Tahun 2019 merupakan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Universitas Islam Negeri (UIN) Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung. Saat itu kampus masih menyandang statusnya sebagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung. Dua tahun berselang kampus telah mengganti statusnya menjadi UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Kenaikan akreditasi kampus berbanding terbalik dengan gerakan mahasiswa yang malah menjadi layu.
Saya ingat saat tahun pertama memasuki kampus suasana penuh gejolak semangat mahasiswa yang kental. Hampir setiap sudut kampus selalu ada isu yang bisa dibahas oleh mahasiswa. Tempat yang menjadi tongkrongan mahasiswa untuk berdiskusi berupa area gedung stasiun lama di bawah gazebo dan pohon beringin.
Kebiasaan Mahasiswa berdialog selalu saja menumbuhkan wacana. Salah satu cerita yang masih saya ingat terjadi pada tahun 2015. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin adab dan Dakwah (FUAD) menolak perpindahan ruang kelas dari gedung stasiun lama ke gedung pasca sarjana. Gebrakan mahasiswa FUAD dan gabungan beberapa Organisasi mahasiswa (ormawa) berhasil membuat pihak kampus akhirnya membatalkan perpindahan.
Selang beberapa tahun kemudian tepatnya 2021, kampus melakukan melakukan penggusuran dan renovasi sekitar gedung stasiun lama. Penggusuran tersebut dilakukan saat pandemi Covid-19 melanda dan kondisi mahasiswa sedang lengah. Sebagian besar mahasiswa angkatan 2024 tidak akan menyadari dibalik berdirinya gedung Prajnaparamita pernah ada upaya gerakan masif dari mahasiswa FUAD dan Ormawa.
Perlawanan mahasiswa adalah sepenggal cerita gerakan mahasiswa yang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun, ketika berbicara gerakan mahasiswa hari ini justru malah melemah. Tentunya kondisi ini punya penyebab yang secara tak kasat mata. Tak jarang mahasiswa itu sendiri tidak menyadarinya alasan mereka susah bergerak hari ini.
Perubahan Kebijakan Pengurus Ormawa Dan Badai Pandemi Covid-19.
Lima tahun belakangan kondisi Ormawa perlahan telah digerogoti melalui pendisiplinan sistematis. Keputusan direktorat jendral pendidikan islam nomor 4961 tahun 2016 mengatur tentang rentan semester kepengurusan. Maftukhin selaku rektor IAIN Tulungagung ketika itu menanggapi dengan membuat peraturan turunan Surat Keputusan Rektor. Peraturan tersebut baru terealisasi di tahun 2019 yang mengubah rentan kepengurusan Ormawa dialihkan semester genap ke semester ganjil.
Melalui peraturan tersebut, pengurus Ormawa dipaksa untuk menjalankan organisasi dengan setengah periode saja. Mereka harus memaksimalkan kaderisasi dalam lembaganya masing-masing. Sejujurnya itu membuat seluruh Ormawa menjadi kelimpungan mengejar target yang seharusnya dijalankan 2 semester dipangkas menjadi 1 semester saja.
Transisi kepengurusan itu memiliki dampak pada generasi setelahnya. Alhasil kepengurusan selanjutnya menjadi melemah. Meski pemotongan itu hanya terjadi satu semester, tetap saja bahwa diperlukan penyesuaian untuk memulihkan kaderisasi. Tidak berselang lama setelahnya badai menerjang dengan munculnya situasi pandemi Covid-19.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Hantaman bertubi tubi ini makin melemahkan kondisi gerak Ormawa. Seluruh Ormawa akhirnya tidak punya pilihan banyak untuk dapat bertahan. Sebagian akhirnya memilih untuk mengontrak rumah di sekitar kampus secara sembunyi-sembunyi. Ormawa dalam posisi ini mulai terpecah karena mereka tidak dapat berkumpul bersama karena larangan dari pemerintah juga.
