Pen­ge­nalan Budaya Akademik Kam­pus (PBAK) men­ja­di agen­da tahu­nan IAIN Tulun­ga­gung guna menyam­but Maha­siswa Baru (Maba). PBAK yang dilang­sungkan ming­gu kemarin dan men­em­puh empat hari terse­but meng­haruskan Maba mem­bawa berba­gai atribut yang dijadikan prasyarat peser­ta PBAK

Total 5521 Maba yang diter­i­ma IAIN Tulun­ga­gung tahun ini men­jadikan kebu­tuhan penun­jang PBAK meningkat. Hal ini diman­faatkan bagi maha­siswa dan masyarakat sek­i­tar untuk mem­bu­ka bis­nis. Mulai dari pen­jualan atribut, seper­ti Id card, cap­ing, bam­bu kun­ing, ben­dera mer­ah putih, dan pita; pen­jualan makanan; pen­gelo­laan parkir; hing­ga penye­waan kos. 

Salah satu pihak yang meman­faatkan momen PBAK untuk berbis­nis adalah dalam lingkup lem­ba­ga atau komu­ni­tas adalah DEC (Dynam­ic Eng­lish Course). DEC meru­pakan lem­ba­ga kur­sus Bahasa Ing­gris cabang Pare-Tulun­ga­gung yang menye­di­akan per­ala­tan PBAK, mulai dari cap­ing, tongkat, ben­dera, id card, bib­it tana­man, dan makanan untuk PBAK insti­tut (PBAK‑I) dan PBAK Fakul­tas (PBAK‑F) Tar­biyah dan Ilmu Kegu­ru­an (FTIK). Semen­tara strate­gi pen­jualan yang dilakukan yakni den­gan mema­su­ki grup-grup Maba, kemu­di­an mem­u­lai chat per­son­al untuk promosi. 

Ada­pun rin­cian dari pasaran DEC yakni Rp 30.000 untuk atribut, Rp 25.000 untuk makanan PBAK insti­tut dan Rp 25.000 untuk PBAK FTIK, Rp 15.000 untuk bib­it tana­man, ser­ta Rp 100.000 untuk kos OSPEK per anak sela­ma empat hari. Secara keselu­ruhan, total keun­tun­gan yang diper­oleh dari pen­jualan makanan dan kos men­ca­pai Rp 1.500.000.

Keun­tun­gan kita bagi men­ja­di dua, yaitu pihak pen­gu­rus DEC sendiri dan orang yang mem­ban­tu pen­jualan, den­gan rin­cian 900.000 rupi­ah untuk pen­gu­rus DEC dan 600.000 rupi­ah untuk pihak yang mem­ban­tu. Yang mana laba itu digu­nakan untuk mem­ba­yar kon­trakan DEC,” ungkap Wida selaku pen­gu­rus DEC.

Selain DEC, komu­ni­tas maha­siswa lain yang turut ser­ta yakni Ikatan Maha­siswa Kota Angin (IMAKA) yakni menye­di­akan per­ala­tan PBAK Insti­tut, den­gan rin­cian Rp 50.000 untuk makanan dan Rp 70.000 jika sekali­gus per­lengka­pan PBAK FTIK. Namun, tidak untuk  perse­di­aan buku dan bib­it tana­man. “Tidak men­jual buku dan tana­man, kare­na belum bisa mema­tok har­ga dan belum ada chan­nel,” ujar Thoif selaku pen­gu­rus IMAKA

Selain per­ala­tan PBAK, IMAKA juga menye­di­akan kos OSPEK khusus laki-laki den­gan har­ga 100.000 sela­ma empat hari. “IMAKA tidak merasa dirugikan, seumpa­ma tahun depan PBAK tidak memer­lukan atribut seper­ti tahun ini, kare­na memang tujuan­nya hanya mem­ban­tu maha­siswa baru, khusus­nya maha­siswa baru dari Ngan­juk, masalah keun­tun­gan itu hanya bonus,” terang Thoif. 

Perg­er­akan Maha­siswa Islam Indone­sia (PMII) Ray­on Avi­cen­na juga men­jual per­ala­tan PBAK dan menye­di­akan kos untuk Maba. Kos yang dise­di­akan dipa­tok har­ga Rp 230.000 untuk laki-laki dan Rp 280.000 untuk perem­puan sela­ma empat hari, ter­ma­suk biaya makan. Ada­pun keun­tun­gan yang diper­oleh untuk penye­waan kamar kos dialokasikan untuk biaya kon­trakan rayon. 

