Deru kencang kicau burung gereja membangunkan tidur seorang gadis. Matanya mulai terbuka dan duduk sejenak sebelum bangun sembari menengok jam dinding. Ia berjalan menuju rak buku di depan pintu, mengambil salah satu buku lalu membacanya. Getar gawai mengalihkan perhatiannya. Matanya terbelalak setelah mengamati pesan-pesan di media sosial.
Segera ia keluar rumah menemui temannya, Kendis. Seorang lelaki kumisan duduk di ruang tamu, spontan memanggil, “Tir, mau ke mana?”
“Kendis,” sahut Natirah, nama si gadis.
Kendis menoleh, memoncongkan bibirnya, “Lama kali kau Tir?”
“Iya mBak Yu, maap,” Natirah meringis.
“Acak-acakan, baru bangun?”
Natirah mengangguk dan berseringai.
“Kau mandi dulu lah, masa kaya gini mau berangkat!”
Beberapa menit kemudian, Natirah keluar dengan wajah segar.
“Dah makan?”
Kembali meringis.
“Kau makan dulu…! Isshh”
Bermenit-menit kemudian.
“La..ma.. kali kau? Dah kenyang?”
Natirah hanya mengangguk.
Aisshh, si Natirah nii! Untung kau masih bujang, nanti habis ni..kah…,” Kendis berhenti mengoceh, berfikir sejenak. “Udah lah, jangan kau risaukan keceriwisanku tadi, tumben, kau pakai jilbab?”
“Emang kenapa mBak?” jawab Natirah heran, “Biasanya gini kan?”
Dengan judes si Kendis memekik, “Biar apa kau berjibab? Fashion kah? Implikasinya bakal buruk jika otakmu berpikir serupa.”
“Kurasa iya, pernah tersua mbak,” penuh keakuan jawab Natirah.
Kendis membuang muka dan berkata, “Nahas, atribut yang awalnya sakral, menjadi atribut yang bersifat profan.”
Pandangan Natirah tertunduk, terantuk batu. Tak menimpali.
“Tak apa Tir, kau tau? Beruntung kau bisa berjilbab hari ini. Sekitar 50 tahun lalu, pemakaian jilbab dianggap sebagai wujud sikap oposan terhadap pemerintah orde baru.”
“Maksudmu?”
“Sekadar memakai jilbab pun adalah sesuatu yang terlarang bagi para siswi dan sebagian mahasiswi.”
Natirah memandangi dan memperhatikan mulut Kendis.
“Kala itu, reideologisasi Islam usai kekuasaan presiden Soekarno tumbang (1967), mengalami tantangan dari pemerintah Orba. Sedapat mungkin, pemerintah Orba memberangus simbol-simbol ideologis yang terkait dengan Islam. Salah satunya dengan membonsai peran partai-partai politik Islam sehingga terkontrol secara efektif.”
“Terus?” Natirah bertanya-tanya.
“Terjegal di panggung politik formal, geliat reideologisasi Islam justru semakin marak di kampus-kampus, terutama di perguruan-perguruan tinggi negeri terkemuka seperti ITB dan UI. Atas prakarsa Imaduddin Abdurrachim, pada 1974 diselenggarakan kegiatan Latihan Mujahid Dakwah,” terang Kendis tanpa menoleh.
“Latihan? Latihan gimana?”
“Pada angkatan pertama, sekitar 50 orang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi digembleng di ruang serba guna ITB. Setelah melalui test IQ dan wawancara ketat, para mahasiswa yang lolos seleksi dimasukkan ke base camp di masjid Salman. Selama tujuh hari tujuh malam peserta dilarang berinteraksi dengan dunia luar. Selanjutnya mereka diajak untuk menghapal sekaligus mengkaji Al-Qur’an dan Hadits, termasuk soal kewajiban muslimah untuk mengenakan jilbab.”
Sepintas, mereka diam. Berjalan lamban di tepi sungai. Natirah bernyanyi, “Harum semerbak menambah sari, tanah air jaya sakti.” Sembari menunggu si Kendis mengingat kembali narasinya.
“Di Jakarta , para mahasiswa UI memilih masjid Arief Rahman Hakim sebagai basis pengajian. Begitu pula di UGM muncul jamaah Shalahuddin. Semangat Islam ideologis juga melebar ke berbagai kampus di Surabaya dan Semarang. Seiring menyebarnya alumni-alumni LMD ke kampus- kampus perguruan tinggi negeri, demam jilbab pun mulai melanda para mahasiswi Islam. Bahkan bukan hanya di tingkat perguruan tinggi, di sekoah-sekolah menegah atas negeri, pemakaian jilbab pun mulai marak sebagai transformasi sikap keagamaan para senior kepada para juniornya lewat kegiatan osis organisasi siswa intra sekolah dan ekstrakulikuler remaja masjid sekolah,” lanjut Kendis kesukaran.
