Perem­puan renta yang duduk di depan pin­tu sebuah min­i­mar­ket di Jalan Kam­bo­ja kini berusa­ha mening­galan tem­pat­nya. Langkah kakinya yang gemetar dipak­sanya berdiri. Ia seper­ti sebatang ran­du lapuk yang memak­sa dirinya tetap tegak sekalipun penebang kayu berusa­ha menebas­nya, digu­nakan seba­gai kayu bakar tidak murup dib­iarkan tetap hidup pun mengganggu.

Orang-orang yang lalu lalang di depan per­tokoan sama sekali tak memer­hatikan polah perem­puan tua itu. Bagi mere­ka, tak ada hubun­gan­nya kepentin­gan orang lain di atas kepentin­gan mere­ka. Di tem­pat seper­ti pasar ini, mere­ka hanya per­lu den­gan dirinya sendiri, tidak ada tem­pat selain kepentin­gan di kepalanya. Mere­ka sibuk den­gan belan­jaan mas­ing-mas­ing, juga anak-anak mere­ka yang tak hen­ti rew­al mem­inta ini-itu.

Tidak ada per­tanyaan bagaimana perem­puan tua ini men­cari makan? Di mana mere­ka akan tidur? Di mana kelu­ar­ga mere­ka? Atau apalah, yang ada hanya soal bagaimana uang akan cukup dibelan­jakan? Kemu­di­an masak apa pagi ini? Atau bagaimana menyumpal mulut anak-anak supaya diam dan menu­rut? Atau apalah. Aku adalah aku, dan hanya ada aku sete­lah aku.

Perem­puan tua itu berdiri —sedik­it mem­bungkuk lebih ren­dah dari orang-orang biasanya— semen­tara tiga anak muda yang antre di depan pin­tu kasir min­i­mar­ket berbicara satu sama lain den­gan menut­up hidung mere­ka. Gadis-gadis itu berhen­ti bicara, mere­ka maman­dan­gi perem­puan tua itu den­gan pan­dan­gan seper­ti hal­nya ia meli­hat suatu yang tidak nyaman.

“Jika aku sudah tua nan­ti­nya, anak-anakku yang akan mer­awatku. Memi­jat kakiku yang pegal dan mem­o­leskan balm di sen­di-sendiku yang kram. Mere­ka akan men­gun­jungiku seti­ap hari ming­gu beser­ta anak-anak mere­ka, mem­bawakanku roti Jakar­ta dan mem­bu­atkan teh hangat untukku. Kemu­di­an den­gan ramah, cucu-cucuku itu akan bert­e­ri­ak memang­gilku dari ger­bang depan ‘Neneek, aku sayang nenek,’ Ah sung­guh men­ja­di masa tua yang mem­ba­ha­giakan,” kata seo­rang gadis muda berba­ju mer­ah jambu.

Gadis-gadis muda di samp­ingnya ter­tarik, mere­ka banyak berbicara dan tertawa seu­sainya. Usia mere­ka barangkali seu­sia putri bung­suku, empat belas tahun. Masa keter­tarikan mere­ka den­gan hal-hal yang baru. Ten­tun­ya masa yang tak sama den­gan masaku yang hanya berpikir bagaimana memisahkan getah karet yang baik, memil­ih bib­it karet yang baik atau menga­mati pohon karet yang kurang pro­duk­tif. Aih.
***

Aku menge­jar keberangkatan kere­ta pukul sepu­luh lebih lima, menu­ju tanah kelahi­ranku. Lin­dung di bawah atap rumah dan bercengk­era­ma hangat bersama istri dan anakku. Sebe­narnya keberangkatan sudah kusi­ap­kan sejak semalam. Tiket, dom­pet, dan tas cukup besar berisikan paka­ian, sebelum kuin­gat Armi­an, putra sulungku, mem­inta untuk dibelikan kaos. Sebuh kebodohan yang kemu­di­an hing­gap di batok kepalaku, kupikir akan kute­mukan rak yang berisi kaos terny­a­ta tidak sama sekali kutemukan.

