Di kota tak bertuan ini segalanya bisa terjadi. Tak ada yang bakal mengatur kau buang kentut dimanapun dan semua tempat adalah Smoking Area. Tapi belakangan hal-hal berjalan sangat teratur; orang-orang tertib antre, buang sampah pada tempatnya dari sumbangan sukarela orang –bukan lagi di depan jidad orang gila, dan yang masih teramat sulit dipercayai, mereka mengucap salam. Walaupun penduduknya beraneka ragam, itu berarti mereka semua ber-Tuhan. Sudah sekian lama kota tak bertuan akhirnya memiliki tuannya, Tuhanlah pemiliknya.
Orang-orang disini bisa mengintip makhluk di bawah yang biasa disebut manusia dari lubang jamban tiap rumah mereka. Kota itu indah, penuh cahaya di tiap temboknya. Mengkilat mirip mata kekasih yang baru saja diberi kejutan di malam minggu.
Seorang bocah dengan rasa penasaran yang memburu. Ia menuju jamban di rumahnya, kemudian memasukkan kepalanya ke luang jamban itu. Dilihatnya dunia yang mulai sakit! Manusianya sebagai biang penyakitnya. Kemudian para manusia itu tertawa dengan serakah.
Lama sekali bocah itu mengintip di dalamnya. Sampai-sampai ia tak sadarkan diri. Lubang jamban bukanlah lubang yang tanpa air di dalamnya. Bagi orang yang percaya, siapapun yang memasukkan kepalanya ke sana bakal mampu melihat sekaratnya dunia tempat berpesta manusia.
***
Kedua mata bocah ini terbuka perlahan. “Apta, Cepat bangun! Kau harus bantu adikmu menaikkan pasir dari kali.” Suara asing perempuan terdengar tak mengenakkan di telinganya. Ia hanya diam saja. Kepalanya masih basah sebab penasaran dengan dunia manusia. Karena lubang jamban rumahku, tadi. Pikirnya.
Tapak kaki geram yang menyeret di atas lantai semen berlubang makin mendekat. Lantai dan tembok-temboknya sama sekali tak mirip dengan lantai dan tembok rumahnya. Tak ada yang mengkilat. Serambu hijau yang bau tuanya tercium sampai ranjang reyot yang ia tunggangi tersibak, menampakkan wajah keriput perempuan yang memanggilnya. Perempuan itu memandanginya dan membentak, “Cepat bangun anak tak tau diuntung!!”
Seperti terhpnotis dengan bentakan itu, setengah sadar ia gugup beranjak. Suara decitan ranjang reyot memandunya. Berdiri dengan kaki, tak ada sayap ataupun sutera putih terang tanpa noda yang harumnya ia sukai. Ia kebingungan, hanya kaos bau yang kebesaran berwarna biru tua yang menempel di badannya. Menutupi sampai paha dan sebagian celana kolor yang sama-sama bau.
“Jangan diam saja! Adikmu sudah berangkat ke kali pagi buta dank au hanya diam saja. Cepat pergi sana, Apta!!” perempuan tiu kembali menyeret satu kakinya menjauhi serambu. Di depan cermin using penuh debu yang kacanya pecah setengah ia pandangi dirinya. Hanya nampak seonggok daging dibalut kulit cokelat tua dan rambut keriting di kepalanya sebgai hiasan. Ia cari dimanapun tak ada alas kaki dari kulit rusa yang lembut, dan ia bertanya-tanya, Siapa Apta??
Dengan berat hati dan pikiran yang juga berat itu ia paksakan melangkah. Menuju kali yang ia belum kenali. Ia nyasar. Beberapa hari melakukan kegiatan yang sama; mencari kali. Ia selalu bangun kesiangan, adiknya buru-buru pergi duluan. Hanya murka perempuan itu yang berubah, makin membara.
Sepekan sudah bocah ini tak menemukan kali yang dimaksud perempuan asing itu. Tiap pagi pula kepalanya basah! Tapi ia yakin bukan sebab lubang jamban rumahnya.
Ia berpikir buat tak tidur semalaman! Menunggu adiknya pulang dan membuntutinya ketika pergi ke kali. Tapi tak ada siapa-siapa! Semalam hanya diselimuti hitam yang berisik oleh suara kendaraan. Masih dalam kepura-puraan tidurnya, perempuan itu muncul dari serambu hijau tua. Menyuruhnya menuju kali, sebab adiknya sudah berangkat tadi pagi. Selalu begitu, setiap hari. Padahal ia yakin tak ada siapapun yang datang, apalagi pergi!
***
Pagi yang baru dengan amarah perempuan pincang yang lebih menyengat daripada sinar di ujung timur yang malu-malu. Bocah itu bangun, bergegas keluar dari serambu kamar yang kucel. Segera berlari keluar menembus pintu reyot. Halaman depan rumahya sudah tak mirip halaman manusia, penuh ampas daun kering dan daun baru. Rindang pohon mangga besar di depannya adalah pelaku utama atas kekotoran ini. Satu hal baru yang ia dapat; perempuan itu tak hanya tak mandi, tapi juga pemalas bahkan hanya untuk menyapu daun-daun.
