Pohon-pohon ting­gi yang ia tak tau namanya itu selalu mem­bu­at­nya merind­ing, teruta­ma saat men­je­lang petang –orang roman­tis menye­but­nya sen­ja. Sebab ia rasakan wak­tu tak lagi maju, wak­tu stag­nan seo­lah akan menusuk sia­pa saja den­gan din­gin dan ken­ger­ian. Angin sayup dan syah­du berubah men­ja­di pem­bius keti­ka berte­mu pohon-pohon itu kala petang. Meng­ger­akkan dedau­nan di pucuk dan rant­i­ng kecil di ping­gi­ran­nya. Apta mem­beku takut dan ngeri.

Hujan turun den­gan berahi mem­bu­at basah bumi. Deras yang keter­lalu­an. Ten­gah malam itu men­ja­di kelap-kelip oleh Zeus yang memainkan mainan­nya dan Posei­don yang rindu den­gan airnya. Lan­git beradu den­gan gemu­ruh air yang diguyur dari atas, juga meledak-ledakkan gen­dang telin­ga mungil Apta di balik jendela.

Ia penasaran. Dis­i­bakkan tirai kasar itu, kemu­di­an men­em­pelkan jidat ke kaca jen­dela. Matanya binal menyak­sikan per­tun­jukan tem­pur ele­men alam; air, angin, dan beber­a­pa petasan langit.

Apta, cepat­lah tidur.” Suara men­gan­tuk perem­puan yang ter­ban­gun oleh berisik tem­pur di luar.

Ia hanya menoleh, kemu­di­an kem­bali mema­l­ingkan wajah­nya. Belum sam­pai puas matanya menikmati per­tun­jukan itu. Ia san­gat menyukai badai yang tak merusak seper­ti sekarang. Ingin bera­da di ten­gah-ten­gah­nya dan merasakan di kulit­nya din­gin dan merinding.

Ham­pir pukul satu, tan­pa pegal yang berar­ti ia terus saja men­em­pelkan jidat­nya ke kaca jen­dela. Perem­puan yang memang­gilnya sudah lelap di kamar. Tak lama, hujan yang meng­guyur sudah tak lagi bersel­era turun. Hanya gemer­lap kilat di balik awan kemu­di­an mem­bu­at­nya bosan. Ia menangis, kena­pa hujan dan angin buru-buru mening­galkan­nya di malam yang syahdu.

Tangis­nya makin mer­a­jalela. Tetap ditem­pelkan jidat­nya ke kaca jen­dela. Mungkin ia men­co­ba mem­bu­at hujan dan angin dari dirinya agar mirip yang tadi. Suara keras dari mulut mungil Apta belum mem­ban­gunkan perem­puan yang telah tidur dulu­an den­gan selimut hangat di kamar.

Di luar jen­dela hanya hitam sebelum dit­eran­gi lam­pu alam yang menggel­e­gar dan menam­pakkan sosok wajah tepat di depan jidat­nya yang tak bakal ia lupakan seu­mur hidup, seti­dak-tidaknya mem­bu­at trau­ma sam­pai ia masuk kuli­ah seper­ti saat ini.

***

Apta adalah peker­ja malam di kam­pus­nya. Seo­rang maha­siswa gem­bel yang men­cari tem­pat berlin­dung dari hujan dan angin. Pada­hal, sewak­tu kecil ia san­gat menyukai sam­pai meng­hara­p­kan datangnya hujan dan angin bersamaan. Semua berubah, tuan. Bukankah kehidu­pan ber­jalan sebab ada peruba­han dan putaran?

Sung­guh berun­tung beribu untung. Ia tak sendiri kala malam, seti­dak-tidaknya ada satu atau dua maha­siswa yang bernasip demikian, mirip dirinya. Men­ja­di pen­ja­ga malam yang malah diang­gap pem­bu­at keonaran ia nikmati seper­ti menghis­ap rokok di kan­tor yang jorok.

