Tengah malam, ketika aku baru selesai membaca Die Verwandlung. Yevgeny Mironov datang dalam wujud kecoak. Badannya menggeliat ketika masuk celah pintu, bunyi sayapnya berisik menyakiti telinga, sialnya enam kaki pendeknya berjalan terseok ke arahku. Serangga kemerahan itu bisa terbang, bergerak cepat, berisik, dan gemar menyelinap. Kata Samsara Samsa, konon kecoak bisa mencium bau ketakutan manusia. Semakin takut manusia, semakin didekati olehnya.
Napas sesak aku rasakan kala makhluk menjijikkan itu mendekatiku. Dengan gerakan cepat kuambil spatula yang belum sempat dikembalikan ibu ke asalnya. Badanku menegang. Kecoak itu terdiam tak jauh dari posisiku. Mata kecilnya seolah menelanjangiku, mengikuti setiap gerakanku bahkan ketika dadaku kembang kempis mengatur napas.
Kuacungkan spatula tepat di depan wajah anehnya. Bukannya lari menjauh, kecoak itu malah tak gentar mendekatiku. Tanganku bergetar hebat seirama dengan denyut nadiku yang sebentar lagi mungkin akan putus. Dengan langkah terengah, kuambil obat anti serangga. Kukerahkan ke penjuru arah, sambil menutup mata.
Hening tercipta. Bunyi sayap sirna seketika.
Aku kembali bernapas lega. Tiba-tiba kurasakan sesuatu menempel di keningku. Mataku berotasi ke atas dengan rasa ragu. Sepasang mata kecil itu tertangkap jelas oleh kedua mata lebar milikku. Wajahnya mencebik seolah meremehkan. Seperti mengejekku karena jadi pecundang.
Brak !
Aku terjungkal. Kening meluncur mencium lantai dengan tak sopan. Mataku masih terpejam dengan napas yang tersenggal-senggal. Hening kembali kudapatkan. Mengusap kening sebentar ‚dan syukurlah kecoak itu sudah menghilang. Kuberanikan membuka mata. Menjelajah sekeliling dan hampir saja terjungkal kembali saat netraku menangkap sebuah gambar monster serangga di buku karangan Franz Kafka yang tadi malam sempat kubaca. Kutepuk jidat, yang malu menangkap kebodohan diri.
Penulis: Titan Novita Sari
Redaktur: Natasya