Judul buku      : Jur­gen Haber­mas: Sen­ja Kala Modernitas

Penulis : Irfan Afifi

Pener­bit          : IRCiSoD

Kota ter­bit      : Yogyakar­ta, 2019

Tebal buku     : 200 halaman

ISBN               : 978–602-7696–93‑8

Moder­ni­tas itu sesu­atu yang belum sele­sai (unfin­ished), tak kom­plet (incom­plete), dan masih dis­em­pur­nakan lagi terus menerus.” – Irfan Afi­fi, h. 147.

Mod­ern acap kali diang­gap berse­beran­gan den­gan tra­di­sion­al atau kon­ser­vatif. Ked­u­anya seo­lah-olah berten­tan­gan dan tak ada sangkut paut­nya sama sekali. Pada­hal, mod­ern tak akan per­nah sam­pai tan­pa mele­wati tra­di­sion­al, bukan?

Irfan Afi­fi menye­butkan, mod­ern telah tam­pak bersamaan den­gan muncul­nya abad pencer­a­han di Barat. Mod­ern ditandai den­gan men­cu­at­nya berba­gai rev­o­lusi. Ia digadang-gadang seba­gai zaman baru yang hen­dak melahirkan sendiri nor­manya. Mod­ern pun diang­gap tak lagi rindu pada tra­di­sion­al, seper­ti roman­tisme. Ia berhas­rat penuh untuk melam­paui tradisional.

Moder­ni­tas, demikian kata penulis, berpi­jak pada rasio yang diku­man­dan­gkan oleh Descartes pada masa semaraknya fil­safat mod­ern. Kemu­di­an dis­usul den­gan klaim “kesadaran diri” oleh Kant. Hing­ga akhirnya dilan­gitkan oleh Hegel den­gan cit­ra uni­ver­sal­i­tas yang melekat pada modernitas.

Dari situ, moder­ni­tas ter­pec­ah men­ja­di dua kubu, yaitu pes­imisme dan opti­misme. Beber­a­pa tokoh pes­imisme, seper­ti Marx, Weber, Horkheimer dan Adorno, ser­ta Mar­cuse, tak menampik beta­pa menakjubkan­nya moder­ni­tas. Namun, mere­ka juga pes­imis ter­hadap dampak yang membuntutinya.

Marx den­gan liarnya menulis bah­wa moder­ni­tas akan mener­bitkan alien­asi dan penin­dasan pada sesama manu­sia. Pun den­gan Weber yang sem­pat opti­mis pada rasion­al­isme yang dideklarasikan oleh mod­er­nis, namun baginya moder­ni­tas tak ubah­nya seba­gai sangkar besi birokrasi dan admin­is­trasi mod­ern belaka.

Den­gan ini, sebut Horkheimer dan Adorno, moder­ni­tas akan mela­hap habis indi­vidu aki­bat birokrasi yang ter­lam­pau pro­g­e­sif itu. Sehing­ga, tan­pa dis­adari moder­ni­tas telah men­cip­takan patolo­gi-patolo­gi ira­sion­al­isme baru pada masyarakat. Menu­rut Mar­cuse, semua itu tak lep­as dari ide­olo­gi yang berse­mayam dalam diri moder­ni­tas, yaitu ide­olo­gi teknologi.

Kaum pes­imis terse­but juga yakin ter­hadap paradoks yang dis­im­pan oleh mod­er­nis. Klaim uni­ver­sal­isme yang men­ja­di slo­gan moder­ni­tas nyatanya malah men­jel­makan total­i­tarisme. Belum lagi rasion­al­isme yang dibang­ga-bang­gakan mod­er­nis malah mem­p­re­sen­tasikan kekuasaan ekono­mi dan admin­is­trasi birokrasi yang mencekik.

Mere­ka, kaum pes­imis telah mem­predik­si kon­sekuen­si buruk dari moder­ni­tas yang akan mem­bayang-bayan­gi manu­sia dan alam. Sebut saja, eksploitasi alam dan kri­sis ekolo­gi, dehu­man­isasi dan lesap­nya nilai moral dan aga­ma aki­bat stan­darisasi kebe­naran tert­ing­gi, yaitu pos­i­tivisme. Tak ket­ing­galan pula, mate­ri­al­is­me­lah yang nan­ti­nya men­ja­di dasar keny­ataan, bukan lagi iman.

Menu­rut penulis, sikap pes­imis yang digaungkan oleh beber­a­pa tokoh di atas men­da­p­at afir­masi dari kaum yang menye­but diri mere­ka seba­gai sayap kiri dari moder­ni­tas, seper­ti Hei­deg­ger, Lyotard, dan Fou­cault. Saya segan menye­but mere­ka seba­gai post­mod­er­nis, namun gagasan dari mere­ka memang berten­tan­gan den­gan mod­er­nis. Tapi bukan berar­ti mere­ka semua adalah post­mod­er­nis, bukan? Saya pikir mere­ka tak akan suka jika dil­abeli yang demikian.

