Dimensipers.com — Hujan deras yang mengguyur akhir-akhir ini menimbulkan berbagai permasalahan. Perubahan iklim memang membuat derasnya curah hujan tinggi yang memengaruhi debit air dan mengakibatkan banyak genangan. Selokan, sungai, maupun seluruh sistem drainase lain meluap yang menjadikan banjir. Tapi itu bukan berarti banjir tidak bisa diantisipasi. Minimal, kedatangannya harus bisa diprediksi, penanganan terhadap dampak yang terorganisasi, dan surutnya lebih dipercepat.
Di Insititut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung sendiri, hampir setiap hari genangan air meluap dari selokan menuju ke jalan, parkiran, lapangan, sampai pada teras Gedung K.H. Saifuddin Zuhri ikut tergenang karena curah hujan deras. “Kalau itu saya biasanya menjumpai di lapangan utama, di leter L, dan yang paling parah itu halaman Gedung Saifuddin Zuhri. Nah, itu biasanya sekitar satu jengkallah,” ujar Rizal Mustofa selaku mahasiswa jurusan Hukum Ekonomi Syariah.
Mahasiswa banyak yang mengeluhkan terkait genangan air atau banjir ini. Karena mengganggu aksesibilitas dalam menuju gedung tertentu. “Bingung aku Mas, golek dalan seng gak enek banyune (cari jalan yang tidak ada airnya, red),” ujar Diki Candra Kirana selaku mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia.
Selain aksesibiltas, ada keluhan lain dari mahasiswa. Vebrilia Trisnawati mahasiswa Psikologi Islam, mengeluhkan setelah melewati genangan air. Dia sering mengalami gatal-gatal di kaki yang mengganggu kenyamanan belajar. “Sangat mengganggulah Kak, bagaimana mau fokus belajar kalau sibuk garukin kaki, sibuk bersihin celana, sibuk mikir nanti pulangnya bagimana?” tegasnya.
Menurut Prasetya, Supervisor cleaning service mengatakan bahwa penyebab meluapnya air adalah kotoran. Yakni sampah-sampah kecil seperti plastik dan sisa makanan kebanyakan ditemukan di selokan. Namun hal ini dibantah oleh Imam Muthalib, selaku Kepala Bagian (Kabag) Umum. Ia mengatakan kampus sudah selesai dengan masalah sampah.
Manajemen pengelolaan regulasi air yang menjadi permasalahan utama. Selokan di kampus yang dinilai hanya mengandalkan daya resap air dibanding dari sistem pengairannya itu sendiri. Juga muara air yang kurang, yang hanya mengandalkan satu muara air, yaitu di belakang Gedung Stasiun. Sedangkan kuantitas air yang banyak tidak mampu tersalurkan langsung ke pembuangan sehingga meluap.
“Sepengetahuan saya ya, sebenernya cuma selokan-selokan. Selokan di kampus ini semua palsu. Karena tidak ada tempat pembuanganya. Cuma di setiap gedung itu ada selokan, tapi contoh Gedung UKM ini tidak ada pembuangannya. Jadi, keringnya (itu karena) proses peresapan ke tanah. Kalau gedung-gedung yang lain itu ada pembuangan setahu saya, tapi timurnya Gedung Stasiun (ada). Ya memang, wajar musim hujan akhirnya banjir. Kalau ngomongkan soal irigasi (drainase, red) paling tidak sungailah, sungai anakan kecil kalau arah pembuangan. Tapi ya tak tau lah mungkin tak kuat,” ujar Alvin Sukmana, Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Himalaya IAIN Tulungagung.
Muara yang kurang cukup untuk mewadahi kuantitas air yang akan dialirkan ke pembuangan, dipaparkan lebih jelas lagi oleh Imam Muthalib, selaku Kepala Bagian Umum, “Sebenarnya kita itu sudah berupaya untuk mengadakan saluran itu, hanya saja baru satu titik yang kita punya. Di sebelahnya kampus yang bagian mepet dengan yang sekarang disebut stasiun itu. Di baratnya itu, saluran kita yang bisa menembus rel kereta api lalu ke sungai di utaranya rel. Itu tidak salah tahun 2004. Kita mau nambah lagi tapi prosesnya tidak mudah. Tahun 2017 itu kita sudah menembusi semua bagian, termasuk sudah ke jakarta karena itu kan wewenangnya ada di pusat, di PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api). Jadi untuk mengantisipasi itu sampai dengan Pak Rektor menyuruh mengadakan embung (kolam besar) di timur Gedung Stasiun itu. Itu antara lain untuk menampung air yang sebanyak itu,” ujar Imam Mutalib.
Permasalahan mengenai drainase sudah menjadi persoalan lama yang terus diupayakan oleh kampus, sejak 2004 kampus sudah mempunyai satu jaringan drainase bawah tanah yang langsung menembus rel kereta api dan mengarahkan debit air langsung ke aliran sungai. Pada 2017 kampus kembali mengupayakan pengeboran bawah tanah untuk membuat satu lagi drainase bawah tanah, namun kampus gagal merealisasikannya, karena terbentur kendala di PJKA.
Belum lancarnya drainase dengan hanya mengandalkan satu muara, membuat kampus terus berupaya untuk menanggulangi permasalahan banjir ini. Salah satunya dengan membangun embung sebagai wadah tampungan air sementara yang kemudian tetap dialirkan kembali ke muara akhir dan itu hanya ada di belakang Gedung Stasiun. Namun, sampai saat ini, solusi tersebut belum bisa menangani banjir yang ada di kampus.
Reporter: Syafiul Ardi & Bayu Galih
Penulis: Syafiul Ardi
Redaktur: Rifqi I.F.
Memperbesar kemungkinan pada ruang-ruang ketidakmungkinan.
Mantap Lur, sangat mengganggu dan meresahkan warga kampsus, khususnya mahasiswa.
mantap looorrr… Membuat resah semua mahasiswa.