Judul buku : Habis Gelap Ter­bit­lah Terang

Penulis : Armi­jn Pane

Pener­bit : BALAI PUSTAKA

Tahun Ter­bit : 2007

Tebal Buku : 286 hlm, 18,5 cm

Resen­sor : Nur Fitriyani

Menikmati suatu karya sas­tra sama hal­nya den­gan mem­beri “nafas” bagi jiwa, men­gasah rasa seni dan kepekaan. Lewat sebuah karya, manu­sia dap­at men­gasah kepekaan budi dan emosinya, bercer­min dalam situ­asi dunia yang dihu­ni dan dike­nal pada seti­ap zaman. Melalui budaya, gaya bahasa, sejarah, struk­tur dan tatanan masyarakat, ser­ta segala yang menyangkut pada masa itu tergam­bar jelas. Tidak luput juga perasaan seti­ap manu­sia yang dap­at muncul dari hati, seo­lah-olah kita sendiri ikut didalam ceri­ta sekali­gus mengalaminya.

Nov­el Karya Armi­jn Pane ini men­ga­jak kita untuk menye­la­mi sosok yang men­ja­di per­lam­bang per­juan­gan hak perem­puan. Kar­ti­ni, sebuah nama dan cita-cita yang selalu diden­gung-den­gungkan keti­ka mem­bicarakan eman­is­pasi wani­ta. Tiap tahun dalam bulan April, di selu­ruh negeri ini Kar­ti­ni diperingati oleh kaum perem­puan Indonesia.

Lewat karya yang dis­ajikan dalam seti­ap lem­barnya mem­bu­ka piki­ran kita akan sosok Kar­ti­ni. Menye­lidi­ki apa yang men­ja­di penye­bab Kar­ti­ni dimu­li­akan demikian itu. Den­gan men­cari sebab-sebab­nya itu­lah, supaya kita men­ja­di tahu bagaimana seharus­nya rupa kehor­matan yang ditu­jukan kepadanya. Sesung­guh­nya yang ter­pent­ing adalah bagaimana kita bisa menyam­paikan dan menga­malkan cita-cita Kar­ti­ni sesungguhnya.

Pada dasarnya apa yang dici­ta-citakan adalah men­gubah kedudukan perem­puan. Bukan berar­ti dirinya melarang perem­puan untuk menikah. Tapi jika selaras antara perem­pun dan laki-laki dalam pen­didikan tidak ada kesen­jan­gan diantara mere­ka. Ter­lebih masa depan bangsa ada pada perem­puan, kare­na dari rahim­nya penerus bangsa itu lahir. Bayangkan jika perem­puan tidak berpen­didikan bagaimana dia nan­ti akan men­ga­jarkan pada anak-anaknya. Kare­na didalam satu sel kecer­dasan perem­puan akan menu­run pada anaknya.

Didalam buku ini tergam­bar jelas bagaimana Kar­ti­ni men­cu­rahkan selu­ruh isi hati dan pan­dan­gan ter­hadap kehidu­pan­nya, mem­band­ingkan­nya den­gan dunia barat yang begi­tu bebas, tidak mem­be­dakan antara laki-laki dan perem­puan. Ter­lebih bagi dirinya soal pen­didikan. Selain itu, bagaimana Kar­ti­ni men­caci aga­manya dan adat isti­a­dat­nya kare­na apa yang men­ja­di pan­dan­gan­nya adalah dunia Barat.

Pem­ba­ca dia­jak untuk menye­la­mi seti­ap gore­san-gore­san Kar­ti­ni. Ten­tang masyarakat­nya, kelu­ar­ga, kese­har­i­an, keti­ka dipin­git, dila­rang seko­lah, dila­rang menulis, dan sem­pat dila­rang untuk men­gir­im surat. Hal terse­but dit­ulis secara nya­ta didalam surat-surat­nya dimana ada tokoh Stel­la, nyonya Ovink Soer, Tuan Aben­danon, nona Zee­han­de­larr, dan Tuan Van Kol.

