak Ibu dengan nada yang lekas meninggi.
“Iya, Ibu, sebentar. Sirip Lira perih, kenapa ya, Bu?” tanyaku yang masih fokus pada guratan merah itu.
Ibu berbalik, menghampiriku. Matanya membulat sempurna, mengamati sekilas guratan merah di sirip kananku. Ia hanya bergeming. Ku rasa Ibu mengetahui sesuatu, tapi enggan ia ucapkan.
“Tak apa. Nanti sakitnya juga hilang.” gumamnya sembari mengusap pelan siripku.
Aku mengangguk dan lekas mengekor Ibu menuju padang lamun. Lamun-lamun ini begitu pucat, seperti pohon yang tak terurus berbulan-bulan lamanya. Tapi sebentar, apa yang meliuk-meliuk bebas di antara lamun itu? Aku mendekat. Ia berwarna hijau kebiruan, berbeda dengan lamun-lamun di sekitarnya.
“Hei, kau sedang melihat apa, Lira?”
Aku terlonjak. “Oh, Puyo! Aku kira… ah, tidak. Aku hanya melihat lamun. Tapi, mengapa ia tampak aneh?”
Puyo menunduk, matanya menyapu sekilas pada guratan siripku. “Ini bukan Lamun.” suaranya parau, seolah menyimpan luka panjang.
“Bukan lamun?” tanyaku mengulang ucapannya.
Ia mengangguk dan mengembuskan gelembung kecil dari sela tempurungnya. “ Aku juga pernah terjebak di antara mereka.”
“Terjebak? Maksudmu–”
Ia buru-buru memotong kalimatku. “Kemarin… atau mungkin dua hari yang lalu,” ia terdiam sejenak, mengatur napasnya. “Kami sempat memakannya. Rasanya membuat lidahku kelu, tapi… sudah terlanjur masuk perut.” lanjutnya dengan tatapan sendu.
Hatiku seperti ditikam puluhan pisau. Entah mengapa aku mulai merasa aneh, dengan respon Ibu, dengan tumbuhan yang ternyata bukan lamun, dengan cerita Puyo, dan nanti dengan apa lagi?
Aku menatap cemas. “Tapi kau tak apa, Puyo?”
“Tak apa, Lira. Buktinya kau hari ini masih melihatku, kan?” jawabnya tersenyum getir.
Aku hanya menatapnya tanpa sanggup menjawab. Suara Ibu kembali menggema, menggajakku beranjak. Konon kita akan menyelam lebih dalam, atau mungkin melompat ke permukaan, menyapa camar putih di atas sana. Tapi, sesuatu kembali menarik perhatianku. Di antara terumbu karang dan anemon laut itu, bayang-bayang besar dengan gerak tersendat nampak berenang ke arahku. Aku menyipit.
“Si-siapa di sana?” pertanyaanku meluncur begitu saja, tak ada jawaban yang menangkapnya.
Dengan penuh ragu aku mendekat, menggerakkan pelan sirip dan ekorku agar riak tak semakin besar. Semakin dekat, semakin jelas. Seekor anjing laut tergolek lemas di dasar sana, di antara karang dan anemon. Lehernya terlilit sesuatu berwarna putih. Tipis, tapi mencengkeram dengan erat.
“Hei, kau tak apa?” bisikku.
Ia berusaha menggerakkan tubuhnya. Napasnya tersengal. Lehernya memerah, dan sedikit kebiru-biruan.
Aku berenang lebih dekat. “Jawablah, kau tak apa?” ulangku sedikit mendesak.
Anjing laut itu membuka mata. Tatapannya sayu, menyimpan banyak luka yang tak bisa ia ucapkan. Dari mulutnya keluar erangan pendek bercampur gelembung-gelembung kecil yang meletus seketika. Aku meraih lilitan itu, ingin mengigitnya supaya lepas.
“Lira, jangan terlalu dekat!” suara Ibu mengalihkan fokusku. “Itu bisa melukaimu juga.”
Aku tercekat. Benda itu jelas bukan lamun. Sekali lagi aku menatapnya. Ia terlihat begitu tipis. Dan apakah hal yang sama juga terjadi pada siripku? Aku menggeleng pelan, mengusir pikiran aneh yang mengganggu kepalaku.
“Ibu…, apakah kita bisa menolongnya?”
Ibu diam. Matanya menatap ke arahku, lalu kembali pada anjing laut. “Tidak tahu, Lira.” ia menggerakkan cemas ujung ekornya. “Ibu rasa… tak ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk menolongnya. Kecuali…” jawaban itu menggantung begitu saja.
“Kecuali apa, Bu?” tanyaku cepat.
Ibu mengatupkan mulutnya. “Tidak, Lira, tidak apa-apa. Yakinlah, sesuatu yang baik pasti akan menolongnya.” pungkasnya.
Ibu mengajakku segera pergi. Ia mengatakan jika ada sesuatu yang harus aku lihat. Aku menatap anjing laut itu sekali lagi. Napasnya makin tersengal-sengal.
Kami berenang ke arah utara, tempat ikan-ikan besar tinggal. Namun nahas, semakin ke utara, air laut terasa aneh. Ia makin keruh, bahkan banyak benda-benda asing yang tenggelam dan mengapung. Semuanya berputar di hadapanku.
“Ibu, kenapa di sini banyak benda-benda asing? Dan kenapa airnya keruh?” tanyaku sembari mendengus kesal.
Ibu tak menjawab. Ia terus mengayunkan siripnya dengan sesekali melirik ke kanan, ke kiri, lalu ke permukaan yang mulai tampak dari kejauhan. Aku terus mengikutinya hingga mataku melihat bayangan raksasa yang terombang-ambing miring di permukaan. Tubuhnya besar, jauh lebih besar dari batu karang yang pernah aku temui. Mataku mendelik. Ia penuh dengan luka. Dan mulutnya yang sedikit terbuka itu mengeluarkan aroma yang membuatku pusing.
Aku berenang ke arah Ibu. “Ibu… dia kenapa?”
Ibu menatapku, lalu beralih menatap iba pada paus besar yang terombang-ambing tak berdaya. Kami sama-sama diam, larut dalam pikiran masing-masing. Bayangan hitam itu menghantui pikiranku.
“Ibu…,” suaraku tercekat, “jika suatu hari aku seperti itu, apakah manusia akan peduli padaku?”
Ibu tertunduk, menyembunyikan air matanya. Dan langit pun kian menghitam, menyisakan suara angin serta gemuruh ombak yang saling bertabrakan.
Penulis: Lulu Parasifa
Redaktur: Sifana Sofia