Lain hal­nya den­gan Fikri yang men­jual atribut PBAK beser­ta baju yang dike­nakan saat PBAK. Modal diper­oleh dari uang kas hasil dari usa­ha lain yang dijalani bersama tiga teman­nya. Ia lebih men­u­ai banyak keun­tun­gan dari pen­jualan baju dari­pa­da atribut kare­na memang sebelum­nya sudah fokus pada pen­jualan baju. “Per satu atribut lengkap men­da­p­at keun­tun­gan 5000 rupi­ah, sama hal­nya den­gan baju, namun peme­sanan baju lebih mele­jit den­gan total peme­sanan 300 pcs,” terang Fikri.

Di sisi lain, Pur­wati yang juga menye­di­akan kos OSPEK putri dan per­lengka­pan sehar­ga Rp 270.000 untuk empat hari, den­gan rin­cian Rp100.000 untuk kos, dan Rp 170.000 untuk per­lengka­pan PBAK, ter­ma­suk makan sela­ma empat hari. Strate­gi yang digu­nakan adalah memir­ingkan har­ga agar maha­siswa ter­tarik, kare­na semakin maraknya kos-kos yang berhar­ga murah men­jadikan sulit bersaing. 

Ndis­ek awal buka enek telu­las boc­ah, sai­ki pitu ae Alham­dulil­lah. Ndis­ek tau bukak rego pal­ing murah ben payu (dulu awal buka ada tiga belas anak, sekarang tujuh saja sudah Alham­dulil­lah, dulu per­nah mem­bu­ka har­ga pal­ing murah agar laku,” jelas Purwati.

Kurangnya lahan parkir di area kam­pus men­jadikan tidak muat­nya menam­pung kendaraan Maba. Hal ini diman­faatkan masyarakat sek­i­tar untuk mem­bu­ka area parkir di luar kam­pus. Salah sat­un­ya Ambiya, yang hanya mem­bu­ka parkir saat PBAK den­gan modal Rp50.000 untuk mem­bu­at kar­tu parkir. Biasanya Ambiya bek­er­ja sama den­gan beber­a­pa orang. Keun­tun­gan yang diper­oleh kira-kira men­ca­pai Rp 300.000 sam­pai Rp400.000 per hari. Keun­tun­gan terse­but kemu­di­an diba­gi sesuai jum­lah orang yang bek­er­ja pada hari itu.

Tidak hanya bis­nis atribut, kos dan parkir, masyarakat juga meman­faatkan momen ini untuk men­jual makanan yang dibawa saat PBAK, salah sat­un­ya Munti­nah. Ia men­jual berane­ka makanan minu­man, dan buah-bua­han den­gan har­ga Rp 7.500, 00 per paket. Dalam sehari Munti­nah dap­at men­jual kurang lebih 60 bungkus. 

 “Bedane dodolan tahun iki jan adoh, lek tahun dek ingi mek titik, sai­ki nyelot akeh sing tuku (Bedanya jualan tahun ini san­gat jauh, kalau tahun kemarin hanya sedik­it, sekarang lebih banyak yang beli, Red.),” imbuh Muntinah.

Berbe­da den­gan pemi­lik usa­ha perc­etakan, yang men­geluhkan pen­da­p­atan­nya saat mema­su­ki musim PBAK. Pen­da­p­atan yang mere­ka per­oleh lebih banyak dari­pa­da hari-hari perku­li­a­han biasa. Ada­pun jasa yang digu­nakan hanya untuk pem­bu­atan Id card, den­gan rin­cian keun­tun­gan yaitu Rp 500 untuk print, dan Rp 2.500 untuk laminating. 

Kalau wak­tu PBAK hanya sedik­it yang print atau lam­i­nat­ing, kita-kira total 50 orang, kare­na kebanyakan sudah dise­di­akan oleh kos atau asra­ma. Jadi, yang ke sini hanya maha­siswa yang Id card­nya ket­ing­galan atau rusak, kalau hari biasa, kan ramai maha­siswa yang print tugas atau skrip­si,” ungkap Hasy­im Asari, pemi­lik Arif Print.

Di bidang lain, Sis­no Sutris­no seo­rang pen­jual kayu dan pemi­lik kan­tin, juga berjualan atribut PBAK. Ia sudah men­jual atribut PBAK sejak tahun 1996 den­gan tetap mem­per­ta­hankan pen­jualan non-daring. 

Menu­rut Sis­no, har­ga cap­ing dari tengku­lak mula-mula Rp 5.500, akan tetapi pada momen PBAK men­ja­di Rp 8.500, dan dijual den­gan har­ga Rp.12.000. Semen­tara har­ga ben­dera yang mula-mula Rp 6.000 dari tengku­lak, kemu­di­an dijual Rp 10.000. “Per­nah saya men­jual ben­dera hanya den­gan untung Rp 700, itu pun men­jahit sendiri. Cap­ing saja har­ga Rp 12.000, masih ditawar Rp 10.000, pada­hal belum biaya cat dan tena­ganya,” tutur Sisno. 