Tapi malam ini berbe­da. Hujan datang menyusul angin yang sudah menung­gu sam­bil bermain-main den­gan dedau­nan pohon ting­gi di kam­pus­nya. Hanya ada seo­rang perem­puan, begi­tu culas dan cadas. Omon­gan­nya san­gat njan­juk­ki, sama-sama menusuk seper­ti kenan­gan­nya akan hujan dan angin di masa kecil tadi. Tak apalah, asal tak sendiri­an. Pikirnya.

Apta adalah laki-laki yang penakut –aku lebih suka menye­but­nya trau­ma masa kecil yang tak dipedu­likan orang-orang tapi malah diku­tu­ki dan dihu­jati— akan hal-hal berbau busuk kubu­ran dan kain kafan. Kesadaran teman-teman­nya soal orang men­ja­di sesu­atu yang unik dan berbe­da adalah hasil ben­tukan yang sama sekali tak ia ketahui, tapi teman-teman­nya selalu merasa tau segalanya. Bahkan sam­pai kehidu­pan pri­vat Apta. Apta dijarah pri­vasinya dan kemanu­si­aan­nya dibu­at main-main. Ia sudah lelah, teringat omon­gan seo­rang teman yang menginkan mati muda saja.

Apta pen­dosa ulung, ter­li­hat dari ram­but mengk­i­lat tan­da ser­ing man­di wajib. Juga baju yang rapi sam­pai kanc­ing baju pal­ing ujung meny­atu. Celana dalam gan­ti empat kali sehari, kecuali saat tidur –ia tak memakai, mem­biarkan kulit­nya bernafas. Sep­a­tu selalu dipakai, juga tidak bau. Sam­pai-sam­pai, saat nongkro­ng di warung kopi-pun ia akan duduk melu­ruskan punggungnya.

***

Petang sudah lenyap. Tapi hujan dan angin tetap setia menung­gu Apta men­jer­it-jer­it dan menangis mirip masa kecil­nya. Hujan dan angin dimana­pun sama, teruta­ma di angan Apta. Selalu menam­pakkan ken­ger­ian dan kebekuan yang dahsyat.

Ia rasa semua sudah berlalu, ia telah lama mendekam di pojok kan­tor. Di dalam hanya ada mere­ka berd­ua, perem­puan itu sedang lem­bur tugas kuli­ah dua ming­gu lalu yang bakal ram­pung dalam semalam. Apta lihati arlo­ji entah milik sia­pa yang tergele­tak, “pukul sebe­las lebih.” Ucap­nya lirih.

Apta tak mem­per­li­hatkan ketaku­tan­nya kepa­da perem­puan itu. Ia rasa semua akan baik-baik saja. Ter­lebih lagi ia san­gat tidak ingin men­gang­gu maha­siswa sak­ti menger­jakan tugas yang sudah menumpuk dalam dua ming­gu, kemu­di­an diben­del yang bakal jadi tugas semalam. Murkanya adalah ken­ger­ian kedua.

Lebih dari ten­gah malam kejo­lak di luar telah hengkang. Nyatanya mendekam ketaku­tan mem­bu­tuhkan banyak kalori. Sekarang ia kela­paran dan ragu-ragu per­gi kelu­ar. Jan­gan-jan­gan penam­pakkan wak­tu kecil­nya menung­gu di depan pin­tu kan­tor salah satu organ­isasi itu. Ia coba cari akal, tan­pa ketahuan men­ga­jak perem­puan itu tapi ia ikut bersamanya.

Aku mau kelu­ar, mau pesan?” berharap pesanan perem­puan itu rumit, kemu­di­an ia ikut menemani.

Air minum.” Sam­bil meny­o­dor­kan uang tiga ribu per­ak di atas meja.

Mata perem­puan itu ter­fokus pada tugas­nya. Tak goy­ah dan begi­tu istiqom­ah. Ia tak meli­hat Apta den­gan raut muka masam sebab kail panc­ingnya sama sekali tak dilirik ikan.

Apala­gi?”

tak ada.”

yakin?”

kau kena­pa? Cepat per­gi! Aku haus.” Matanya tetap menat­ap ke tugas, sama sekali tak menghi­raukan Apta.