“Gempita revolusi islam di Iran pada 1979 yang mendunia menambah gairah berIslam kalangan anak-anak muda kampus,” Kendis mengangkat tangan dan menggerakannya ke arah berlawanan. “Gambar-gambar para demonstran perempuan Iran yang berjilbab hitam banyak dipajang di pintu-pintu indekos mahasiswa.”
Ia mendongakkan kepalanya dan memekik, “Bahkan bukan hanya sekadar memajang foto, banyak rekan-rekan mahasiswi memutuskan untuk berjilbab karena terkesan dengan gambaran militansi para muslimah Iran tersebut.”
Kendis mulai hanyut dalam cerita dan mulai ekspresif.
“Tahun 1980, gelombang pertama mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah, sebagian besar di Mesir, mulai berdatangan di tanah air. Sebagian alumni timur tengah itu membaawa ‘oleh-oleh’ pemikiran Ihwanul Muslimun, sebuah kelompok puritan Islam yang didirikan oleh Hasan al Banna di Mesir pada april 1928.”
“Mbak, gayamu ndak cocok, biasa wae,” Natirah menegur, memberengut.
Seraya mengikat rambutnya, Kendis meneruskan, “Di Indonesia ide-ide Ihwanul Muslimun lantas mendapat tempat pada masjid-masjid kampus. Mereka bergerak lewat berbagai kelompok studi Islam dari kampus-kampus terkemuka seperti UI, ITB, dan UGM. Salah satu ciri dari kelompok Ihwanul Islam adalah mewajibkan pemakaian jilbab bagi para anggota perempuan.
“Tahun 1981. Seiring upaya pembonsaian terhadap peran Islam politik, pemerintah Orba menjalankan aksi penumpasan besar-besaran terhadap kekuatan Islam radikal seperti komando jihad pimpinan Warman dan jamaah Iran. Sel-sel kelompok tersebut dibongkar dan para anggotanya ditangkapi.
“Para pemakai jilbab tidak lepas dari kecurigaan bagian dari kelompok. Pada awal 1982, seorang siswi SMAN 1 Jember bernama Triwulandari dikeluarkan dari sekolah. Alasannya: Tri melanggar ketentuan aturan pemakaian seragam sekolah dan dicurigai sebagai salah seorang anggota jamaah Iran. Ia bahkan sempat dipanggil ke markas Kodim 0824 Jember untuk diinterogasi mengenai jamaah Iran. Pada waktu yang sama, kecurigaan terhadap siswi pemakai jilbab juga terjadi di SMAN 68 Jakarta. Salah seorang siswi berjilbab dipanggil oleh guru mata pelajaran agama Islam. Secara tersirat, sang guru menyatakan kepada muridnya itu bahwa ia mengkhawatirkan keputusan untuk berjilbab disebabkan motivasi politik.”
“Mbak, apa pemerintah ndak punya inisiatif lain gitu?”
“Ada, tapi ya gitu, pemerintah sempat menerbitkan sebuah aturan baru yakni SK 052/C/Kep/D.82. itu adalah surat keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal pendidikan dasar dan menengah Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. pada 17 maret 1982, kebijakan baru pemerintah terkait standardisasi penggunaan seragam sekolah secara nasional.”
Seorang laki-laki berdiri di seberang jalan menyapa, melambaikan tangannya. Ia hanya tersenyum. Natirah dan Kendis menanggapinya dengan senyum yang sama.
“Eh, siapa?” bisik Kendis penasaran.
“Ndak tau, belum kenal mbak,” Natirah menimpali dengan senyum kebingungan.
Wajah serius Kendis melanjutkan perbincangan, “Alih-alih membuat tertib, surat keputusan itu seolah menjadi alat pihak sekolah untuk merepresi para siswi berjilbab. Korban pun berjatuhan. Bahkan lebih massif, seperti terjadi di SMAN 3 Bandung pada pertengahan 1982: delapan siswi diancam untuk mengeluarkan diri dari sekolah karena menolak membuka jilbab. Begitu juga di SMAN 68 Jakarta. Seorang siswi bernama Siti Ratu Nasiratun Nisa dikeluarkan karena berjilbab. Kejadian serupa terjadi pula di Tangerang, Bekasi, Semarang, Surabaya, Kendari, dan kota-kota lainnya di Indonesia.”
Nafas panjang coba dihirup si Kendis. Kemudian, ia meneruskan, “Hampir satu dasawarsa, pemerintah Orba tak memberikan kompromi terhadap keberadaan para siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Bagi para jilbaber, pilihannya hanya dua: terus bersekolah namun membuka jilbabnya atau terus berjilbab namun harus pindah ke sekolah swasta.”
“Mereka seolah menjadi duri dalam daging bagi pihak sekolah,” tatapan Kendis merasuki mata Natirah. “Kau beruntung, sekarang.” []