Manuskrip negeri telah mati
Di balik jeru­ji besi
Maha­siswa gelar aksi
Men­er­o­bos celah men­tri
Orasi sana-sini
Ditem­ba­ki tubuh tan­pa dosa, pulang ting­gal nama
Berko­bar­lah payung hitam di depan istana
Lalu bagaimana bisa trage­di hilang dari sejarah negeri?

Asap mem­bum­bung ting­gi di balik lan­git negeri
Ser­dadu buas menim­puk mere­ka yang tetap kokoh berdiri
Hing­ga tun­tu­tan refor­masi dii­jabahi
Bersama-sama men­datan­gi petani, juga buruh negeri
Jan­ji akan menyusun strate­gi, mengem­ba­likan yang telah diram­pas
Dan yang telah diba­bat habis tan­pa rasa manu­si­awi
Tak apa dituduh golon­gan kiri
Siap meng­hadapi kon­sekuen­si, bahkan jika dihi­langkan dan tak kembali

Hari itu meng­ham­piri, dalam daf­tar mer­ah
Kami diburon bak pen­ja­hat kelas kakap
Keti­ka salah satu ter­tangkap, kami ditanyai
Sia­pa yang mem­bi­ayai aksi, atau sia­pa ket­ua kon­fer­en­si
Hari-hari berlalu pilu, tak ingat lagi bagaimana cara mer­awat diri, atau menyem­buhkan trau­ma dalam hati
Sam­pai tak ingat bagaimana kami mati
Tau-tau telah mening­galkan negeri

Dalam dekap payung hitam
Tetes hujan berden­dang lugu
Pada budak cin­ta yang men­cari kekasi­h­nya
Juga pada bapak yang menung­gu kepu­lan­gan anaknya
Dan pada adik yang coba mengikhlaskan pen­juan­gan sang kakak
Mere­ka berbisik
“Bagaimana nasib kelu­ar­ga kami”
“Jika hidup di man­akah ia”
“dan jika mati di mana kuburannya”

Penulis: Fifi Farikhat­ul M.
Edi­tor: Novinda