Set­ua ini, aku mem­bayangkan pada sebuah pagi, aku dap­at menghirup udara segar dari sebuah perkam­pun­gan di Geor­gia. Manyak­sikan riuh peda­gang men­ge­nakan jubah tebal pan­jang den­gan kere­ta dagang dari berba­gai pen­ju­ru negeri dan beber­a­pa anak muda pen­gan­gu­ran yang bercengk­era­ma menikmati roti ker­ing di kedai pingg­gi­ran jalan, kemu­di­an sesekali men­ertawakan mere­ka yang ker­ap­kali diusir kare­na tidak mem­ba­yar makanan­nya atau segerom­bolan anak-anak yang ter­bir­it-bir­it lari sete­lah melem­pari kuda-kuda kere­ta dagang den­gan batu dan sep­a­tu sol hitam mereka.

Siang berlalu, dan sore yang sedik­it basah men­gun­dang lela­ki-lela­ki muda memetik gitar di kedai ujung jalan, menyanyikan lagu-lagu cin­ta den­gan suara lem­but khas orang-orang Geor­gia, sekalipun di antara mere­ka ter­da­p­at beber­a­pa orang dari Arme­nia dan pen­datang dari wilayah di sek­i­tarnya. Kunikmati hari den­gan duduk di bangku, kemu­di­an berdiri lan­tas men­don­gakkan kepala meng­hadap lan­git, ser­aya memu­jinya den­gan pujian-pujian yang manis.
“O, Tuhan, ini kota yang man­is, jadi pen­gang­gu­ran atau pem­berontak pun aku mene­r­i­manya jika kau lahirkan aku kem­bali dari rahim seo­rang perem­puan Geor­gia. Men­ua dan mati di tanah ini!”

Alarm kedatan­gan kere­ta di sta­si­un menyadark­an lamu­nanku, Geor­gia hanya semacam de javu. Ini keny­ataan, harus­nya seo­rang tua ini berpikir apa-apa yang akan dibicarakan­nya den­gan putra-putrinya, menyi­ap­kan senyum yang man­is untuk istrinya dan mem­bu­at sederet alasan untuk men­jawab per­tanyaan-per­tanyaan mer­tu­anya yang tiap tahun menanyakan kapan kepu­lan­gan­nya ke kam­pung. Obsesi yang keterlaluan.

Soso, kuseko­lakan anak-anakku di sebuah seko­lah menen­gah atas yang diban­gun seat­ap den­gan seko­lah dasar di desa sebe­lah. Tidak ada seko­lah lain kecuali ini dan sebuah seko­lah negeri yang ada di kota. Dari surat yang dikir­im istriku, mere­ka cukup pandai, si sulung men­da­p­atkan per­ingkat per­ta­ma saat kenaikan kelas tiga. Dan yang per­lu kau­tahu, aku takkan men­ja­di seper­ti ayah­mu ‘Baso’ si tukang sep­a­tu yang ker­ap mem­inta uang den­gan men­gan­cam­mu mem­bawanya ke pabrik sep­a­tu. Anak-anakku akan tum­buh dewasa, dan aku ingin mema­sukkkan si sulung seko­lah di Ban­dung. Jika ia men­ja­di tokoh, ia akan mem­bawaku ke negerimu. Menyusuri jalanan kota dan mem­be­li roti ker­ing untuk dibawa pulang ke kam­pungku dan mem­ba­gi-bagikan­nya ke tetangga.’

Kuusap jen­dela kere­ta yang berem­bun kare­na uap dan suhu tubuhku yang mem­anas. Kesadaranku kem­bali. Ini kotaku, mele­wati tiga sta­si­un lagi, aku akan turun di sta­si­un yang hanya ber­jarak tiga puluh lima kilo­me­ter dari rumah. Kuangkat kepalaku kemu­di­an menoleh ke orang-orang yang duduk berse­be­la­han den­ganku dan dua orang lela­ki dan seo­rang boc­ah yang duduk di bangku meng­hadap­ku. Mere­ka meny­im­pulkan senyum ramah, kecuali boc­ah lela­ki itu.
“Sia­pa nama­mu anak kecil?” tanyaku.

