UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dalam tahun 2024 ini akan dinilai akreditasinya oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang merupakan bagian dari Instrumen Akreditasi Program Studi (IAPS) versi 4.0. IAPS 4.0. Disusun guna memenuhi tuntutan peraturan perundangan terkini, dan sekaligus sebagai upaya untuk melakukan perbaikan berkelanjutan dan menyesuaikan dengan praktik baik penjaminan mutu eksternal yang umum berlaku.
Pihak UIN SATU Tulungagung terinspirasi dari hal tersebut dengan mencoba membuat semacam akreditasi yang ditujukan kepada Organisasi Mahasiswa (ormawa) di UIN SATU Tulungagung seperti; DEMA U, DEMA F, SEMA F, UKM, UKK. Penilaian ini bertujuan agar ormawa semakin produktif dan inovatif dalam melaksanakan program kerja kedepannya. Jika ada salah satu ormawa yang akreditasinya dinilai buruk, maka ormawa tersebut harus siap dipotong DPP, dan yang paling buruk dibekukan. Uniknya, dalam penilaian akreditasi ormawa ini yang melakukan tugas penilaian ormawa adalah SEMA UIN SATU Tulungagung yang juga merupakan ormawa. Sementara untuk SEMA U, mendapat penilaian akreditasi secara langsung dari kampus.
Dalam melaksanakan tugas monitoring dan akreditasinya, agar lebih memiliki legitimasi hukum, SEMA U juga telah mengesahkan 4 Peraturan Mahasiswa (Perma) tahun ini. Kedepannya SEMA U berencana akan mengesahkan beberapa PERMA yang masih dalam proses legislasi mahasiswa (prolegma)
Diantaranya yang baru disahkan ialah Peraturan Mahasiswa (PERMA), Peraturan Pembuatan Peraturan (PPP) No. 03 Tahun 2024, dan Peraturan Pengawasan (PP) No. 04 Tahun 2024 di Gedung DPRD Tulungagung. Setelah disahkannya Peraturan Mahasiswa No. 3 tentang peraturan pembuatan peraturan dan No. 4 tentang pengawasan, diharapkan SEMAU bekerja sesuai dengan UU telah disahkan. Ormawa di UIN SATU Tulungagung juga diharapkan lebih berhati-hati dalam menjalankan kegiatannya, karena berada dalam pengawasan SEMA U.
Pengetatan terhadap Ormawa kampus yang dilakukan oleh SEMA U tersebut merupakan tindak lanjut dari pihak kampus yang mengambil inspirasi dari akreditasi kampus oleh BAN-PT. Tujuan dari Akreditasi ormawa ini adalah supaya ormawa di UIN SATU lebih produktif dan transparan sehingga tidak terdapat lagi manipulasi ketika melaksanakan acara atau dan rancangan anggaran belanja (RAB).
Namun, Apakah manipulasi di perguruan tinggi hanya dilakukan oleh ormawa? Bagaimana dengan birokrat kampus (rektor dan jajarannya)?
Transparansi Perguruan Tinggi
Keterbukaan informasi publik kerap menjadi masalah di institusi pendidikan maupun lembaga negara. Di ranah perguruan tinggi, kampus berkewajiban memberikan hak atas informasi publik. Dalam penerapannya, perguruan tinggi seharusnya memiliki keterbukaan terhadap publik.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 48 menyebutkan Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Di satu sisi transparansi keuangan dapat meningkatkan kepercayaan kepada suatu instansi diantaranya mahasiswa, orangtua mahasiswa, masyarakat maupun seluruh civitas akademika melalui penyediaan yang mudah diakses, akurat dan secara berkala.
Transparansi dalam wilayah perguruan tinggi sudah sepatutnya menjadi kewajiban kampus karena perguruan tinggi termasuk dalam badan publik. Secara perundang-undangan hal tersebut sudah diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tahun 2008 pasal 9 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Setiap Badan Publik wajib memberikan Informasi Publik secara berkala. Lalu pada ayat 2 poin C menyebutkan informasi mengenai laporan keuangan sudah selayaknya hak publik.
“PTS selama dia mendapat sumbangan masyarakat, bantuan APBN/APBD, bantuan luar negeri itu mereka tetap terikat, semisal mereka mendapat dana riset dari kemenristekdikti itu kan dari APBN/APBD ya mereka sudah wajib terikat atau ketika teman-teman masuk daftar kampus swasta dan teman-teman membayar uang pangkal (red-biaya SPP) itu dia sudah terikat dengan UU KIP,” seperti diungkapkan Egi Primayogha peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam diskusi Hari-Hari Tanpa Transparasi: Kondisi Keterbukaan Informasi di Tengah Pandemi diselenggarakan Lokataru Foundation, Kamis (26/11).
