Judul: Pulang

Penulis: Leila S. Chudori

Pener­bit: Kepus­takaan Pop­uler Gramedia

Kota Ter­bit: Jakar­ta, 2012

Tebal buku: viii + 461

ISBN: 13: 978–602-424–275‑6

Ada keka­cauan poli­tik yang bukan sekadar men­galahkan, tetapi meron­tokkan, kemanu­si­aan Dimas dan kawan-kawan­nya, hing­ga mere­ka harus memu­ngut kem­bali ser­pi­han dirinya dan mem­ban­gun itu semua agar bisa kem­bali men­ja­di sekumpu­lan manu­sia yang memi­li­ki harkat yang utuh.” (Pulang, h. 203)

Pulang men­ja­di sebuah nov­el dra­ma kelu­ar­ga, per­sa­ha­batan, cin­ta, dan penghi­anat berlatar tiga peri­s­ti­wa sejarah, yaitu Indone­sia,  30 Sep­tem­ber 1965 (G30S); Paris, Mei 1968; dan Indone­sia, Mei 1998.

Nov­el ini juga men­ja­di nov­el sejarah per­ta­ma Leila S. Chu­dori den­gan gaya realis-sosial yang sebelum­nya dipop­ulerkan oleh penulis ‘Tetralo­gi Buru’, Pramoedya Anan­ta Toer. Melalui ‘Pulang’, Leila telah berhasil men­gan­ton­gi Peng­har­gaan Kusala Khat­ulis­ti­wa pada 2013.

Pro­log buku ini diawali den­gan sudut pan­dang orang per­ta­ma, Hanan­to Prawiro, yang mencer­i­takan penangka­pan­nya di sebuah tem­pat foto di Jalan Sabang pada April 1968. Hanan­to meru­pakan butir ter­akhir dari serangka­ian per­bu­ru­an yang dilakukan pas­ca peri­s­ti­wa 30 Sep­tem­ber 1965.

Pada bab per­ta­ma dan bab-bab selan­jut­nya berjudul nama tokoh yang akan mengam­bil alih ceri­ta dan sub-bab –latar keja­di­an yang akan dicer­i­takan di dalam­nya. Kemu­di­an, ada seba­gian kecil ceri­ta yang mengam­bil sudut pan­dang orang keti­ga untuk meny­orot ceri­ta den­gan lebih jelas.

Meskipun men­er­ap­kan mul­ti-POV (point of view) dan alur cam­pu­ran, ‘Pulang’ tak akan mem­bu­at pem­ba­canya kebin­gun­gan saat mem­ba­ca hala­man demi hala­man­nya. Seti­ap puz­zle yang ada akan ter­jawab seir­ing ber­jalan­nya cerita.

Bab per­ta­ma nov­el ini diam­bil alih oleh Dimas Suryo, yang mencer­i­takan perte­muan IOJ (Inter­na­tion­al Orga­ni­za­tion of Jour­nal­ists) di San­ti­a­go sekali­gus Kon­fer­en­si Organ­isasi Seti­akawan Raky­at Asia-Afri­ka di Peking pada tahun 1966, yang ia iku­ti bersama keti­ga kawan­nya; Nugro­ho, Tjai, dan Risjaf.

Di sini, sosok Hanan­to Prawiro, roman cin­ta segit­i­ga antara Dimas, Hanan­to, dan Sur­ti, dik­isahkan secara detail dan puitis. Saat bera­da di Peking, beri­ta peri­s­ti­wa G30S sam­pai ke telin­ga Dimas dan kawan-kawan­nya. Sta­tus kewar­gane­garaan mere­ka diha­pus dan masuk dalam daf­tar orang yang dibu­ru kare­na mere­ka bek­er­ja di Kan­tor Beri­ta Nusan­tara, kan­tor beri­ta yang diang­gap ‘kiri’ oleh pemerintah.

Sete­lah mene­tap dan bek­er­ja di Peking sela­ma beber­a­pa wak­tu, Dimas men­ga­jak keti­ga saha­bat­nya untuk berto­lak ke Eropa. Mere­ka memil­ih Pran­cis sete­lah men­gun­jun­gi berba­gai negara di sana. Negara itu diang­gap ramah ter­hadap para kor­ban poli­tik yang kehi­lan­gan sua­ka seper­ti mere­ka. Keti­ka di Pran­cis, ter­den­gar kabar ten­tang penangka­pan satu per satu saha­bat mere­ka hing­ga penangka­pan Hanan­to Prawiro.

