Secarik kertas dan seuntai pena
Mungkin juga hasil dari kandungannya
Tak hanya hembusan napas,
Pandanganpun ia segarkan.
Tak disangkal dunia amat tergantung pada penghasilannya,
Bahkan ketika dia benar-benar menghilang bumi ini tak lagi berfungsi.
Dialah sang paru-paru dunia, Begitu katanya.
Ketika 13 hektar lumpuh setiap tahunnya,
Apakah mereka menghiraukan?
Ya, mungkin begitu.
Mereka benar-benar gelap mata.
Menghamburkan harta rampasan, untuk merusak hutan.
Bahkan bumi telah mengirim sinyal kecemasan
Bukan bantuan, justru beton-beton datang untuk membungkam
Dikata biadab, mereka makan hasil hutan
Habis layu, kian dibuang
Perkembangan yang luar biasa bukan?
Hutan hijau menjadi kelabu
Daun-dau nmenjadi pintu
Kelompak bunga yang merekah,
Berevolusi menjadi kaca-kaca perusak mata.
Tidakkah patut jika bumiyang kita pijak murka
Tidakkah patut jika hutan yang rindang kini membara
Tidakkah patut jika bencana di mana-mana
Kemudian salah siapa?
Takdir, katanya.
Kemudian, ke mana peran tangan yang selama ini berkutik
Tidakkah mampu menghentikan huru-hara ini
Tentu tidak. Sebab mereka hanya bisa menanam beton
Tak tau cara menanam pohon.
Ironis bukan! Tangan yang seharusnya melindungi, justru menjadi algojo.
Setidaknya, biarkan apa yang bunda lahirkan membawa kesembuhan
Hidangkan aku secarik kertas dan seuntai pena
Biarkan alunan pena menuliskan derita alam raya
Menyuarakan tangis bunda,
Mengembalikan paru-paru dunia.
Penulis: Amelia Alfi Karimah
Redaktur: Rokhim Mustofa