Tuan, aku perem­puan. Tan­pa alasan, tan­pa per­se­tu­juan, dan per­se­tan den­gan otori­tas maskulinitas.

Valen­tine baru saja berlalu di ten­gah-ten­gah musi­bah yang melan­da dunia. Kare­na semes­ta seper­tinya sedang bera­da dalam usia renta. Iya, per­ayaan yang (katanya) memi­li­ki sub­stan­si tersendiri bagi mere­ka-mere­ka yang mengami­ni hari kasih sayang ini, pada real­i­tanya meny­im­pan berba­gai per­tanyaan sekali­gus perny­ataan yang cukup memus­ingkan untuk sekedar dibicarakan. Men­ga­pa demikian?

Ter­lepas dari apa dan dari mana budaya ini berasal, yang lebih urgent untuk diba­has saat ini adalah men­ge­nai apa gen­der si Valen­tine ini. Begi­ni, pemiki­ran kebanyakan perem­puan, mere­ka harus men­da­p­atkan kasih sayang dari laki-laki. Entah bagaimana kon­struk yang dihadirkan laki-laki, kebanyakan perem­puan akan selalu menginginkan secuil pem­ber­ian dari kaum adam seba­gai sim­bolisme Hari Valen­tine. Peng­hara­pan perem­puan ter­hadap pem­ber­ian laki-laki ini­lah yang menim­bulkan per­spek­tif baru yang semakin mem­o­jokkan posisi perempuan.

Bukan soal apa-apa yang diberikan oleh di laki-laki, tapi soal men­ga­pa posisi perem­puan di sini san­gat lemah sekali. Ups, mak­sud­nya, perem­puan juga bisa mem­beri sesu­atu pada laki-laki, tidak harus mener­i­ma pem­ber­ian terus-menerus. Tapi naas­nya, kon­sep Valen­tine ter­man­i­fes­tasikan den­gan keter­gan­tun­gan perem­puan ter­hadap pem­ber­ian dari lawan kelamin­nya. Sehing­ga, perem­puan merasa tidak ber­daya dan tidak bergu­na jika tidak men­da­p­atkan pem­ber­ian. Ini­lah yang per­lu di koreksi.

Valen­tine tidak melu­lu harus dirayakan den­gan sebuah pem­ber­ian. Valen­tine tak bergen­der. Ia men­ja­di milik semuanya. Semua golo­gan bisa mer­ayakan­nya tan­pa pengecualian. 

Kalau mau sedik­it menggeser ori­en­tasi pola pikir men­ge­nai pen­gap­likasian Valen­tine yang sesung­guh­nya, perem­puan juga bisa, lho, kalau hanya sekedar mem­beri dan men­gasi­hi selayaknya yang dilakukan oleh laki-laki. Mis­al, pem­ber­ian uca­pan, cok­lat, buket bun­ga, atau yang lain sejenisnya.

Namun, perem­puan dalam hal ini men­gala­mi dua titik tumpu yang san­gat sialan untuk dibicarakan. Per­ta­ma, mere­ka telah terkon­struk oleh ketertin­dasan via perasaan dan keter­gan­tun­gan den­gan pem­ber­ian. Ked­ua, perem­puan dalam titik ini secara tidak lang­sung telah turut meren­dahkan dirinya sendiri hanya kare­na pem­ber­ian di hari perayaan.

Selan­jut­nya, pela­belan gen­der pada Valen­tine. Di mana kuasa laki-laki semakin men­dom­i­nasi dan secara tidak lang­sung men­ja­jah psikol­o­gis perem­puan. Rasa ingin diberi, diper­hatikan, dirayakan, dan lain sejenis­nya akan san­gat berpen­garuh pada psikol­o­gis perem­puan yang may­ori­tas akan merasa down jika tidak men­da­p­atkan apa yang diinginkan. Men­ga­pa demikian?

Hei, Kawan, fem­i­nisme tidak ser­ta mer­ta ada dan tum­buh aki­bat kesadaran perem­puan.  Kaum laki-laki seba­gai dom­i­nasi yang menim­bulkan adanya angga­pan bah­wa perem­puan selalu bera­da di bawah dan lemah juga dibu­tuhkan par­tisi­pasinya dalam pene­gakan kon­sep fem­i­nisme itu sendiri. Rasion­al­nya, jika laki-laki tidak turut memi­li­ki pemiki­ran ten­tang kebe­basan perem­puan, perem­puan akan tetap diin­jak dan tidak akan per­nah men­da­p­atkan kebebebasan.

Konsep yang ditawarkan oleh fem­i­nisme akan mem­bawa seti­ap manu­sia memi­li­ki kebe­basan yang sama, tan­pa cam­pur tan­gan latar belakang gen­der atau ori­en­tasi sek­su­al apapun, manu­sia memi­li­ki hak yang sama dalam kuasanya seba­gai sesama makhluk hidup.

Jadi, kita bisa menarik premis bah­wa laki-laki ataupun perem­puan mem­bu­tuhkan per­spek­tif baru dalam menga­malkan per­ayaan Valen­tine. Sehing­ga asum­si men­ge­nai gen­der pada Valen­tine dap­at dihi­langkan seir­ing den­gan perkem­ban­gan Valen­tine di tahun-tahun berikutnya.

Selan­jut­nya, terun­tuk perem­puanku di selu­ruh dunia. Semoga otak kita lekas baik-baik saja dari segala ketertin­dasan perasaan, pem­ber­ian, atau pen­gasi­han dari kaum adam.

Penulis: Estu Fari­da Lestari
Edi­tor: Ulum