Dari tahun ke tahun, jagat nusantara selalu digemparkan oleh kemurkaan alam yang maha dahsyat. Kedahsayatannya dapat dicamkan tatkala memasuki tahun baru. Fenomena ini berulang-ulang seperti tanpa akhir dengan bencana yang persis, seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, dan lain sebagainya.
Tentunya peristiwa tersebut tidak begitu saja turun dari langit. Ada sebab musabab atas segala bencana itu. Inilah mengapa perlunya menaruh perhatian lebih agar alam kembali bersahabat.
Rentetan bencana alam yang terus berkecamuk sepanjang tahun 2015 hingga 2021 menjadi tahun-tahun yang penuh isak tangis. Bangunan-bangunan luluh lantak, nyawa-nyawa meninggalkan jasadnya, dan terbitlah pemandangan yang memilukan. Lantas, bisakah aksi-aksi penggalangan dana dapat mengompresnya? Siapa dalang dibalik kerusakan ini?
Ya, aksi tersebut dapat menyelamatkan para korban dari kerusakan sementara. Dan tanggapan ini bisa jadi benar, bisa jadi salah, bahwa penguasa sebagai pelaku sembunyi tangan yang tidak berani jujur. Mereka cenderung lebih menyukai hal itu daripada aksi-aksi yang mengecam status quo.
Pada umumnya kebanyakan orang mungkin akan menganggap fenomena tersebut sebagai gejala alami belaka. Mereka bahkan enggan tergerak untuk mencari tahu bagaimana kebenarannya. Kalaupun ada yang mencari tahu, pasti ia hanya mendapatkan berita “bencana alam” dari media-media mainstream.
Padahal hampir seluruh media itu mewakili kepentingan penguasa. Apa-apa yang buruk, maka akan dipertontonkan sedemikian rupa. Apabila itu baik, maka akan dilebih-lebihkan seperti drama. Sungguh arus media massa telah menggiring opini publik terkait bencana alam, bukan karena ekosistem alam tak seimbang akibat eksploitasi alam yang membabi-buta.
Para kaki tangan bayaran mereka, yang berada dalam kantor-kantor media, lembaga-lembaga pendikan, bahkan tokoh publik sekalipun dengan segala daya upaya menciptakan ilusi sesuai pesanan donaturnya. Hal yang demikian dibuat agar masyarakat luas tidak menyadari bahwa sistem penguasa yang kapitalis adalah biang keladi dari semua tragedi. Bagaimana tidak, kekayaan alam yang semula melimpah ruah, setapak demi setapak telah dirongrong walau membawa konsekuensi menghancurkan.
Penguasa tanpa ampun melegalisasi penebangan hutan untuk pertambangan dan perkebunan, sebagaimana Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Hal yang demikian juga serupa dengan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Kedua kebijakan itu nyatanya dihidangkan untuk siapa kalau bukan untuk melayani tuannya, investor. Toh, penguasa lumpuh ketika berhadapan dengan pemodal.
Menurut data indeks Human Devt Report 2019, “Planet Bumi menghijau dalam 20 tahun terakhir, berkat penghijauan (forestasi) di China dan India. Sementara Indonesia mengalami penggundulan (deforestasi) masif. Keadaan hutan atau daratan Indonesia yang sebelumnya 50,24% forestasi menjadi 23,23% deforestasi.”
Di bawah kapitalisme, apa saja dapat diubahnya menjadi komoditi, termasuk eksploitasi alam yang membabi-buta sampai keseimbangannya yang lenyap. Dalih untuk memenuhi aktivitas pembangunan, memenuhi kebutuhan produksi yang tak terencana, semata hanya untuk meraup profit sebanyak-banyaknya, tanpa mempertimbangkan keberlangsungan hidup dalam waktu jangka panjang. Alhasil, tidak adanya keseimbangan ekosistem adalah teror tanpa akhir.
Inilah bencana sesungguhnya. Ia mengancam lingkungan hidup seisinya. Hingga kebobrokan sistem penguasa yang terekspos lewat bencana alam tak kan ada habisnya.
Satunya-satunya cara yang dapat menanggulangi bencana alam ialah dengan menggunakan sistem ekonomi terencana yang mendasarkan dirinya pada kebutuhan manusia. Secara terorganisir kekayaan alam akan dikelola bersama. Tak lupa, semua orang juga perlu saling bekerja sama demi pemenuhan kebutuhan seluruh umat manusia.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang semata berorientasi profit, yang mana keseimbangan ekosistem alam dirusak atas kepemilikan pribadi dan persaingan menjadi monopoli. Naasnya, distribusi kekayaan semakin terkonsentrasi pada segelintir orang saja. Kapitalisme telah menciptakan neraka di atas bumi.
Oleh karenanya sistem yang kehilangan progresifitasnya sama sekali tak cocok dalam perkembangan masyarakat. Yah, meskipun para ekonom-ekonom kapitalis tetap bersikeras menyangkal bahwa bencana alam yang terjadi merupakan konsekuensi tak terelakkan dari bencana sistem itu sendiri. Mengenaskan!
Penulis: Rimba Krupsjaya
Editor: Ulum