Si Tokek telah berka­ta kepadanya, semakin banyak yang kau ketahui, semakin banyak masalah yang kau per­oleh.”
-Eka Kur­ni­awan (dalam Nov­el Seper­ti Den­dam, Rindu Harus Diba­yar Tuntas)- 

Judul buku      : Seper­ti Den­dam, Rindu Harus Diba­yar Tuntas

Penulis             : Eka Kurniawan

Tahun ter­bit     : 2014

Pener­bit           : PT Gra­me­dia Pus­ta­ka Utama

Kota ter­bit       : Jakarta

Hala­man          : 242 halaman

ISBN               : 978–602-03–2470‑8

Buku “Seper­ti Den­dam, Rindu Harus Diba­yar Tun­tas” ini meru­pakan nov­el per­ta­ma Eka yang saya baca, pada­hal masih ada dua nov­el sebelum­nya, yaitu “Lela­ki Hari­mau dan “Can­tik Itu Luka”. Dalam nov­el ini Eka mencer­i­takan terkait kehidu­pan sosial den­gan metafo­ra burung Ajo Kawir yang tidak bisa bangun.

Awal mula kon­flik ter­ja­di, yaitu keti­ka suatu malam Si Tokek teman Ajo Kawir men­ga­jaknya untuk meng­in­tip rumah seo­rang jan­da gila berna­ma Rona Mer­ah yang suaminya telah mening­gal berna­ma Agus Klobot. Malam itu, Ajo Kawir ingin segera per­gi kare­na tidak ada yang menarik menu­rut­nya, tetapi Si Tokek mence­gah­nya. Sam­pai datang dua orang polisi yang men­gen­darai motor ke rumah itu. 

Dua orang polisi itu masuk rumah, salah seo­rang dari mere­ka mem­bereskan barang-barang yang berser­akan, sedan­gkan sat­un­ya Si Luka memak­sa Rona Mer­ah untuk man­di. Sete­lah sele­sai memandikan Si Rona Mer­ah, Si Luka memerkosa Rona Mer­ah, sedan­gkan polisi sat­un­ya ber­ja­ga-jaga duduk di kur­si sam­bil merokok kretek. 

Si Tokek dan Ajo Kawir masih meng­in­tip semua ade­gan hing­ga Ajo Kawir meng­gig­il sam­pai pegan­gan kusen yang tak kuasa mena­han tubuh­nya hing­ga jatuh. Si per­okok kretek lang­sung men­cari suara itu, Si Tokek berhasil bersem­bun­yi di balik hujan, sedan­gkan Ajo Kawir ketahuan dan dibawa ke dalam rumah. Ajo kawir dite­lan­jan­gi dan dis­u­ruh memerkosa Rona Mer­ah, namun anehnya burungnya tidak mau ban­gun. Sete­lah keja­di­an itu, burung Ajo Kawir tidak bisa bangun.

Semua usa­ha telah dilakukan Ajo Kawir untuk mengem­ba­likan burungnya agar bisa berdiri lagi. Mulai men­goleskan lom­bok pada burungnya hing­ga burungnya kepanasan, dis­en­gatkan tawon hing­ga memar, sam­pai per­gi ke orang pin­tar. Namun semua usa­hanya nihil. Burung Ajo Kawir tetap ten­ang, damai, sun­yi, kela­paran, dan masih diam tak mau bangun.

Burung Ajo Kawir san­gat berbe­da den­gan kelakuan­nya yang tidak bisa diam. Ajo Kawir dan Si Tokek adalah anak yang suka berke­lahi dan tidak men­ge­nal takut hing­ga berpin­dah-pin­dah seko­lah sudah hal yang biasa. Suatu hari Ajo Kawir ingin mem­beri pela­jaran kepa­da orang yang mem­pun­yai tam­bak besar berna­ma Pak Lebe, kare­na Pak Lebe ser­ing men­ga­ni­aya seo­rang jan­da yang hutang kepadanya, dan saat itu­lah dia diperte­mukan den­gan Iteung. 

Ite­ung adalah seo­rang perem­puan yang bisa bertarung, dia mengiku­ti sebuah per­gu­ru­an den­gan alasan gurun­ya dahu­lu ser­ing mem­perkosanya wak­tu seko­lah dan dia tidak bisa melawan. Akhirnya suatu saat dia meng­ha­jar gurun­ya dan mem­permalukan­nya di depan murid-murid­nya tan­pa sehe­lai kain.