Di ten­gah pen­car­i­an ‘iden­ti­tas’, mere­ka didera rasa bersalah kare­na satu per satu kawan mere­ka tum­bang, ditangkap, ditem­bak, atau dihi­langkan nyawanya. Untuk berta­han, Dimas dan kawan-kawan­nya tetap men­jalin hubun­gan den­gan orang-orang sena­sib dari Indone­sia yang ada di Eropa. Mere­ka berem­pat memu­ngut kem­bali ‘jati diri’ den­gan menye­but dirinya seba­gai ‘Empat Pilar’ di restoran ‘Tanah Air’ yang berhasil mere­ka bangun.

Lin­tang Utara, anak Dimas Suryo den­gan gadis berma­ta hijau asal Pran­cis –Vivi­enne Dev­er­aux men­ja­di penceri­ta di bab selan­jut­nya. Tahun 1998, dua puluh empat tahun sete­lah kelahi­ran­nya, Indone­sia men­ja­di bagian dirinya yang masih ter­den­gar asing dan abstrak. Bagaimana bisa negeri yang men­ja­di tem­pat kelahi­ran sang ayah masih dikua­sai oleh satu rez­im yang sama sete­lah berpu­luh-puluh tahun.

Lin­tang yang bera­da di tahun ter­akhir pen­didikan­nya di Uni­ver­si­tas Sor­bonne ten­gah meren­canakan doku­menter untuk tugas akhirnya. Pro­pos­al­nya ten­tang imi­gran Aljazair di Per­an­cis dito­lak men­tah-men­tah oleh dosen­nya –Mon­sieur Dupont. Ia jus­tru dis­arankan untuk mem­bu­at doku­menter ten­tang Indonesia.

Alhasil, Lin­tang beru­lang kali mem­per­tanyakan bagaimana memetik Indone­sia dari I.N.D.O.N.E.S.I.A. Dan singkat ceri­ta, akhirnya gadis beram­but hitam ikal itu bisa meng­in­jakkan kaki ke tanah yang baginya asing, penuh teka-teki, tapi mam­pu mem­bu­at hatinya berde­sir tiap kali menden­gar ceri­ta tentangnya.

Di Jakar­ta, le coup de foudre yang men­er­pa Lin­tang Utara kare­na perte­muan per­ta­manya den­gan Alam –anak Sur­ti Anan­dari dan Hanan­to Prawiro, dicer­i­takan di bab keti­ga ‘Sagara Alam’. Alam adalah seo­rang aktivis di LSM yang merasakan diskrim­i­nasi aki­bat kon­sep Bersih Lingkun­gan yang dijalankan pemer­in­tah Orde Baru.

Di bab ini, dijabarkan pel­ba­gai dampak dari kedik­ta­toran rez­im dan stig­ma­ti­sasi ter­hadap ‘mere­ka’ yang sebe­narnya tak per­nah ter­li­bat den­gan Par­tai Komu­nis Indone­sia  (PKI). Bagaimana Sur­ti dan keti­ga anaknya, kelu­ar­ga Aji Suryo –adik Dimas, Bimo, dan banyak orang tidak bersalah lain­nya harus men­da­p­atkan dampak dari dok­trin yang dise­barkan penguasa.

Selebi­h­nya, keadaan Jakar­ta sedang panas; ter­ja­di chaos kare­na inflasi, pen­jara­han dan kek­erasan yang menyasar ketu­runan Tiong­hoa, dan demon­strasi yang ker­ap dibu­at ricuh oleh pihak yang tak dikenal.

***

Men­gangkat sisi lain dari peri­s­ti­wa sejarah dan dampaknya pada orang-orang yang berbe­da, mene­gaskan bah­wa Leila hen­dak mem­berikan pema­haman ten­tang sejarah seba­gai sesu­atu yang absolut.

Sela­ma ini, seko­lah selalu men­je­jali pen­didikan sejarah hanya melalui satu sudut pan­dang yang mem­ben­tuk indok­tri­nasi secara kolek­tif dan pem­ber­ian ‘cap’ pada kelom­pok ter­ten­tu seba­gai tokoh antag­o­nis yang dicip­takan oleh penguasa.

Pada­hal di luar semua itu, ada banyak kebe­naran yang tak ter­tulis namun jelas dirasakan oleh orang-orang yang ter­li­bat lang­sung dalam peri­s­ti­wa sejarah itu. Selebi­h­nya, masih banyak sebab-aki­bat dalam sejarah Indone­sia yang masih abu-abu hing­ga saat ini.

