Kekerasan seksual sudah nyaris menjadi sarapan bagi berbagai pihak dengan latar belakang usianya masing-masing. Berapa banyak korban yang tertimbun oleh bermacam alasan dan problem terkait apa yang dialaminya dan tidak memiliki keberanian dalam menyelesaikan masalahnya lantaran tidak ada tindak lanjut dari pihak berwajib terhadap pelaku. Ada beberapa lembaga sosial yang dibuat khusus untuk menangani masalah kekerasan yang rentan dialami oleh perempuan, seperti Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan, Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), dan komunitas feminisme lainnya yang berkonsen terhadap kekerasan seksual, namun belum mampu memberikan titik terang terhadap jerat hukuman untuk pelaku kekerasan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dirumuskan dengan latar belakang meningkatnya korban pelecehan seksual dan tingginya pengaduan dari penyintas dari tahun ke tahun. Melansir dari tirto.id menilik catatan tahunan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2019 mereka mendapat 1277 aduan kekerasan, 944 berada di relasi personal, 291 di komunitas atau masyarakat dan 42 oleh negara. Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) yang paling menjadi sorotan Komnas Perempuan, karena trennya meningkat drastis dari tahun ke tahun. Yang paling banyak adalah ancaman penyebaran foto dan video porno korban.
Pada draft RUU PKS Pasal 3, tercatat poin-poin yang menjadi tujuan dibuatnya RUU ini, antara lain mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, dan menindak pelaku. Selain itu, RUU PKS juga akan mengatur soal rehabilitasi korban mengenai psikologis, medis serta ekonomi. Bahkan jika RUU PKS sudah disahkan, salah satu cara menanggulanginya adalah adanya pemberian materi penghapusan kekerasan seksual sebagai bahan ajar dimulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi (tirto.id). Dengan dirancangnya perundang-undangan PKS ini, diharapkan tindak kekerasan seksual memiliki payung hukum yang jelas bagi pelaku, karena selama ini belum ada tindak lanjut yang nyata dari pihak negara dalam menangani hal ini.
Berbagai upaya dilakukan oleh banyak parlemen dalam mengusulkan pembahasan khusus terkait penanganan pelecehan seksual secara bertahap dan sistematis, yang akhirnya berbuah RUU PKS. Namun, ada banyak problematika yang ikut mewarnai perkembangan RUU ini, diantaranya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru lebih berkonsen akan mengesahkan RUU MINERBA, RUU HIP, dan RUU lain yang belum ada urgenitasnya sama sekali. Melihat bahwa RUU PKS lebih banyak diharapkan saat ini agar segera memutus rantai pelecehan seksual dan panjangnya pembahsan mengenai RUU ini. Wakil rakyat seharusnya lebih mampu memfilter kepentingan pribadinya masing-masing dengan kepentingan publik.
Baru-baru ini, publik digegerkan oleh pencabutan 16 RUU dari daftar prolegnas prioritas 2020 yang didalamnya termasuk RUU PKS. Melansir dari kompas.com Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas menyampaikan alasan Komisi VIII mengusulkan dicabutnya RUU PKS dari prolegnas adalah karena menunggu pengesahan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Sebelumnya Marwan Dasopang selaku Wakil Ketua Komisi VIII juga memaparkan bahwa sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual. Masalah pemindanaan juga masih menjadi perdebatan. Menurutnya RUU PKS tidak mungkin selesai pembahasannya sampai Oktober 2020.