Boc­ah lela­ki beru­sia dela­pan tahu­nan den­gan ram­but ker­it­ing yang dib­iarkan meman­jang hing­ga bahun­ya itu tidak men­jawab, ia hanya menoleh seben­tar, kemu­di­an berpal­ing lagi. Kuam­bil sebungkus roti iris dan mem­berinya sep­a­ruh bagian, seba­gian­nya lagi kusim­pan untuk meng­gan­jal perutku nan­ti sore. Boc­ah lala­ki itu diam, tidak mengam­bil roti yang kuu­lurkan padanya. Aku menariknya kem­bali, barangkali ia tidak lapar, atau memang ter­lalu angkuh untuk usia seo­rang bocah.
“Namaku Soso paman,” jawab­nya sam­bil menyer­o­bot roti yang tadi kutawarkan. Aku tersenyum.
“Soso?”
“Paman tidak menden­garku? Namaku Soso.”
“Benar nama­mu ‘Soso’?” tanyaku lagi.

Boc­ah lela­ki itu berhen­ti men­gun­yah roti iris, ia meli­hatku den­gan tat­a­pan her­an, matanya yang besar menat­ap­ku den­gan tat­a­pan yang asing, seper­ti kepolosan anak kecil pada umum­nya, “Ada yang aneh, Paman? Kata ibuku aku nakal, ter­lalu banyak bicara dan ter­lalu man­ja, kare­na itu ia memang­gilku Soso.”
“Oalah,” aku tersenyum seben­tar, “lan­jutkan makanmu.”

Aku tertawa kecil saat meman­dan­gi sep­a­ruh yang lain dari roti iris yang dimakan si boc­ah itu. Tidak semua boc­ah nakal adalah Soso dan tidak semua Soso adalah Sose­lo. Lelu­con keny­ataan yang man­is, pikirku, hibu­ran yang sedik­it kubu­tuhkan untuk suasana per­jalanan yang terasa membosankan.

Kere­taku berhen­ti. Aku turun. Kuli­hat ben­da beruku­ran sebe­sar nam­pan —yang biasa digu­nakan istriku memisahkan padi berisi dan padi yang kopong— men­em­pel di dind­ing pin­tu kelu­ar sta­si­un menun­jukkan pukul dela­pan malam. Masih ter­lalu sore untuk memu­tuskan meng­i­nap di ruang tung­gu sta­si­un. Aku akan pulang, men­e­mui anak istiku dan mencer­i­takan semua per­jalananku, men­e­mukan boc­ah kela­paran berna­ma Soso dan berba­gai hal ter­ja­di di kereta.

Kunai­ki angku­tan umum ter­akhir yang akan melin­tasi desaku, sebuah angku­tan berwar­na kun­ing yang selalu penuh den­gan penumpang dan berkarung-karung hasil bumi: kunir, tem­bakau, cabe hing­ga kela­pa. Menu­ju rumah, dan aku akan pulang. ‘Anakku pasti sudah dewasa, ia lebih ting­gi dari ting­gi tubuhku,’ itu yang dit­ulis istriku dalam suat­nya yang dikir­im Mei yang lalu. Ia tam­pan seper­ti bapaknya, tulis­nya lagi yang sedik­it meng­godaku untuk pulang.

Sep­a­n­jang per­jalanan menu­ju rumah, banyak hal yang berbe­da. Jalanan terang oleh lam­pu-lam­pu dan kabel-kabel yang ter­hubung antar rumah pen­duduk. Jem­bat­an penghubung dua desa yang dulun­ya hanya beru­pa jem­bat­an dari sesek bam­bu, kini sudah dibeton, kubu­ran yang tak jauh dari lapan­gan pun sudah dipa­gar den­gan batu-bata dan dis­e­men halus. Pada­hal semasaku masih bera­da di desa, kubu­ran ini hanya berpa­gar tana­man mer­am­bat yang tum­buh semaun­ya, men­jalar-jalar dan tidak terawat.

Aku sam­pai di rumah. Kui­hat istriku sedang duduk di teras rumah, men­jahit paka­ian di bawah sinar neon. “Mar,” panggilku.

Perem­puan itu melepas kaca­matanya, kemu­di­an mele­takkan kain dan menu­ju ke arahku. Ada senyum yang merekah dari wajah­nya yang mulai men­ua. Ah, rupa­nya aku ter­lalu lama per­gi dari rumah, lupa bagaimana memi­jat ubun-ubun­nya keti­ka ia men­geluh pus­ing dan memi­jat pung­gungnya keti­ka ia meras­sa pegal kare­na memangkul getah karet. Tapi anak-anakku telah dewasa, mere­ka yang meng­gan­tikanku, semen­tara aku men­cari saku untuk biaya pen­didikan mereka.
“Ayo masuk!”