Ada banyak sisi yang harus digali untuk mema­ha­mi satu kon­teks sejarah. Pen­dukung PKI mungkin per­nah begi­tu agre­sif dan ganas dalam meng­ha­jar lawan­nya. Namun apa yang ter­ja­di sete­lah 30 Sep­tem­ber, kon­sep ‘Bersih Diri dan Bersih Lingkun­gan’ mem­bu­at per­bu­ru­an dan pem­ban­ta­ian diang­gap seba­gai suatu yang wajar oleh may­ori­tas orang negeri ini.

Pemer­in­tah yang seharus­nya mencer­daskan dan melin­dun­gi sege­nap war­ganya –baik may­ori­tas maupun minori­tas, jus­tru menor­malkan serangka­ian peri­s­ti­wa pelang­garan Hak Asasi Manu­sia (HAM) terbe­sar dalam sejarah Indone­sia pasca-merdeka.

Selain sejarah, Leila juga men­gangkat segala macam ten­tang Indone­sia sehing­ga mem­bu­at pem­ba­canya bisa memetik Indone­sia dari I.N.D.O.N.E.S.I.A. Bicara ‘Pulang’ tak hanya ten­tang karya sas­tra yang men­gangkat kisah sekelom­pok jur­nalis yang diang­gap ‘kiri’, namun di dalam­nya juga ada bahasan ten­tang kulin­er, wayang, seks, hing­ga spir­i­tu­al­i­tas. Dimas Suryo seba­gai chef di restoran ‘Empat Pilar Tanah Air’ mero­man­tisi makanan bak puisi yang memi­li­ki ruh di seti­ap hidangannya.

Buat saya, memasak sebuah hidan­gan sama serius­nya seper­ti men­cip­takan sebuah puisi. Seti­ap huruf berlon­catan men­cari jodoh untuk mem­ben­tuk kata; setia kata meliuk, mele­sat, dan mungkin sal­ing bertabrakan dan rebu­tan men­da­p­atkan jodoh untuk mem­ben­tuk kali­mat yang berisi sekali­gus memi­li­ki gaya puitik. Seti­ap huruf mem­pun­yai ruh, mem­pun­yai nyawa, dan memil­ih kehidu­pan­nya sendiri.”

Ceri­ta wayang, The Mahab­hara­ta, men­ja­di sorotan yang ser­ing diba­has oleh Lin­tang Utara untuk menggam­barkan sosok ayah­nya, Dimas Suryo. Ekalaya dan Bima yang men­ja­di tokoh wayang favorit Dimas menggam­barkan bagaimana kepribadiannya.

Bima begi­tu setia pada Dru­pa­di, seper­ti Dimas yang begi­tu setia kepa­da negeri dan tanah airnya. Bagi Dimas, Indone­sia adalah rumah yang paham bau, ban­gun tubuh, dan jiwanya. Ia bahkan meny­im­pan seto­ples cengkeh dan kun­y­it di aparte­men­nya demi tetap bisa merasakan bau Indone­sia di ten­gah gemer­lap Kota Cin­ta –Paris.

Dimas layaknya tokoh Ekalaya dito­lak oleh Dor­na. Ia dito­lak oleh pemer­in­tah Indone­sia, tetapi dia tidak dito­lak oleh negeri dan  tanah airnya.

Leila turut men­gangkat ten­tang peringatan hari Kar­ti­ni yang ker­ap dirayakan seba­gai acara ser­e­mo­ni­al bela­ka. Sela­ma ini, peringatan eman­si­pasi jus­tru hanya dimak­nai seba­gai pen­ge­naan kebaya, acara berkumpul dan makan bersama tan­pa mengin­gat cita-cita Kar­ti­ni yang ter­tuang dalam surat-suratnya.

Selain pesan sejarah yang kuat, apa yang dikatakan tiga diplo­mat muda –Raditya, Hans, dan Yos dalam nov­el ini, saya rasa mewak­ili salah satu tujuan dari refor­masi sekali­gus pemak­naan dari ‘memanu­si­akan manu­sia’ itu sendiri.

Bah­wa seti­ap orang memi­li­ki otak dan pemiki­ran­nya mas­ing-mas­ing, kare­na itu tak seharus­nya seo­rang manu­sia didik­te oleh manu­sia lain. Seti­ap orang memi­li­ki hak untuk mengek­spre­sikan diri dan per­caya ter­hadap apa yang ia per­cayai, tan­pa diskrim­i­nasi dan tan­pa inter­ven­si dari pen­guasa atau pihak man­a­pun.“Poli­tik tak per­nah seder­hana. Per­gu­mu­lan ide­olo­gi adalah pem­bungkus atau sekadar pre­ten­si untuk kegaira­han akan kekuasaan.”  –Vivi­enne Dev­er­aux (Pulang, h. 204)

Penulis: Nandya
Edi­tor: Ulum