Seluruh Ormawa akhirnya disibukan untuk membenahi kondisi internal mereka masing-masing. Hingga mereka perlahan kehilangan kawan ormawa satu sama lain karena terpaut jarak kontrakan berjauhan dan tak dapat berkumpul. Selain itu, sebagian mahasiswa baru yang tak pernah mengenal kampus hanya ikut dalam gerakan ormawa dari rumah. Persoalan ini pun menjadi mimpi buruk bagi gerakan mahasiswa.
Setelah kondisi terpuruk pasca pandemi Covid-19 yang melanda selama kurang lebih 2 tahun, kondisi gerakan mahasiswa kala itu menjadi sangat memprihatinkan. Semua Ormawa akhirnya prematur karena hantaman bertubi-tubi.
Sebelum pandemi melanda seluruh ormawa UIN SATU dapat melakukan aktivitas organisasi dalam kampus tanpa batasan malam. Setelah pandemi mereda, kampus menerbitkan kode etik mahasiswa baru yang salah satunya berupa penambahan aturan tentang pembatasan aktivitas mahasiswa hingga jam 22.00 WIB.
Peraturan ini berdampak jelas pada daya kritis mahasiswa. Pasalnya mahasiswa pada siang hari telah disibukkan dengan urusan akademiknya. Mereka hanya punya waktu untuk dapat berkumpul setelah malam menjelang. Hal itu pun, sudah membuat mahasiswa kelelahan menghadapi tugas akademiknya. Dengan adanya aturan tersebut mahasiswa jelas secara tidak langsung di penggal nalar kritisnya.
Mahasiswa Menolak Menyerah Dengan Keadaan
Di tengah kondisi terpuruk mahasiswa dan Ormawa terpuruk menolak menyerah dengan keadaan. Menyerah bukan pilihan yang akan dilakukan mahasiswa. Harapan baru berupaya kembali mengudara. Pemulihan gerakan mahasiswa dilakukan dari berbagai upaya baik dari organ mahasiswa maupun dari ormawa.
Gerakan perpustakaan jalanan muncul dari salah satu mahasiswa yang merindukan gerakan kritis mahasiswa. Mereka mengupayakan untuk menyediakan bacaan kritis yang seharusnya dibaca oleh mahasiswa. Upaya itu semata mata merupakan cara untuk memunculkan harapan baru dari mahasiswa. Sayangnya, harapan itu dipupus oleh satpam dengan dalih mengganggu ketertiban.
Ormawa pun juga mengupayakan untuk kembali menghidupkan gerakan mahasiswa. UKM Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Himalaya mengupayakan untuk melakukan kegiatan dalam kampus. Mereka mulai kembali mengambil hak ormawa untuk mendapat ruang belajar diluar ruang kampus. Aktivitas yang diupayakan oleh mereka terhalang juga oleh peraturan kode etik mahasiswa.
Jalan yang ditempuh mahasiswa dan ormawa penuh tantangan. Mereka yang telah melakukan upaya seringkali masih mendapat teguran dari Satpam. Tentunya teguran itu berasal dari pihak kampus sebab secara heirarki satpam kampus hanya menjalankan perintah dari atasan yakni pihak rektorat sendiri.
Merujuk pada peraturan yang tertuang pada UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi seharusnya kampus memberikan fasilitas untuk pengembangan akademik. Selain itu, beberapa persoalan seperti diatas merupakan persoalan yang harusnya dapat dilindungi seperti yang tertulis pada pasal 8 ayat 3 yang berbunyi:
“Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.”
Harapan baru harus tetap diciptakan demi kemakmuran masyarakat. Meski saya tahu tantangannya untuk memulihkan gerakan mahasiswa tidak mudah. Kampus pun juga harusnya dapat mendukung gerakan mahasiswa agar fungsi mahasiswa sebagai agent of change, Iron Stock, penjaga nilai, kekuatan moral, dan sebagai kontrol sosial di masyarakat dapat tercipta.
Penulis: Dimas wahyu Gilang B (Kontributor)
Editor: Novinda