Kesialan apa yang mem­bu­at ia lapar ten­gah malam? Apa sebab pola makan, pola tidur, atau sam­pai Noc­tur­nal Eat­ing Syn­drome? Entahlah. Yang jelas ia sudah jengkel pada 3 hal yang lalu: malam den­gan ken­ger­ian, ketus­nya uca­pan perem­puan ini, dan rasa lapar.

Den­gan berat hati dan mem­beranikan diri ia kelu­ar, matanya lebih liar men­cari hal-hal tak wajar. Kemu­di­an ia nai­ki kendaraan, tan­gan­nya masih gemetar dan keding­i­nan. Ia pan­dan­gi pohon-pohon yang ting­gi yang hitam dis­e­limu­ti malam di ping­gi­ran jalan menu­ju ger­bang kelu­ar. Semoga tak ada keane­han seper­ti orang yang san­gat kurang ker­jaan kele­wat ten­gah malam meman­jati pohon, mis­al­nya seper­ti itu. Piki­ran-piki­ran itu segera dita­mp­is den­gan memikirkan hal-hal menye­nangkan, mengisi perut sam­bil menon­ton filem.

Suhu din­gin selepas hujan ten­gah malam mulai masuk ker­ah dan yang lain memegan­gi tan­gan Apta. Suk­ses mem­bu­at­nya mengge­tarkan rahang den­gan cepat. Dan menger­atkan gengga­man ke stang. Ia gas saja, berharap kebekuan di ujung kaki dan jari dan gigi segera berakhir. Kendaraan sudah mele­sat cepat mele­wati jalan raya yang lenggang.

***

Malam ham­pir pagi dan din­gin makin men­ja­di. Sejam penant­ian perem­puan itu di kan­tor, Apta datang, den­gan tan­gan kosong. Sang perem­puan tak meliriknya sama sekali. Ia tetap sibuk den­gan tugas. Tak peduli.
Apta butuh hibu­ran, rasa kan­tuk telah lenyap terseret air sisa hujan tadi malam. Ia coba menakut-naku­ti sang perempuan.

hati-hati kalau lem­bur, banyak penung­gun­ya disi­ni.” Ucap­nya menirukan orang ketaku­tan –yang sebe­narnya memang takut.

eh apa itu? Di atas lemari?” pura-pura kaget.

Perem­puan itu tetap diam seo­lah sama sekali tak memanu­si­akan Apta. Ia coba tirukan suara kun­ti­lanak yang malah ter­den­gar mirip rin­ti­han perem­puan mau melahirkan. Apta mulai takut. Perem­puan itu tetap mem­beku per­sis saat per­ta­ma kali ia tinggalkan tadi.

Hei..!”

Woi..!”

Apta pang­gili tetap saja tak ada sahutan atau sekedar tat­a­pan sinis yang biasanya. Ia merind­ing! Perem­puan itu meli­hat pon­sel­nya, meli­hat sesu­atu dan seo­lah terke­jut. Tugas­nya sudah bukan per­ha­tian­nya. Jelas itu bukan kabar dari kekasih –sebab Apta tahu ia sendiri­an sejak dahu­lu kala.

Apta merasa bin­gung. Juga takut ter­hadap perem­puan di depan­nya. Den­gan hati-hati dan sia­ga yang dimak­si­malkan ia dekati perem­puan itu.

TEMBUUUSSS!!!! Pekiknya dalam hati!

Apta seke­jab mundur tiga langkah ke belakang. Tan­gan­nya tetap sia­ga mirip pen­ja­ga gawang, seo­lah akan ada hal yang tak men­ge­nakkan meny­erang, pen­gu­lan­gan keja­di­an di masa kecilnya.

Perem­puan itu berdiri, sam­bil berbisik lir­ih dan kawatir di tem­pat. “Apta semoga kau baik-baik saja.”

Pon­sel ia letakkan di atas tugas-tugas.

Oh, gam­bar kece­lakan dari grup,” Apta meli­hat­nya, “tung­gu dulu, aku seper­ti men­ge­nal baju itu.” Imbuhnya. []

Meyaki­ni berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menya­mar seba­gai manu­sia biasa.