Dimensipers.com – Ming­gu (15/03/2020), sem­i­nar nasion­al yang diadakan oleh PC IPNU IPPNU Tulun­ga­gung di aula Gedung Pas­casar­jana IAIN Tulun­ga­gung men­gangkat tema “A Nation­al on Con­tem­po­rary Gen­der Issue”. Acara ini dilatar­be­lakan­gi oleh kekhawati­ran Indah Khoirun­na­da, Ket­ua PC IPPNU Tulun­ga­gung, yang menu­rut­nya gen­der san­gat pent­ing untuk diangkat. Sem­i­nar ini bertu­juan untuk mematahkan mind­set-mindset bah­wa laki-laki lebih supe­ri­or diband­ing perem­puan, den­gan meng­hadirkan beber­a­pa pema­teri: Kalis Mar­diasih  (Fasil­i­ta­tor gen­der jaringan nasion­al GUS­DURi­an), Siti Khus­nul Kho­timah (ket­ua PC Fatay­at NU Tulun­ga­gung), Choir­ul Mubtadi’in (Ket­ua PW IPNU Jawa Timur), dan Dr. Iffatin Nur (Kapro­di Mag­is­ter HKI Pas­casar­jana IAIN Tulungagung).

Dalam acara terse­but, Kalis Mar­diasih men­je­laskan ten­tang pan­dan­gan­nya ter­hadap gen­der.  Diawali den­gan pema­paran­nya yang menyeng­gol kebi­asaan masyarakat Indone­sia sehari-hari. Bah­wa kita ser­ing meli­hat dan menden­gar orang tua berka­ta bah­wa perem­puan seharus­nya memasak, menya­pu, men­cu­ci baju, dan men­gu­rusi rumah. Sedan­gkan laki-laki bek­er­ja men­cari nafkah dan berhubun­gan den­gan hal-hal yang bersi­fat ekster­nal. Dari kecil kita sudah ditanamkan cara berpikir bah­wa uru­san ekster­nal adalah ranah laki-laki, dan uru­san domestik adalah ranah perempuan. 

Jadi sebe­tul­nya peker­jaan-peker­jaan itu tidak pun­ya jenis kelamin, gitu kan. Peker­jaan peker­jaan itu tidak maskulin juga fem­i­nim, sifat­nya netral. Tetapi masyarakat mem­bu­at­nya seo­lah-olah peker­jaan itu ada jenis kelamin­nya, ada gen­dernya,” kata Kalis. 

Kalis menan­daskan bah­wa dari kecil kita sudah ditanamkan cara berpikir bah­wa uru­san ekster­nal adalah ranah laki-laki, dan uru­san domestik adalah ranah perem­puan. “Jadi sebe­tul­nya peker­jaan-peker­jaan itu tidak pun­ya jenis kelamin, gitu kan. Peker­jaan peker­jaan itu tidak maskulin juga fem­i­nim, sifat­nya netral. Tetapi masyarakat mem­bu­at­nya seo­lah-olah peker­jaan itu ada jenis kelamin­nya, ada gen­dernya,” lanjutnya.

Cara pan­dang yang sudah ditanamkan sejak kecil yakni cara pan­dang patri­ar­ki tidak hanya merugikan perem­puan, melainkan juga laki-laki. Con­toh kasus seper­ti laki laki yang men­gala­mi putus cin­ta, kare­na diang­gap tidak mam­pu oleh calon mer­tua. Ini juga meru­pakan fak­tor dari keti­dak­se­taraan gen­der. Laki-laki tidak diang­gap seba­gai sub­jek manu­sia yang utuh, melainkan diben­dakan. “Cara pan­dang dunia patri­arkal meman­dang laki-laki itu itu harus selalu kuat, tidak boleh jatuh, tidak boleh nangis. Nangisan itu manu­si­awi, gak ada gen­dernya gitu. Ngeluh itu manu­si­awi, gak ada gen­dernya,” imbuhnya.

Siti Khus­nul Kho­timah, selaku pema­teri ked­ua men­je­laskan perbe­daan gen­der den­gan seks. Banyak orang awam salah paham terkait perbe­daan gen­der dan seks dan men­gang­gap ked­u­anya adalah hal yang sama. Seks itu berangkat dari biol­o­gis dan seks itu pem­ber­ian Tuhan, artinya per­an seks tidak bisa diubah, kalau laki-laki seba­gai pro­duk­si sedan­gkan perem­puan seba­gai repro­duk­si. Sedan­gkan gen­der menu­rut­nya meru­pakan per­an sosial yang dikon­struk­sikan ke dalam budaya. 