Sedangkan menurut Fraksi Partai Nasdem DPR RI menyayangkan keputusan Komisi VIII untuk mencabut Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari prolegnas prioritas 2020. Dilansir dari cnnindonesia.com, Taufik Basari selaku Ketua Kelompok Fraksi (Poksi) Partai Nasdem mengatakan bahwa RUU PKS pada awalnya diajukan ke prolegnas oleh fraksinya, namun dalam prosesnya RUU tersebut justru ditetapkan sebagai usulan Komisi VIII. Setelah terubahnya status RUU malah membuat RUU tidak berjalan. Sebagai pengusul RUU pertama, sangat menyayangkan mandeknya RUU tersebut. Taufik Basari juga berargumen jika RUU tetap ditetapkan sebagai usulan Partai Nasdem, pasti pembahasan akan lebih lancar karena pihaknya juga telah menyiapkan kajian lengkap terkait RUU itu. Meskipun RUU PKS akan dikeluarkan dari prolegnas, Taufik dan pihaknya berjanji akan memperjuangkan RUU PKS.
Hal terkait RUU PKS ini juga tidak terlepas dari perjuangan kaum perempuan untuk mencapai taraf kebebasan, atau minimal kesetaraan. Karena Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem patriarki. Sehingga kaum laki-laki mayoritas akan lebih diutamakan daripada perempuan. (Eka Kristining Rahayu, 2019:114) Kebebasan yang digaungkan juga masih akan berdampak pada sebuah pola bahwa pemerintah melakukan permainan politik, karena mereka yang memiliki kekuasaan pasti mempunyai kebebasan, atau biasa disebut otoriter. Tidak menutup kemungkinan ditariknya RUU PKS dari daftar prolegnas mengandung unsur keotoriteran. Padahal Blackburn telah menganalisis negara Indonesia terfokus pada kondisi sosial pergerakan perempuan dalam mengembangkan historinya. Organisasi perempuan sekuler juga telah banyak beroperasi, tinggal bagaimana pemimpin intelektualnya gencar mempromosikan pemberdayaan perempuan agar mampu lepas dari roda kekerasan ataupun pelecehan seksual.
Kesimpulan dalam bincang argumen yang dilakukan oleh beberapa pihak terkait RUU PKS memicu kesenjangan berpikir agar lebih mampu mengoreksi wakil rakyat. Di mana bentuk perjuangan rakyat terhadap kenyataan akan selalu terbantahkan oleh keotoriteran yang ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Karena pelecehan seksual tidak menutup kemungkinan dapat saja terjadi di bangku pemerintahan sendiri. Sangat jelas terpampang di depan mata bahwa kasus kekerasan seksual telah bekembang biak layaknya betina dan jantan. Tapi oknum-oknum yang bertanggungjawab terhadapnya menyatakan bahwa RUU ini dianggap sulit. Memang sulit, sulit menerka jalan fikiran para penguasa. Di mana asas kesejahteraan rakyat. Di Indonesia bahkan di luar negeri sekalipun sangat jarang ada ruang publik yang nyaman dan aman bagi perempuan.
Bermacam faktor bahwa perempuanlah yang menjadikan dirinya objek untuk dilecehkan, dinikmati atau sekadar menyenangkan para pelaku juga sudah pernah dibahas tuntas. Dengan embel-embel bahwa cara berpakaian wanita itu sendiri yang mengundang berahinya, padahal tidak ada yang salah dalam cara berpakaian atau tingkah laku perempuan. Terkait hak, perempuan berhak menentukan fashionnya masing-masing. Tidak sedikit korban yang dimangsa oleh pelaku berasal dari kalangan wanita berhijab. Yang bermasalah adalah bagaimana mata para pelaku menusuk habis korbannya, bukan apa yang disajikan perempuan di hadapan matanya,nafsunya, dan otak kentangnya.
Jika DPR memutuskan mencabut RUU PKS dalam daftar prolegnas, DPR seharusnya tidak lagi diperlukan oleh rakyat, lagi pula aspirasi yang diperjuangkan sejak lama oleh para penyintas tidak ada gunanya. Seperti halnya tersendatnya proses RUU PKS ini, seharusnya RUU MINERBA, RUU HIP dan lain sebagainya juga harus dihentikan. Bukankah di tengah pandemi ini RUU tersebut juga tidak sangat urgen untuk disahkan?
Penulis: Estu Farida L.
Redaktur: Rifqi Ihza F.