Semakin hari, Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) terlihat semakin bringas dalam menjalankan program kerjanya. Mereka memaksa mahasiswa Prodinya sendiri untuk bergabung dalam kegiatan yang mereka adakan. Jika tak ada perwakilan delegasi di setiap kelas, maka kelas tersebut akan disanksi lewat pembayaran denda. Serupa dengan Satlantas, bakal mendenda pengendara motor bila tak menggunakan helm.
Kegiatan yang diwajibkan kerap kali berupa perlombaan, seminar dan beberapa program kerja bulanan HMPS seperti publikasi buletin. Hal ini menjadi ngawur, mengingat tujuan utama mahasiswa adalah kegiatan akademik, layaknya Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), bukan dipaksa mengikuti perlombaan.
Nilai denda yang dibayarkan terbilang cukup mahal. Tertinggi adalah HMPS Tadris Bahasa Indonesia (TBIN). Pada kompetisi duta yang digelar pada 27 September lalu, perkelas dari semester 1 dan 3 wajib mendelegasikan peserta dengan membayar uang Rp. 250.000, jika kelas tersebut absen ikut dalam kompetisi, maka kelas wajib membayar denda sebesar Rp. 750.000.
Tak hanya itu, HMPS Pendidikan Agama Islam (PAI) yang mengadakan kompetisi duta bertajuk Gus Ning PAI juga wajib mendelegasikan lima pasang pendaftar. Biaya yang dikeluarkan sama persis dengan denda yang dibayarkan saat tidak mengikuti, yaitu Rp. 250.000. PAI juga punya program kerja lain untuk mendenda mahasiswanya, tiap bulan, perkelas di PAI semester 2 dan 4 wajib mengumpulkan karya berupa artikel, essay, cerpen atau puisi. Denda yang dibayarkan saat tidak mengumpulkan karya sebesar Rp. 50.0000.
Di Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) yang menyandang julukan episteme sentris ternyata juga ditemui adanya pemberlakuan denda. Salah satu HMPS di FUAD, yaitu Prodi Psikologi Islam (PI) menggelar perlombaan bernama PI CUP. Setiap kelas wajib mengisi 3 kategori lomba, yang terdiri dari futsal, badminton, dan esai. Jika tak ada perwakilan dari tiap-tiap kategori, kelas tersebut dikenai denda berjumlah Rp. 250.000. Lucunya, bila peserta terlambat mengumpulkan esai bakal terkena denda tambahan sebesar Rp. 250.000. Atau saat pemain dikenai kartu kuning atau merah, juga akan didenda.
Mengajak banyak mahasiswa guna meramaikan perlombaan atau seminar adalah cita-cita yang terdengar mulia. Namun apabila hal itu menyerobot hak mahasiswa, tak lain dan tak bukan adalah Prabowo tsani, memaksakan target 40 juta penerima manfaat untuk menyantap makan bergizi gratis (MBG) yang mengakibatkan ribuan orang mengalami keracunan.
Muhammad Fahrun Nada selaku ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Tarbiyah, Ilmu, dan Keguruan (FTIK) harus dibangunkan dari tidurnya agar bisa menjalankan fungsi SEMA, yaitu pengawasan. Ketika hal seperti ini sudah menjamur di FTIK, maka SEMA FTIK dianggap gagal, dan wakil dekan kemahasiswaan, Muhammad Zaini, harus bisa menyadarkan SEMA FTIK untuk segera melakukan fungsi pengawasan. Terlebih pada Prodi Tadris Bahasa Inggris (TBI).
HMPS TBI dengan mudahnya merogoh uang para mahasiswa lewat sepucuk surat berlabel resmi lengkap dengan stempel dan tanda tangan Koordinator Prodi (Koorprodi), yaitu Nursamsu. Dalam surat resmi, jumlah denda yang harus dibayarkan sebesar Rp. 300.000
Di sisi lain, dalam buku Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pemilihan Duta Bahasa Indonesia, pada poin F tentang denda tak hanya menjelaskan besaran jumlah denda yang harus dibayar, namun juga diwajibkan membuat surat pernyataan bertanda tangan Koorprodi. Artinya, bukan hanya HMPS saja yang ikut memberlakukan denda, Koorprodi TBIN yaitu Muhammad Basuni juga terindikasi turut andil dalam pemberlakuan denda ini.
Di negara demokrasi, setiap mahasiswa sejatinya mempunyai hak dalam memilih apakah dia menerima atau menolak bergabung di kegiatan yang digelar oleh HMPS. Mereka bebas dalam menentukan setiap aktifitas di kampus, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan akademik seperti KBM, Ujian Komprehensif dan yang lainnya.
Jika yang diingkan HMPS adalah ramainya peserta di tiap-tiap kegiatan, konsekuensi finansial bukanlah jawabannya. Entah otak mereka cuti atau memang belum sempat digunakan, mereka mesti mencari cara lain selain pemberlakuan denda pada mahasiswa di tiap kegiatan. Barang kali mereka lupa, berpikir juga bagian dari kerja manusia.
Bila ditarik ke dalam Kode Etik Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah, ada sebuah ayat di Bab Pelanggaran yang hampir mendekati fenomena ini. Ayat tersebut mengatakan, “Mahasiswa dinyatakan melanggar apabila melakukan pemalakan.” Apabila hal ini terus dinormalisasi, pemalakan lewat pemberlakuan denda akan menjadi tabiat HMPS-HMPS di UIN saat menggelar suatu kegiatan.
Tak dapat dipungkiri, agenda HMPS yang ramai tentu membuat Dekan, Wakil Dekan III, dan Koorprodi merasa senang. Namun apabila hal itu memaksa hak mahasiswa dengan punishment pembayaran denda, seluruh kegiatan HMPS hanyalah panggung pencitraan.
Praktik asal bapak senang sudah menjadikan mahasiswa sebagai tumbal kekuasaan demi keberlangsungan suatu acara.
Penulis: Tim Redaksi
HMPS Apa Satlantas">