Sedekah bumi kembali dirayakan masyarakat Pucanglaban pada tanggal 13 November 2020. Ritual ini dilaksanakan setiap awal musim cocok tanam, tepatnya perpindahan dari musim kemarau ke musim penghujan. Tempat pelaksanaan berada di makam keramat Mbah Trojiwo atau yang sering dikenal dengan sebutan Padepokan Punden Trojiwo, Dusun Apak Branjang, Desa Pucanglaban.
Ada beberapa observasi yang mengatakan bahwa makam tersebut sebenarnya merupakan pemukiman rumah kuno. Hal itu dibuktikan dengan adanya godong pedang-pedangan dan lumpang di pojokan punden.
Menurut cerita dari Tumijan selaku juru kunci punden, bahwasanya Mbah Trojiwo itu merupakan orang yang pertama kali babat alas Pucanglaban. “Mbah trojiwo niku tiyang pertama ingkang babat alas mriki. Asale tiyang niku keng mataram, kerono londo dewek e soyo ngetan soyo ngetan trus madepok teng tempat mriki, awal pertama seng di babat nggeh niki Pucanglaban”, jelasnya.
Ritual ini dimulai sejak terbentuknya Desa Pucanglaban, yaitu sekitar tahun 1904. Tujuan dari dilakukannya ritual ini adalah sebagai wujud permohonan kepada Tuhan Yanga Maha Esa agar bumi Pucanglaban diberikan tanah yang subur, hasil panen yang memuaskan, dijauhkan dari hama-hama tanaman, dan juga sebagai tolak-balak. Selain itu, ritual ini juga sebagai wujud syukur atas keamanan bumi Pucanglaban dari virus corona yang mewabah.
Acara ini turut mengundang muspika, koramil, kapolsek, perangkat desa, tokoh agama, sesepuh pini sepuh, dan seluruh masyarakat Pucanglaban. Runtutan acara dalam ritual ini dimulai dengan pembukaan, kemudian disusul dengan sambutan-sambutan.
Acara kemudian berlanjut dengan doa bersama, lalu disusul dengan hajatan selamatan (sedekah bumi) yang dipimpin oleh Juru Kunci Mbah Tumijan. Ritual ini diakhiri dengan pentas seni. Seni yang dipentaskan adalah seni jaranan sentherewe dari komunitas Seni Jaranan Tridho Taruna Pucanglaban.
Alasan dari adanya pementasan jaranan ini menurut Maduki selaku Lurah Pucanglaban adalah untuk melestarikan seni tradisi, selain itu memang seni jaranan adalah kegemaran dari Mbah Trojiwo.
Acara ini cukup meriah, karena selain pementasan seni jaranan juga ada makan bersama. Masyarakat membawa makanan dengan wadah lengkong, sebuah wadah dari pelepah pisang berbentuk kotak. Lengkong tersebut berisi nasi nasi lengkap dengan bermacam-macam seperti ayam goring, telur, mie, srondeng, sambal goring, tahu, tempe, urap, sambal goreng, dan lain-lain.
Setelah itu warga makan bersama-sama, membaur jadi satu tanpa ada batas sosial yang menghalangi. Harapan kedepannya untuk acara ini dari Maduki selaku Kepala Desa Pucanglaban adalah semoga tradisi ini tetap lestari, agar anak cucu kita nanti bisa ikut menikmatinya.
“Semoga di masa pemerintahan saya setidaknya dapat segera membangun panggung yang digunakan untuk pementasan seni jaranan”, tambahnya.
Penulis: Hamim Mustofa
Redaktur: Nifa Kurnia F.