Kema­t­ian Datang Secepat Angin

Hari ini, nan­ti, kemu­di­an hari

umur kema­t­ian cepat mela­hap seru­pa api

yang pulang tak lagi sem­pat pamit

hidup per­la­han makin terjepit

Tak jarang peker­ja berjuang sedari pagi

tapi malam­nya, nyawa tak ter­to­long lagi

siaran kema­t­ian dan sirine ambu­lans bergant­ian tia­da henti

nisan-nisan tak sem­pat lagi dinamai

tak bisa kau temui orang terkasih­mu ter­akhir kali

Vaksin, masker, hand san­i­tiz­er, dan imun boost­er

adalah pelin­dung dari virus-virus monster

pasien, suster, dan dok­ter seakan ingin melambai

kalang kabut hadapi pan­de­mi tak kun­jung usai

Kini, kema­t­ian datang secepat angin

yang tiap hari menggiring

men­er­pa bergugu­ran dedau­nan kering

Juang Tengge­lam

Puisi  terin­spi­rasi dari nov­el Laut Bercerita

Tidak ada yang lebih mem­ba­ha­giakan dari hidup pemu­da yang gigih berjuang den­gan ide­al­isme sejati. Mere­ka ter­didik dari doron­gan piki­ran sendiri, dari buku-buku yang diang­gap kiri. Satu, berd­ua, berli­ma, atau bera­pa pun kawan, bersama tak men­gu­ran­gi kehen­dak melawan,

keke­ja­man 98 yang seakan berlom­ba mem­bunuh per­la­han. Tetap tak men­gu­ran­gi gairah pemu­da yang berapi lan­tas padam. Kead­i­lan seper­ti bukan lagi hal pent­ing pen­guasa. Meng­ganyang nyawa jadi delik mis­teri tak kenal rugi. Mere­ka yang kehi­lan­gan meny­im­pan den­dam berlipat,

yang kemu­di­an mela­cak jejak untuk men­cari sela­mat lan­tas tak dap­at. Luka darah mewan­gi. Jasad kubur tiba tengge­lam di palung terdalam. Mere­ka yang mati jadi bun­ga api. Aba­di. Seper­ti sajak Chair­il yang haru menyala, “Sekali berar­ti, sudah itu mati”.

Déjà vu

Ber­jalan, berlari

berjumpa ia den­gan perasaan nyaris din­gin damai

lima tahun berselang

seper­ti angin berhem­bus meng­goyang sarang

Segala ia rasa

seper­ti per­nah jumpa tapi entah

seper­ti per­nah rasa tapi tak tahu

wahai, adakah ia

yang berke­lin­dan menyusup raga sukma

Sedang merasa apa?

rasa ragu tak hen­tak berlalu

serius ia mem­bu­ka kamus

buka tut­up buku

tak jua jumpa jawabnya

Seo­rang filosof Per­an­cis berkata

            “ia déjà vu. Déjà vu: fenom­e­na dua waktu”.

Matanya memic­ing, tak bergeming

ia meng­gan­guk

mem­biarkan déjà vu melu­ap dalam ingatan­nya berlalu juga tak tentu.

Penulis: Asna
Redak­tur: Nata­sya

Orang bodoh tak kun­jung pandai.”