Sis­no mem­pro­duk­si atribut PBAK den­gan modal prib­a­di, bahkan bam­bu-bam­bu kun­ing yang dijual juga ditanam olehnya sendiri. “Keun­tun­gan saya per­oleh biasa-biasa saja, apala­gi tahun ini, san­gat menu­run. Itu kare­na orang dalam yang men­jual ulang barang bekas, sebaiknya bisa diberikan ke fakir/tani seper­ti saya. Kalau men­jual bekas itu tidak etis, sebaiknya mem­be­li yang baru. Ben­dera pula seharus­nya dialokasikan ke masyarakat atau ke pon­dok, bukan malah didaur ulang yang merugikan war­ga,” tuturnya.

Sudah men­ja­di tra­disi di hari ter­akhir PBAK insti­tut untuk mem­bawa tumpeng, sehing­ga para pen­jual tumpeng mem­pro­mosikan dagan­gan­nya, baik lewat media sosial maupun bro­sur-bro­sur yang ditem­pel di area kam­pus. Namun, tahun ini tak semua pen­jual tumpeng merasa diuntungkan. 

Yati seo­rang pen­jual goren­gan, nasi, sekali­gus tumpeng di Desa Plosokan­dang yang sejak lama sudah mengge­lu­ti usa­hanya men­gaku merasa diun­tungkan den­gan adanya PBAK. Bu Yati hanya mem­bu­at tumpeng saat ada pesanan saja, sedan­gkan untuk har­ga ter­gan­tung bera­pa por­si orang yang mengkon­sum­sinya. “Saya men­da­p­atkan untung Rp  50. 000 per tumpeng, kali ini saya men­da­p­atkan satu pesanan tumpeng. Menu­rut saya labanya cukup terasa,” ungkap­nya.

Di lain sisi, salah seo­rang war­ga Plosokan­dang yang tidak mau dise­butkan namanya, merasa rugi ter­hadap PBAK tahun ini, pasal­nya ia sudah men­da­p­atkan banyak pesanan dan pada akhirnya dibatalk­an begi­tu saja. “Usa­ha saya tidak mulus begi­tu saja, saya menden­gar bah­wa SC (Steer­ing Com­mit­tee, Red.) meng­han­dle pesanan tumpeng, sehing­ga banyak yang ter­lan­jur pesan mem­bat­alk­a­n­nya. Saya sudah menyi­ap­kan banyak bahan-bahan masakan, namun malah dican­cel, seba­gai pen­gusa­ha saya merasa dirugikan,” ujarnya.

May­ori­tas Maba yang men­da­p­atkan infor­masi dari SC berang­ga­pan, bah­wa mere­ka wajib meme­san tumpeng pada pani­tia. “Kelom­pok saya mem­be­li tumpeng 3, yang 2 mem­be­li di pani­tia, dan yang 1 pesan di luar. Intruk­si dari pani­tia awal­nya mewa­jibkan mem­be­li dari pani­tia insti­tut, namun sete­lah ada kom­plain dari P/IP pani­tia memu­tuskan bah­wa jika sudah ter­lan­jur mem­be­li di luar, diperke­nankan,” tutur Mangkoe, Maba juru­san Akun­tan­si Syariah. 

Sama hal­nya den­gan Mangkoe, salah seo­rang Maba dari juru­san Per­bankan Syari­ah men­gungkap­kan, bah­wa kelom­poknya sudah meme­san tumpeng sebelum pani­tia menyam­paikan pengu­mu­man terkait peme­sanan tumpeng. Alhasil, kelom­poknya sep­a­kat mem­bat­alk­an pesanan tumpeng sebelum­nya dan meme­san kepa­da panitia.

Menang­gapi per­masala­han tumpeng yang sim­pang siur, Rokhim selaku SC penang­gung jawab materi dan per­lengka­pan melu­ruskan, “Ada miss-komu­nikasi antara pani­tia den­gan Maba dan P/IP, bah­wa sebe­narnya pani­tia tidak mewa­jibkan untuk meme­san tumpeng di pani­tia. Pani­tia hanya men­jem­bat­ani agar mem­per­mu­dah peme­sanan. Pada akhirnya juga kami alokasikan untuk dipesankan ke masyarakat sek­i­tar, mis­al­nya ke Mak Har dan Mak Ana, jika sudah pesan tidak apa-apa.”

PBAK memi­li­ki per­anan dalam per­putaran ekono­mi masyarakat sek­i­tar kam­pus. Hal ini memu­nculkan per­sain­gan pasar antar berba­gai pihak yang melek akan pelu­ang bis­nis yang dap­at men­gun­tungkan atau bahkan seba­liknya. [Nat, Tan, Del, As, & Sad]