Con­toh dari per­an gen­der seper­ti menya­pu, men­cu­ci, men­didik anak, mer­awat orang tua, bek­er­ja di luar rumah dan seba­gainya. itu semua per­an sosial, per­an yang bisa diubah dan bisa ditukar antara laki-laki dan perem­puan. Dia juga mema­parkan bah­wa tidak ada yang meny­atakan dalam Alquran bah­wa laki-laki der­a­jat­nya lebih ting­gi dari­pa­da perem­puan. Yang ada adalah bah­wa antara laki-laki dan perem­puan yang mem­be­dakan der­a­jat kemu­lian­nya itu adalah ketak­waan­nya. Ini meru­pakan pan­dan­gan­nya ter­hadap gen­der berdasarkan per­spek­tif agama.

Selan­jut­nya, kon­sep gen­der dalam per­spek­tif budaya dije­laskan oleh pema­teri Iffatin Nur. Bah­wa sebe­narnya kese­taran gen­der sudah ada
sejak dulu, tetapi tan­pa dis­adari banyak perem­puan yang memainkan per­an gan­da (dou­ble role). Perem­puan men­jalankan dua per­an sekali­gus, ibu rumah tang­ga dan wani­ta karir. Den­gan kesi­bukan yang padat hal terse­but mem­pen­garuhi emosi ter­hadap anak. Hal ini dikare­nakan adanya per­an gan­da. Keja­di­an seper­ti ini yang selalu dirugikan adalah perempuan. 

Ia men­gungkap­kan bah­wa kita hen­daknya men­cari pasan­gan yang mam­pu men­ja­di part­ner, dalam art­ian sal­ing bek­er­ja sama dalam men­gu­rus rumah tang­ga. “Kalau kita tidak memu­tus mata rantai dari dalam diri, dari dalam kelu­ar­ga, kita tidak bisa. Memu­tuskan mata rantai bias gen­der kemu­di­an dou­ble role itu ya harus dari diri sendiri,” ujarnya.

Cara memu­tus mata rantai terse­but dim­u­lai den­gan men­gubah stereotip ten­tang gen­der kepa­da kelu­ar­ga. Meskipun tidak lang­sung secara glob­al, seti­daknya perem­puan dap­at memu­tus mata rantai bias gen­der yang ada di dalam kelu­ar­ga. “Gen­der itu bukan jenis kelamin tapi gen­der itu adalah budaya yang dicip­takan oleh masyarakat. Apa­bi­la budaya masyarakat ini tidak diubah dari diri sendiri, hal itu akan men­ja­di kebi­asaan. Kebi­asaan yang dilakukan beru­lang-ulang mes­ki itu salah maka akan diang­gap benar,” jelasnya.

Antu­sias para peser­ta sem­i­nar san­gat baik. Hal ini ter­li­hat pada banyaknya peser­ta yang men­ga­jukan per­tanyaan-per­tanyaan sep­utar masalah yang dis­am­paikan pema­teri dalam sesi tanya jawab. “Saya merasa puas dap­at mengiku­ti sem­i­nar ini kare­na isu yang seper­ti ini begi­tu pent­ing tetapi ada juga yang masih kurang, sela­ma sem­i­nar tidak begi­tu dis­ing­gung isu kon­tem­por­ernya seper­ti per­anan gen­der dalam ekono­mi, per­masala­han sekarang seper­ti omnibus law, buruh ker­ja, hal terse­but tidak diba­has dalam sem­i­nar, jadi ada yang kurang, tapi saya tetap merasa puas,” tang­ga­pan Nurani Soy­omuk­ti selaku peser­ta seminar. 

Sedan­gkan dari peser­ta lain juga men­gungkap­kan hara­pan­nya kepa­da teman-teman sete­lah mengiku­ti acara ini. “Hara­pan saya untuk teman-teman semua, baik laki-laki maupun perem­puan, bah­wasanya kita itu sama. Kita memi­li­ki hak yang sama dan kita tidak boleh mendiskrim­i­nasi orang-orang ter­ten­tu, baik laki-laki maupun perem­puan. Kita harus sal­ing bek­er­ja sama dan gotong roy­ong,” imbuh Nurisatin Nikmah yang juga seba­gai peser­ta seminar.

Reporter: Ni’am Khuro­tul Asna, Nata­sya Pazha Denan­da, Laila Muhib­bah
Penulis: Laila Muhib­bah
Edi­tor: Muham­mad F. Rohman