Judul : Jilbab & Aurat
Penerbit : Fahmina Institute
Penulis : Dr. (HC) K.H. Husein Muhammad
Kota Terbit : Cirebon, 2021
Jumlah Halaman : xiv + 146 hlm
Dimensi :12 x 19 cm
ISBN : 978–623-92405–3‑0
Jilbab dipahami sebagai kain yang digunakan untuk menutupi kepala perempuan, sedangkan hijab bermakna sekat atau pemisah diantara dua ruang. Namun sepanjang perjalanan sejarah, terminologi ini mengalami pergesaran makna dan persepsi.
Saat ini jilbab dimaknai oleh umat muslim sebagai atribut keagamaan yang wajib dikenakan muslimat. Lebih dari itu, modern ini terdapat persepsi jilbab sebagai tanda/ciri dari kesalehan dan ketaqwaan seorang perempuan muslim.
Anggapan ini kerap berimplikasi terbalik, bahwa perempuan islam yang tidak memakai jilbab merupakan perempuan tidak salihah dan tidak taat dalam beragama. Pemaknaan yang sangat sempit dalam memahami jilbab, telah banyak menimbulkan gejolak sosial dan budaya yang dapat merusak kerukunan umat islam Indonesia, bahkan dunia.
Disinilah buku kecil Jilbab & Aurat karya K.H Husein Muhammad menjadi penting. Buya Husein, sapaan akrabnya, mencoba menjelaskan makna aurat dan fenomena jilbab dari sudut budaya dan pandangan agama.
Buku ini mulanya merupakan tulisan bersambung Buya Husein yang dimuat dalam Facebook dan Instagram. Selain itu, tulisan ini sudah lama ditulisnya dalam buku Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender yang terbit pertama kali tahun 2001.
Buku ini diawali oleh penelusuran Buya Husein mengenai makna jilbab dan hijab. Jilbab yang berasal dari kata kerja jalaba memiliki makna menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Sedangkan hijab merupakan pemisah atau sekat antara dua ruang. Para ahli tafsir dari berbagai generasi menggambarkan jilbab dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman masing-masing di tempatnya.
Anjuran bagi perempuan untuk mengenakan jilbab kiranya bukan tanpa suatu alasan. Tertuang dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 59, Yakni“… Agar hal itu lebih mudah untuk dikenali”, dan dengan demikian maka “mereka tidak akan dilecehkan atau disakiti”. Mudah dikenali yang dimaksudkan ialah menjadi pembeda antara perempuan merdeka dengan perempuan budak, bukan dikenali antara perempuan islam dengan non-islam.
Buya Husein menuliskan bahwa secara antropologis dan geografis perempuan di Wilayah Timur Tengah, muslim ataupun non muslim sebelum islam datang sudah mengenakan penutup kepala, bahkansampai hari ini. Laki-laki juga memakai kaffiyeh atau gutrah.
Pemakaian kerudung bagi perempuan dan laki-laki arab ialah suatu kewajaran dan sesuai dengan kondisi geografis mereka yang umumnya panas dan berdebu. Bahkan tidak hanya perempuan dan laki-laki muslim saja yang mengenakan jilbab, melainkan masyarakat Yunani Kuno, hingga umat Kristen dan Yahudi pun juga mengenakan kerudung.
Rasanya kurang afdal bila membicarakan jilbab tanpa membahas aurat dan batasan-batasannya. Dengan kesabaran yang turah-turah, Buya Husein menjelaskan bahwasannya perempuan dalam fikih aurat terbagi dalam dua kelompok, yakni perempuan merdeka dan perempuan hamba sahaya/budak.
Batas aurat keduanya lantas dibedakan. Mengenai aurat perempuan merdeka batasannya tidaklah tunggal sebagaimana yang kita mengerti saat ini. Melainkan plural, beragam.
Salah satu hal paling menyenangkan adalah ketika Buya Husein selalu menghadirkan tafsir-tafsir dari ulama klasik dan temporer yang beragam dengan telaten dan teliti, tentunya disertai bekal ilmu tafsir Buya yang mumpuni.
Buya menyadarkan satu hal yang luput dari kesadaran kita, bahwa terdapat keberagaman interpretasi dari ulama tafsir klasik maupun kontemporer yang muncul hingga detik ini. Tentunya interpretasi tidak lepas oleh realitas sosial yang terjadi dan berkembang di sekitar mereka ketika masanya masing-masing, khususnya terhadap topik jilbab dan aurat.
Misalnya mengenai tafsir penggalan ayat “Ma zhahara minha” (QS. An-Nur, 24:31) mengenai kebolehan tidak menutup bagian tubuh yang sudah terbiasa terbuka. Buya dengan gamblang menyertakan beragam tafsir ulama klasik dan kontemporer mengenai ayat di atas,Tentunya dengan menggunakan dasar hukum yang berasal dari teks-teks agama otoritatif; Al-Qur’an dan hadits, serta logika (‘illat) hukum.
Menariknya ialah keberagaman interpretasi ulama tafsir dalam pembedaan batas aurat antara perempuan merdeka dan perempuan budak. Boleh jadi ini merujuk kepada status sosial dan fungsi sosial perempuan saat itu. Dalam konstruksi masyarakat islam saat itu perempuan merdeka cukup berdiam diri di dalam rumah dan dilarang beraktivitas di ruang publik.
Hal ini berbanding terbalik dengan perempuan budak yang statusnya untuk melayani, bekerja dalam ruang publik maupun domestik, dan berbuat apa saja untuk majikannya. Realitas itulah yang kiranya melatarbelakangi keberagaman ulama tafsir dalam mempertimbangkan interpretasinya dalam menentukan batasan-batasan aurat perempuan.
Melalui karya kecil dan penting ini, Buya Husein hendak mengingatkan kita sejauh mana batasan-batasan aurat sesungguhnya sangat ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan. Norma sosial (masyarakat) dan kemanusiaan sebenarnya tidak tunggal dan sangat kompleks dalam menentukan batas aurat, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Diperlukan suatu kondisi sosial dan mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai dan tradisi yang berkembang di dalam masyarakat. Selain itu juga dibarengi oleh pemahaman mengenai bagaimana kita dapat menciptakan ruang-ruang sosial dan mekanisme aturan tertentu.
Agar tubuh perempuan tidak dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan dan hasrat biologis yang rendah dan murahan. Meminjam pernyataan yang disampaikan Faqihuddin Abdul Kodir dalam prolog buku Jilbab & Aurat, jika mau belajar hormat dan apresiatif terhadap tradisi klasik, sebagaimana diajarkan oleh Buya Husein dalam buku ini, kita tidak bisa bersikap saklek, hanya mengadopsi satu pandangan saja, lantas membelanya secara membabi buta.
Lalu memberlakukannya kepada semua perempuan, pada semua kondisi, waktu, suasana, dan tempat. Bila Anda ingin beragama yang moderat, santun, tenang, dan bersifat apresiatif terhadap tradisi sekaligus mendalami seluruh ayat dan hadis tanpa tercerabut dari kondisi budaya masing-masing, maka buku Buya Husein ini adalah pemandunya.
Penulis: Laila
Redaktur: Bayu