“Tidak ada uang ya saya golput”, kurang lebih seperti itu yang dikatakan oleh sebagian masyarakat dalam menghadapi Pilkada yang dalam waktu dekat ini akan segera dilaksanakan. Adapun tradisi masyarakat yang pada gelaran pemilihan umum selalu mengatakan, “Ada uangnya apa tidak?”, “Paslon ini ada uangnya apa tidak ya?”, “Dapat uang berapa ya?”.
Demikian itu ucapan yang sudah menjadi hal yang biasa oleh masyarakat pada musim pemilihan umum. Bukannya hal tersebut harus ditutup-tutupi dan menjadi rahasia pribadi. Justru malah tidak ada rasa malu sama sekali dan ucapan tersebut telah menjadi sesuatu hal yang biasa.
Masyarakat dalam menghadapi gelaran Pilkada serentak tahun 2020 ini dengan suasana yang sangat berbeda. Dengan rasa kekhawatiran dan rasa was-was di tengah berlangsungnya pandemi Covid-19, yang hingga saat ini masih belum juga berakhir. Pandangan masyarakat mengenai politik uang yang demikian itu, jika tidak segera diputus mata rantainya maka praktik politik di negera ini sampai kapanpun akan tergantung pada uang.
Praktik politik transaksional akan merajarela di negara ini. Sedangkan bagi rakyat yang memiliki kekayaan harta yang melimpah, maka dia yang akan memiliki kekuasaan. Sedangkan bagi yang tidak memiliki harta kekayaan yang cukup, maka selamanya tidak akan bisa memiliki kekuasaan.
Dalam undang-undang sudah dijelaskan mengenai larangan melakukan politik uang yang diatur dalam Pasal 523 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menegaskan “Peserta, tim kampanye, melakukan pemberian uang atau materi lainnya kepada pemilih, baik langsung maupun tidak langsung, itu ketentuan pidananya adalah 4 tahun dan denda Rp48 juta.”
Adapun penyebab dari terlaksananya praktik politik uang yang secara terus menerus terjadi di negara ini yang disebabkan karena ada dua subjek, yaitu subjek kandidat dan subjek masyarakat sebagai pemilih.
Dari Subjek Kandidat
Penyebab kandidat dalam melasanakan praktik politik uang adalah karena ketat dan tingginya persaingan untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya dalam Pilkada, sehingga uang dijadikan sebagai sarana alat tukar dengan suara masyarakat.
Hal yang seharusnya dilakukan kandidat adalah membuat gagasan visi-misi, gerakan, dan program yang sebaik mungkin kemudian mensosialisasikan secara masif, sehingga pemilih dapat memilih berdasarkan progam bukan karena uang.
Justru bagi kandidat baru malah masih mencari cara bentuk serangan fajar untuk bersaing dengan lawannya. Melakukan politik uang sangat berpotensi bagi para kandidat. Apalagi bagi kandidat yang pada periode sebelumnya pernah mencalonkan diri dan tentunya akan mengulanginya lagi.
Dari Subjek Masyarakat sebagai Pemilih
Pertama, kondisi kekurangan, seperti “Ah kesempatan bisa dapat uang, nanti kalau sudah terpilih belum tentu saya akan mendapatkan uang darinya.” Sudah jelas bahwasanya suap dan jual beli suara adalah kegiatan yang sudah melanggar hukum. Mereka tidak memikirkan dampak dari kegiatan tersebut.
Apalagi di masa pandemi seperti sekarang, masyarakata sedang dilanda krisis perkonomian. Hal ini bisa jadi para kandidat memanfaatkan situasi ini dengan berbagai cara, lebih khusus dengan serangan fajar.
Kedua, pengetahuan masyarakat tentang politik masih rendah, “Jangankan disuruh memilih dan memahami apa itu visi-misi, siapa orang yang mencalonkan saja tidak tahu kok.” Ini terjadi karena masyarakat bersikap acuh dan tidak begitu peduli dengan politik di negara ini. Selain itu, juga kurangnya pemahaman politik dan sosialisasi visi-misi yang jelas baik dari pemerintah maupun para kandidat.
Ketiga, kebudayaan, “Tidak boleh monalak rezeki yang sudah diberikan kepada kita. Rezeki kok ditolak, kan lumayan buat tambahan isi dompet.” Dengan begitu karena masyarakat sudah diberi uang, maka konsekuensinya sebagai ucapan terima kasihnya adalah dengan cara memilihnya.
Kebudayaan yang semula baik justru menjadi tidak baik karena disalah artikan dan melenceng pada penerapannya.
Kita perlu mengerti, bahwasanya awal yang baik maka hasil akhirnya pun akan baik. Bagi para kandidat yang melakukan politik uang sebagai alat untuk memperoleh suara saat dinyatakan menang dan menduduki kursi pimpinan di daerah nantinya.
Maka yang lebih utama dipikirkan adalah bagaimana dan dari mana sumber pengembalian utang yang telah dikeluarkan selama proses pemilihan berlangsung. Hal ini bisa jadi berpotensi terjadinya tindakan korupsi untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan saat pemilihan.
Hal semacam ini menimbulkan populernya praktik politik uang. Masyarakat tidak berpikir secara rasional bahwa uang yang diberikan suatu saat akan diambil kembali oleh para kandidat yang nantinya terpilih menjadi penguasa. Tidak sadarnya masyarakat adanya permainan politik yang justru sebenarnya mereka sendiri yang akan mengalami kerugian.
Lantas berbicara politik uang bukan karena pemilih yang salah, tetapi kandidatnya juga salah. Oleh karena itu, antara subjek kandidat dan pemilih harus saling berpegang tangan untuk memperbaiki sistem politik dan memutus mata rantai politik uang yang ada di negera ini.
Dengan harap dimulai dari diri sendiri. Agar ke depannya pemilu di negera ini bisa sesuai dengan prosedur demokrasi dan dengan proses pemilihan yang baik serta Langsung, Umum, Bebas, Rahasia-Jujur dan Adil (LUBER-JURDIL) diharapkan nantinya dapat menghasilkan pemimpin yang berintelektual tinggi yang dapat menjalankan roda pemerintahan dengan baik.
Penulis: Muhammad Nizar Syahroni S.
Editor: Nifa K. Fahmi
- Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)