Ia segera berlalu melangkahi daun yang makin menebal. Tujuannya tetap sama, mencari kali buat menaikkan pasir bersama adiknya. Ia makin percaya dengan hal itu, hanya butuh sedikit adaptasi soal hal yang tak ia ingat. Namun, berjalan kesana kemari tak juga ia temui.
39 hari kali itu ia cari sekian itu pula ia pulang dengan muka masam membayangkan omelan perempuan itu. Kemudian ia duduk di depan rumah di atas kursi bambu reyot mirip ranjangnya. Dan debunya hampir-hampir persis dengan ketebalan daun di depannya.
beberapa orang tengah sibuk dengan halaman kotornya, beberapa lagi sedang pulang kerja lewat depannya tanpa menoleh! Yang lain sedang berkumpul bergosip ria seolah tak akan habis pembicaraan.
Sore yang sayup, kendaraan di jalan raya depannya makin ramai. Angin menggerakkan kaos oblong yang hanya satu-satunya ia punyai, kemudian berpindah menggoyangkan daun-daun di halamannya. “Naas betul.” Suara perempuan yang bergosip lirih terdengar diantara bising kendaraan. “ya.. kasian.” Yang lain menimpali.
Bocah itu tak peduli. Ia sudah lelah berjalan dan bau dan lelah dan sangat lelah. Ia putuskan tidur, berjalan menuju ranjang reyot yang sama-sama bau dan busuk mirip dirinya. Dilihatnya perempuan itu murung di kursi ruang tamu, kemudian menangis dan tertawa. Ia sudah terlalu lelah untuk melihatnya terlalu lama.
Matahari telah berpindah dan muncul di ujung timur lagi. Artinya hari baru sudah dimulai. Bocah itu bangun tanpa suara geram perempuan yang tak ia kenali di tempat baru lagi yang sama-sama tak ia kenali.
Hanya telihat gundukkan tanah yang banyak dan beberapa masih baru. “Apta Ali bin Ali Sucipto.” Ucapnya pelan membaca tulisan papan yang menancap di ujung gundukan yang baru. Disebelahnya, “Apti Ali binti Ali Sucipto.” Dan di papan gundukan yang paling panjang ia bacai lirih, “Ali Sucipto bin Jayabaya.”
Angin pagi sayup dan syahdu mengusap halus bunga kamboja yang tumbuh liar di sekitar gundukan-gundukan. Kemudian membelai kepala bocah yang mulai tersentak! Ia teringat mimpi-mimpi tentang kota yang indah dan berkilau. Kemudian ia percaya bahwa itu hanya mimpi.
Gerimis turun perlahan di pagi yang cerah. Ia dihujani ingatan-ingatan! Tentang semua perkataan perempuan itu, ia ingat betul dan sangat mengenal perempuan yang ia anggap asing. Namanya Sofiani. Ia ingat betul saat teteknya ia lumati saat masih kecil. Ia juga ingat nama-nama di papan gundukan depannya. Yang tengah, Apta Ali, “persis nama saat emak memanggilku!!.”
Gerimis yang jarang perlahan berhenti. Membuat tanah disana basah. Beberapa orang datang, membawa cangkul dan semacamnya. Kemudian membuat lubang baru sepanjang gundukan yang paling panjang.
Ia tunggu siapa yang bakal dikubur disana. Bocah itu menari-nari dan bernyanyi-nyanyi bintang kecil mirip yang emaknya nyanyikan untuknya tiap malam. Tarian dan nyanyiannya berhenti, ia tiba-tiba terfikirkan hal yang sama sekali tak mengenakkan. Duduk di nisan batu tetangga kayanya yang mati karena lelah bekerja.
Gerimis benar-benar telah lenyap. Dan tanah di siang ini mulai mongering lagi. Ia mulai liar memikirkan kenyataan yang mengerikan. Gerimis jatuh lagi, kali ini di pipinya, lebih lebat daripada gerimis pagi tadi. Ia mulai menjerit-jerit, seakan terhantam batu yang besar. Dirangkul kakinya dengan kedua tangan. Kemudian ia benamkan kepalanya. Ia lihati tangan dan kakinya mulai memudar dan tangis dan jerinya makin menjadi.
Sepleton barisan manusia datang. Itulah sesuatu yang ia tunggu. Bukan! Sesuatu yang tak ia harapkan. Bocah itu membalikkan tubuhnya membelakangi gerombolan manusia yang memutari lubang galian tadi pagi. Tangis bocah makin berat dan dalam.
“kasian ia menusuk dadanya sendiri.”
“daripada ia gila.” Suara lelaki yang lain.
“sekarang tepat 40 hari matinya Ali dan anak-anaknya.”
Tangis bocah itu makin menyamudera. Di sisa akal sehatnya, ia mengingat-ingat apa yang terjadi di kali. Bersama bapak dan adiknya.[]
Meyakini berasal dari trah dewa. Lahir dari rahim bidadari yang susah payah menyamar sebagai manusia biasa.