Mar mem­bawakan tasku, tapi tak ada per­ma­ta di dalam­nya yang akan menghi­asi leher atau jemarinya. Aku hanya mem­bawa beber­a­pa paka­ian, hadi­ah untuk anak-anak dan uang secukup­nya ser­ta seiris roti sisa kuberikan pada Soso, boc­ah laki-laki di kere­ta tadi sore.
“Di mana anak-anak?” tanyaku
“Mere­ka di perke­bunan.” Jawab Mar sam­bil men­gelu­arkan barang-barang dari tasku.
“Selarut ini?”
Perem­puan berma­ta bulat ini menat­ap­ku. “Mere­ka bek­er­ja di kebun Pak Ari,” jawab­nya kemudian.
“Bek­er­ja? Aku tak mem­inta mere­ka bek­er­ja, biar aku saja! Mere­ka hanya per­lu seko­lah den­gan benar, men­da­p­atkan nilai yang baik dan sete­lah lulus, akan kuseko­lahkan mere­ka ke Ban­dung. Kemu­di­an pulang ke rumah men­ja­di insinyur.”

Segera kuangkat wajah istriku, dan mem­intanya duduk di kur­si untuk berbicara banyak hal. Ia meno­lak. Air mata jus­tru men­galir dari kelopak matanya. Ia menangis, entah untuk apa. Banyak raha­sia yang coba ingin ia katakaan, tapi entahlah, aku ter­lalu bodoh untuk mema­ha­mi istriku sendiri.
“Bagaimana rapor armi­an?” tanyaku. Mar diam. Ia hanya melirikku seben­tar kemu­di­an per­gi ke belakang.
“Minum­lah!”

Perem­puan ini meny­o­dor­kan sege­las air putih padaku, kemu­di­an duduk dan menghela nafas pan­jang. Kem­bali kulon­tarkan per­tanyaan yang sama, “bagaimana rapor Armian?”

Mar menat­ap­ku seben­tar lalu menut­up wajah­nya den­gan tela­pak tan­gan. Men­jam­bak bagian depan ram­but­nya ser­aya menoleh padaku. Ia tersenyum kecut. “Armi­an berhen­ti seko­lah, ia bek­er­ja di kebun Pak Ari sejak sebu­lan yang lalu.”

Aku tersen­tak, sege­las penuh air yang kuminum hanya men­galir dan sama sekali tidak mem­basahi teng­gorokanku. Panas.
“Berhen­ti? Aku men­cari uang jauh-jauh hanya untuk pen­didikan mere­ka, tapi mee­ka jus­tru tak mau seko­lah?” mukaku geram.
“Uang­mu hanya cukup untuk mem­ba­yar seten­gah dari SPP yang harus diba­yarkan, Da! Kamu lupa kami juga per­lu makan? Mem­ba­yar listrik dan pajak bumi?! Mere­ka hanya berhen­ti seben­tar, dan akan tetap ikut ujian Maret nanti.”

Aku berjingkat, kelu­ar dari rumah tapi anak-anakku belum juga muncul. Kurindukan mere­ka, semen­tara lan­git mulai pekat. Ini sudah larut. Kudon­gakkan kepalaku meman­dang lan­git. Tapi lan­git tidak memu­ntahkan salju, ini bukan Geor­gia, dan lagi-lagi aku tertawa. Lan­git tidak juga dihi­asi bin­tang-bin­tang, aku hanya men­e­mukan binatang-binatang kecil yang bert­er­ban­gan di bawah sorot lam­pu dan kendaran yang melin­tasi jalanan beras­pal ini. Di perem­patan depan kuli­hat dua orang boc­ah ber­jalan tan­pa alas kaki, sorot matanya ben­ing, seper­ti mata kuc­ing yang meman­tulkan sinar neon yang mematung pada tiang ping­gir jalan. Itu anak-anakku.
“O tuhan, ini kam­pung yang man­is, tapi keny­ataan menam­par selu­ruh khay­alanku. Tidak hanya soal Geor­gia, bahkan aku gagal men­ja­di ayah yang baik.” []