Singkat­nya, Hei­deg­ger tak sejalan den­gan total­iter yang dicanangkan oleh mod­er­nis. Katanya, manu­sia den­gan rasio atau pun kesadaran­nya yang seo­lah-olah melam­paui sejarah dan mengam­bil sudut pan­dang Tuhan itu, per­lu dihanguskan. Cara yang direkomen­dasikan oleh Hei­deg­ger ialah dekon­truk­si metafisi­ka modern.

Lyotard pun getol dalam meno­lak pemiki­ran mod­er­nis. Baginya, moder­ni­tas ter­lalu monot­on dan men­jenuhkan. Mod­er­nis diang­gap masih ter­je­bak dalam meta­narasi. Mere­ka lupa jika masyarakat itu het­ero­gen dan den­gan ini­lah plu­ral­ism per­lu digaungkan.

Kemu­di­an, Fou­cault den­gan nyaringnya men­gungkap­kan adanya selubung kuasa dalam moder­ni­tas. Akar per­masala­han­nya ialah supe­ri­or­i­tas rasio. Sese­o­rang akan men­da­p­at predikat gila jika tak sesuai den­gan rasion­al­i­tas. Den­gan ini, mere­ka per­lu didisi­plinkan oleh sese­o­rang yang berkuasa, diang­gap lebih “tahu” atau men­em­patkan mere­ka dalam instan­si guna mengem­ba­likan kewarasan. Pada­hal, menu­rut Fou­cault, masyarat memi­li­ki rasio het­ero­gen yang tak bisa seenak jidat dihomogenkan.

Bagi penulis, ujaran di atas telah mene­gaskan bah­wa moder­ni­tas telah men­e­mui ajal­nya. Kini wak­tun­ya kita men­gu­cap­kan sela­mat ting­gal pada moder­ni­tas. Seper­ti judul yang telah diusung penulis dalam bukun­ya, Sen­ja Kala Modernitas.

Tapi, keli­hatan­nya Haber­mas tak ter­i­ma den­gan dalil kema­t­ian yang dis­e­matkan pada moder­ni­tas. Ia cukup opti­mis den­gan menye­but bah­wa moder­ni­tas belum sele­sai dan masih dis­em­pur­nakan. Bahkan, sosok Neo­marx­is ini menan­daskan bah­wa kaum pes­imis dan sayap kiri moder­ni­tas itu ter­lalu ser­am­pan­gan dalam meni­lai modernitas.

Mere­ka, kaum pes­imis dan sayap kiri moder­ni­tas, masih ter­je­bak dalam kuban­gan kri­tik ter­jadap sub­jek­tiv­i­tas dan rasio, tutur Haber­mas. Baginya, mere­ka ter­lalu sinis ter­hadap rasio yang ber­pusat pada sub­jek, namun tak pun­ya solusi ter­hadap­nya. Kini, Haber­mas men­ge­nalkan rasio inter­sub­jek­tif atau rasio kumu­nikatif (pema­haman tim­bal balik) seba­gai solusi atas kere­sa­han kaum pes­imis maupun sayap kiri modernitas.

Rasio inter­sub­jek­tif dini­lai memi­li­ki penawaran yang mujarab atas perkara mere­ka. Di sini, Haber­mas men­ga­jak par­tisi­pan untuk berpar­tisi­pasi dalam inter­ak­si. Tetap den­gan khas dari moder­ni­tas, rasio tetap dili­batkan dalam pros­esinya guna men­jadikan sab­jek yang sadar dalam bertin­dak dan bertu­tur. Dus, ter­wu­jud­lah cita-cita Haber­mas pada moder­ni­tas, yaitu eman­si­pa­toris yang dulun­ya diimpikan Marx. Tulisan Irfan Afi­fi ini bisa mem­bu­at pem­ba­ca jatuh cin­ta dan patah hati sekali­gus den­gan moder­ni­tas. Pasal­nya, ia menyuguhkan san­jun­gan sekali­gus kri­tik ter­hadap moder­ni­tas di dalam­nya. Namun, saya rasa judul buku ini cukup menge­coh pem­ba­ca kare­na sen­ja kala moder­ni­tas malah terke­san seba­gai fajar moder­ni­tas. Penulis, saya kira, malah mem­berikan atensinya pada sesu­atu yang ditawarkan oleh moder­ni­tas ala Haber­mas dari pada fokus pada sen­ja kala moder­ni­tas sendiri.

Penulis: Ulum
Edi­tor: Nurul