Terkait hal di atas juga diperkuat pada UU Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 tentang Akuntabilitas Perguruan Tinggi pasal 78 ayat 1 menyatakan bahwa Akuntabilitas Perguruan Tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban Perguruan Tinggi kepada Masyarakat yang terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas nonakademik dalam pasal tersebut juga menerangkan bahwa Laporan tahunan akuntabilitas Perguruan Tinggi dipublikasikan kepada Masyarakat.
Transparansi dalam pengelolaan keuangan kampus atau universitas telah menjadi kewajiban kampus secara perundang-undangan. Masihkah transparansi dana tidak etis jika diberikan kepada mahasiswa.
Jika ingin meniru dari kampus lain, Universitas Muhammadiyah Surakarta sudah terdepan dalam hal transparansi. Dalam laman keu.ums.ac.id Penerimaan LPJ Keuangan, dijelaskan bahwa sebagai salah satu bentuk akuntabilitas publik, semua anggaran cair harus dilaporkan penggunaannya. Laporan pertanggungjawaban (LPJ) keuangan disampaikan oleh unit terkait melalui 2 pintu: secara online melaporkan detail item cost beserta biayanya, dan menyerahkan bukti fisik penunjang ke Biro Keuangan. Dalam 1 tahun anggaran (Juli – Juni tahun berikutnya), penerimaan LPJ keuangan dibatasi sampai dengan tutup buku tahun angaran, yaitu akhir Juni.
Arip Yogiawan dari Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam diskusi “Menalar Kebijakan Kampus Dan Sekolah Pada Masa Pandemi” yang diselenggarakan oleh BEM Republik Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), mengatakan dalam UU KIP tahun 2008 pasal 17 ada beberapa informasi yang dikecualikan dan ada beberapa informasi bisa diakses. “Artinya kalo teman-teman informasi itu tidak dikecualikan bisa diakses oleh publik atau bahkan teman-teman punya kapasitas sebagai mahasiswa jadi secara legal standing posisi hukumnya kuat bisa mengajukan permohonan informasi,” jelasnyan kepada audiens.
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dijelaskan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh penyelenggaran layanan (termasuk perguruan tinggi) harus memuat standar pelayanan yang jelas, yang salah satunya memuat adanya transparansi terkait dengan adanya informasi beasiswa yang ditawarkan.
Ketika menelisik lebih dalam memperoleh informasi sudah dijamin pada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 F, yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kampus seyogyanya menjadi teladan dalam penerapan transparansi. Tidak hanya ormawa yang di perketat perihal transparansinya. Hal ini sangat penting mengingat korupsi di lingkungan kampus cukup meningkat. Seperti dilansir dari Koran Tempo (9/7/2020), kajian yang dilakukan ICW selama empat tahun dari 2015–2019 menemukan 202 kasus korupsi yang melibatkan 465 orang yang terjadi disektor pendidikan.
Dari jumlah kasus tersebut ICW menemukan lima modus dalam penggelembungan anggaran yakni pengadaan barang dan jasa, dana hibah, dana penelitian, anggaran internal perguruan tinggi, serta sumbangan pendidikan.
“Selain lima pola itu, masih banyak bentuk korupsi di perguruan tinggi. Suap untuk dapat nilai, korupsi dana beasiswa, suap untuk mendapatkan akreditasi sampai pemilihan pejabat di internal perguruan tinggi,” kata peneliti ICW, Siti Juliantri.
Kasus-kasus korupsi di PT maupun PTS harusnya menjadi pelajaran penting bagi kampus lain dalam penerapan informasi untuk publik. Minimnya transparansi dan berbelitnya memperoleh informasi akan memicu dugaan kemana dana tersebut dialokasikan.
Adanya korupsi dalam perguruan tinggi, adalah imbas dari tertutupnya partisipasi mahasiswa dalam proses pengelolaaan kampus. Transparansi merupakan salah satu contohnya. Lantas, mahasiswa dituntut untuk menerima apa yang mereka peroleh dan mematuhi apa yang mereka terima. Dengan begitu mahasiswa dipaksa sekedar menjadi hewan di peternakan mahasiswa, yang dihisap uangnya, diabaikan partisipasinya, dan berakhir menjadi tenaga kerja setelah lulus
Penulis: Wildan
Redaktur: Zulfa
Editor: Novinda