Ajo Kawir dihadang oleh Itueng sebelum meng­ha­jar Pak Lebe, akhirnya ter­ja­di per­tarun­gan sen­git antara Ajo Kawir den­gan Ite­ung, sam­pai sal­ing men­ge­nal dan bahkan sal­ing menc­in­tai. Percin­taan mere­ka sam­pai jen­jang pernika­han, tetapi kisah mere­ka tidak semu­lus itu, kare­na Ajo Kawir merasa tidak bisa memuaskan Ite­ung kare­na burungnya belum juga bisa ban­gun dan berdiri tegak. Sam­pai suatu saat Ajo Kawir dap­at tan­ta­n­gan untuk mem­bunuh Si Macan den­gan imbal­an uang yang banyak.

Singkat ceri­ta Ajo Kawir per­gi dan berhasil mem­bunuh Si Macan, pada akhirnya pun dia ditangkap polisi lalu dima­sukan pen­jara. Sete­lah kelu­ar dari pen­jara, Ajo Kawir mem­pun­yai prib­a­di yang berbe­da, dia selalu men­ga­ca dan bertanya pada burungnya yang ten­ang, damai, dan tetap saja tak mau ban­gun saat mau melakukan suatu tin­dakan, hing­ga ia bek­er­ja men­ja­di sopir truk.

Men­ja­di sopir sebuah truk antar kota, Ajo Kawir dite­mani seo­rang ker­net yang kadang meng­gan­tikan­nya, ia berna­ma Mono Ompong. Suatu saat Mono Ompong sak­it kare­na sete­lah bertarung den­gan Si Kum­bang, hing­ga Ajo Kawir hanya dite­mani seo­rang wani­ta berna­ma Jeli­ta. San­gat berband­ing ter­ba­lik den­gan namanya,  Jeli­ta adalah seo­rang wani­ta yang hitam, jelek, dan san­gat tidak menggairahkan.

Suatu saat keti­ka tidur di dalam truk Ajo Kawir bermimpi berhubun­gan badan den­gan Jeli­ta, anehnya burungnya bisa ban­gun, sete­lah ban­gun Ajo Kawir meli­hat celananya basah. Sam­pai suatu saat Ajo Kawir benar-benar berhubun­gan badan den­gan Jeli­ta, sete­lah keja­di­an itu burung Ajo Kawir kem­bali nor­mal, akhirnya ia kem­bali pulang pada kelu­ar­ganya di kampung.

Bahasa yang digu­nakan dalam nov­el ini san­gat men­galir dan mudah dipa­ha­mi. Dalam nov­el ini ada muatan kome­di, kon­flik, dan percin­taan, semua meny­atu. Bahasa yang digu­nakan Eka juga san­gat terang-teran­gan, bahasa yang biasanya diang­gap orang tabu saat dibicarakan bahkan semua dit­ulis Eka.

Plot dalam nov­el ini bisa men­ja­di sebuah kelebi­han atau bahkan kelema­han. Plot yang ada dalam nov­el ini men­jadikan dua peri­s­ti­wa sal­ing bergant­ian dan jika pem­ba­ca tidak jeli pem­ba­ca akan men­gala­mi kebin­gun­gan dalam mem­ba­ca nov­el ini. Plot yang seper­ti itu mungkin bisa men­ja­di ciri khas Eka dalam nov­el ini.

Dalam nov­el ini Eka sebe­narnya ingin menggam­barkan bagaimana keras­nya kehidu­pan dalam masyarakat. Semua sal­ing bertarung satu sama lain, sal­ing men­jatuhkan, tan­pa ada kom­pro­mi di dalam­nya ser­ta tidak ada kepuasan dalam diri manu­sia. Penggam­baran burung Ajo Kawir ini, seakan menggam­barkan kehidu­pan yang begi­tu damai, ten­ang, dan tia­da masalah, 

pada­hal berba­gai masalah melan­da. Di sisi lain Eka juga menam­bahkan “Hanya orang yang nggak bisa nga­ceng, bisa berke­lahi tan­pa takut mati.”

Mungkin kata yang tepat teru­cap­kan adalah bela­jar dari suatu yang kecil. Seke­cil apapun pen­gala­man yang kita lalui pasti ada sesu­atu yang kita ambil. Seper­ti kata Imanuel Kant “Bertin­dak­lah sedemikian rupa sehing­ga anda selalu mem­per­lakukan umat manu­sia entah di dalam prib­a­di anda maupun di dalam prib­a­di seti­ap orang lain sekali­gus seba­gai tujuan, bukan seba­gai sarana belaka.”

Penulis: Hen­drick Nur Cho­lis
Redak­tur: Rifqi Ihza F. 

Men­cip­takan ketidakmungkinan