Dalam kehidu­pan bermasyarakat kita men­ge­nal adanya perbe­daan. Baik perbe­daan suku, budaya, aga­ma, jenis kelamin, gen­der, dan masih banyak lagi. Perbe­daan ini tidak dap­at diragukan lagi keber­adaan­nya, ia mut­lak dan tak dap­at diban­tah. Dari perbe­daan ini ser­ingkali menim­bulkan gesekan, baik secara lang­sung maupun tidak langsung. 

Salah satu yang cukup mengkhawatirkan yakni narasi-narasi yang ser­ing digu­nakan di media sosial. Dap­at dil­i­hat bah­wa sela­ma ini masih banyak narasi yang kurang ramah den­gan perbe­daan. Teruta­ma narasi yang berkai­tan den­gan gen­der. Laki-laki dan perem­puan ser­ingkali dibedakan berdasarkan jenis kelamin­nya. Mulai dari sifat, peker­jaan, fungsi repro­duk­si, hing­ga kedudukan akan berpen­garuh kare­na hal terse­but. Lan­tas adilkah hal tersebut? 

Mari kita renungkan seben­tar. Sebuah perbe­daan itu pasti ada, ter­ma­suk jenis kelamin juga gen­der. Jika sifat, peker­jaan, fungsi repro­duk­si, dan kedudukan seo­rang indi­vidu diten­tukan den­gan jenis kelamin bukankah itu tidak adil. Kare­na Tuhan hanya mem­berikan jenis kelamin yang berbe­da sedang yang lain diten­tukan sendiri sesuai kemam­puan dan kemauan individu.

Di dunia media sosial, narasi yang men­gan­dung keti­dakadi­lan gen­der berte­baran. Seba­gai con­toh penyebu­tan pem­ban­tu rumah tang­ga yang iden­tik den­gan perem­puan. Selain itu peker­jaan domestik yang ser­ing juga diiden­tikan den­gan perem­puan, dok­ter iden­tik den­gan laki-laki sedang per­awat iden­tik den­gan perem­puan. Hal ini ten­tu menim­bulkan kecem­bu­ru­an tersendiri bagi pelakun­ya, selain itu ten­tu mem­ban­gun penaf­sir­an bah­wa per­awat selalu perem­puan dan dok­ter selalu laki-laki misalnya. 

Per­soalan di atas ten­tu harus men­da­p­atkan per­ha­t­ian khusus. Mulai dari hal-hal kecil kita bisa men­gubah­nya. Per­ta­ma, men­gubah narasi yang bias gen­der. Seper­ti peng­gu­naan kali­mat pem­ban­tu rumah tang­ga men­ja­di peker­ja rumah tang­ga. Hal ini kecil namun cukup berdampak bagi para pelakunya. 

Ked­ua, men­gubah narasi yang melanggengkan keti­dakadi­lan. Salah sat­un­ya kali­mat, gam­bar, ata­pun video yang mem­per­li­hatkan peker­jaan, kedudukan seo­rang indi­vidu. Peker­jaan rumah tak harus iden­tik den­gan seo­rang perem­puan, juga peker­jaan kan­tor tak harus iden­tik den­gan laki-laki. Selain itu peng­gu­naan kali­mat juga harus diper­hatikan. Kebanyakan peng­gu­na media sosial kurang mem­per­hatikan kata yang mere­ka pakai dalam men­gungkap­kan piki­ran­nya. Entah kare­na keti­dak­tahuan atau memang ikut-iku­tan.

Keti­ga, men­gubah narasi yang rasisme dan sek­sisme. Narasi yang rasisme dap­at menim­bulkan tin­dakan bul­ly­ing. Narasi rasisme bisa beru­pa foto, video, bahkan kali­mat-kali­mat yang sela­ma ini banyak digunakan.

Sen­ga­ja ataupun tidak peng­gu­naan stik­er pada pesan what­sapp, foto, dan video-video seba­gai lucu-lucuan di jejar­ing media sosial lain juga mengam­bil banyak per­an dalam narasi rasisme. Seo­rang yang berkulit hitam diiden­tikkan den­gan jelek, tidak can­tik ataupun tam­pan, sedan­gkan kulit putih men­ja­di patokan untuk can­tik dan tam­pan. Selain itu narasi sek­sisme akan menim­bulkan hal yang lebih besar lagi. Keper­cayaan bah­wa satu jenis kelamin lebih ung­gul memang telah mem­bu­daya di dalam masyarakat kita.

Tidak dap­at dipungkiri bah­wa seba­gian besar masyarakat masih men­gang­gap jenis kelamin laki-laki lebih ung­gul dan dap­at dian­dalkan dari jenis kelamin perem­puan. Keper­cayaan ini­lah yang sedik­it demi sedik­it harus diubah. Mem­bu­dayakan untuk meng­har­gai seti­ap perbe­daan men­ja­di hal uta­ma yang harus ditanamkan. Memang tidak ada kesamaan kare­na Tuhan memang men­cip­takan kita berbeda-beda. 

Kead­i­lan dalam ruang sosial antara laki-laki dan perem­puan men­ja­di agen­da kita bersama. Mem­u­lainya den­gan men­gubah narasi, den­gan narasi maka pan­dan­gan dap­at berubah dan akan berdampak pada sikap indi­vidu ter­hadap perbe­daan yang ada. Bagaimana cara kita menyikapi sesu­atu akan berdampak pada hal lain bahkan dap­at men­gubah hal lain men­ja­di hal baru. []