Indi­vidu harus melek poli­tik, tidak boleh aler­gi ter­hadap poli­tik. Bertolt Brecht salah seo­rang penyair sekali­gus der­mawan Jer­man men­gatakan bah­wa: Buta ter­bu­ruk adalah buta poli­tik. Orang buta poli­tik tak sadar bah­wa biaya hidup, har­ga makanan, har­ga rumah, har­ga obat, semuanya bergan­tung kepu­tu­san poli­tik. Dia mem­bang­gakan sikap anti poli­tiknya, mem­busungkan dada dan berkoar “Aku Ben­ci Poli­tik!”, sung­guh bodoh dia, yang tak menge­tahui bah­wa kare­na dia tidak mau tahu poli­tik aki­bat­nya adalah pelacu­ran, anak ter­lan­tar, per­am­pokan dan yang ter­bu­ruk: korup­si dan perusa­han multi­na­sion­al yang men­guras kekayaan negeri.

Fak­tanya banyak indi­vidu yang aler­gi akan poli­tik, kare­na kon­disi fak­tu­al bah­wa segala jenis “keja­hatan” pasti ada kai­tan­nya den­gan masalah poli­tik. Pan­dan­gan seper­ti ini wajar adanya dikare­nakan isi kepala kepala seba­ga­ian besar dari kita (ataupun masyarakat kita) bah­wa poli­tik adalah  per­gant­ian kekuasaan seti­ap lima tahun, demokrasi ditarf­sirkan hanya sebatas mera­maikan lokasi pemil­i­han, den­gan diung­gah­nya foto kel­ingk­ing berwar­na ungu di media sosial.

Pada­hal poli­tik sejatinya adalah upaya untuk meng­in­ves­tasikan per­abadan bukan kekuasaan, itu sebab­ntya dulu poli­tik dise­but seba­gai the high­est of all sci­ences (yang tert­ing­gi dari semua ilmu-ilmu). Berar­ti men­ja­di poli­tisi adalah peker­jaan yang pal­ing sulit. Kare­na ker­ja dari seo­rang poli­tisi adalah mendis­tribusikan kead­i­lan, kead­i­lan bagi satu kelom­pok belum ten­tu adil bagi kelom­pok yang lain, itupun dalam uku­ran kelom­pok, bagaimana jika kead­i­lan kita ukur dari tiap indi­vidu-indi­vidu? Per­tanyaanya apakah poli­tisi mema­ha­mi ini?

Pasti! Kare­na seti­ap kali dia­manahkan oleh raky­at untuk mewak­ili kepentin­gan  raky­at, selalu ter­be­lit di kepala dan di hati orang-orang yang dia­manhkan untuk men­ja­di peta­hana yang sukses..

Pen­didikan poli­tik, adalah adalah dua kata yang selalu diden­gungkan oleh insti­tusi poli­tik akhirnya men­ja­di sia-sia, kare­na kuriku­lum seti­ap insti­tusi poli­tik dikalahkan den­gan has­rat indi­vidu untuk melanggengkan kekuasaan, belum lagi jika yang diadu dalam insti­tusi poli­tik bukan­lah keku­atan argu­men­tasi tapi keku­atan sim­bo­lik ataupun ekonomi.

Kata Ben­jamin Dis­raeli salah seo­rang negarawan dan penulis Ing­gris, Almost everyrhing that is great has been done by youth (Ham­pir semua hal besar telah dilakukan oleh pemu­da), Sedan­gkan Pramodya Anan­ta Toer  seo­rang Penulis Indone­sia per­nah bertanya, Bukankah tidak ada yang lebih suci bagi seo­rang pemu­da dari­pa­da mem­bela kepentin­gan bangsanya? Tapi yang ter­ja­di saat ini, indi­vidu yang mengik­lankan diri den­gan kata pemu­da, tampil bukan den­gan dalil atau slo­gan kecerdasan. 

Pada dasarnya yang bertang­gung jawab atas seti­ap prob­lem yang ada adalah orang-orang yang paham, dan kita semua mem­bu­tuhkan indi­vidu yang paham dan mam­pu menye­le­saikan prob­lem. Kelema­han kita adalah para­me­ter yang kita gunakan untuk menen­tukan sikap pada momen­tum lima tahu­nan ter­lalu ren­dah, mis­al­nya menung­gu ada yang menya­pa pada saat fajar menam­pakan diri, hari di mana pes­ta itu dilaksanakan.

Kesadaran kita yang dan­gkal seper­ti ini, entah sen­ga­ja atau tidak, dirawat oleh elit untuk melanggengkan tar­get berkuasa di peri­ode selan­jut­nya. Kare­na jika kesadaran kri­tis yang ada, maka akan ada para­me­ter den­gan kual­i­tas kemanu­sian yang ting­gi, maka di sit­u­lah ben­cana akan datang kepa­da mere­ka yang haus akan kuasa.

Teta­plah waras di zaman yang kian edan dan teta­plah edan di hada­pan orang yang benar-benar edan”

(Dhul Rachim)

Penulis: Abd. Wahab A.Rahim. Maha­siswa Insti­tut Aga­ma Islam Negeri Ternate