Situ­asi pada saat itu begi­tu mem­ben­ten­gi perem­puan ter­lebih perem­puan Jawa. Adat isti­a­dat yang masih dipegang kuat men­ja­di suatu nor­ma yang harus dipegang hing­ga anak-cucu. Sedik­it saja menyalahinya bukan hanya dirinya yang dile­cehkan tapi selu­ruh kelu­ar­ga pun akan ter­coreng. Ter­lebih kare­na dirinya berasal dari kalan­gan Priyayi atau kelas bang­sawan. Perasaan ini­lah yang selalu meng­han­tui piki­ran Kar­ti­ni keti­ka harus menu­ru­ti kata hati atau memikirkan kehor­matan keluarga.

Kar­ti­ni san­gat miris meli­hat masyarakat Jawa dis­eke­lil­ingnya khusus­nya perem­puan hanya men­ja­di pan­jan­gan bilik suaminya. Per­wak­i­nan muda berkem­bang pesat sedan­gkan pen­didikan mere­ka kurang untuk men­didik anak-anak mere­ka. Keing­i­nan­nya mem­bu­at seko­lah perem­puan men­e­mui banyak ham­bat­an dan rintangan.

Tidak semu­dah mem­ba­likkan tela­pak tan­gan, per­juan­gan kar­ti­ni untuk bisa mem­bu­at perem­puan seja­jar den­gan laki-laki harus bergu­lat den­gan zaman­nya. Tidak men­da­p­at dukun­gan dari kelu­ar­ga, hanya ayah dan kakak laki-lakinya yang menger­ti akan keing­i­nan dan cita-citanya. Namun, lagi-lagi keing­i­nan­nya terkalahkan den­gan adat Jawa bah­wa perem­puan tidak boleh melebi­hi laki-laki. Jikalau itu ter­ja­di pihak laki-laki akan diang­gap tidak mam­pu keti­ka nan­ti mem­bi­na keluarga.

Per­juan­gan Kar­ti­ni untuk masyarakat­nya, men­ja­di per­juan­gan di dalam jiwanya. Bukan per­juan­gan yang hanya ter­batas kepa­da suatu masyarakat atau suatu manu­sia saja, melainkan sudah men­ja­di per­juan­gan yang mungkin juga ter­ja­di di luar negeri. Sebuah per­juan­gan den­gan diri sendiri dalam berjuang atas dasar kemanu­si­aan. Ibarat kata per­juan­gan itu seru­pa per­juan­gan yang hen­dak ter­bang melam­bung ting­gi, tetapi tia­da berdaya.

Jika kita ten­gok perem­puan saat ini, san­gat jauh dari apa yang dici­ta-citakan Kar­ti­ni. Menyoal pen­didikan masih diang­gap biasa, tidak diang­gap pent­ing. Tidak bisa dipungkiri masyarakat desa khusus­nya meman­dang pen­didikan kurang diang­gap pent­ing. Sehing­ga jika kita ter­jun di dalam masyarakat selalu kita dap­ati anak perem­puan menikah diu­sia yang masih san­gat muda.

Sejarah bangsa meru­pakan catatan pen­gala­man perkem­ban­gan bangsa. Perib­a­hasa men­gatakan bah­wa pen­gala­man adalah guru ter­baik. Oleh kare­na itu bangsa yang mau maju sudah ten­tu harus bela­jar sejarah.

Kalau bangsa ini ingin memi­li­ki masyarakat perem­puan yang maju sesuai den­gan cita-cita dan per­juan­gan Kar­ti­ni, maka sejarah­nya per­lu dicer­mati kem­bali. Sebab kalau tidak demikian per­juan­gan para Kar­ti­ni masa kini bisa saja kurang sesuai den­gan apa yang men­ja­di cita-cita ibu Kar­ti­ni. Walaupun sekarang ini sudah banyak perem­puan Indone­sia yang berpen­didikan ting­gi dan men­dudu­ki jabatan pent­ing diberba­gai instansi.

Sekarang ini kita sudah bisa meli­hat kema­juan para perem­puan Indone­sia dalam suatu indikasi di mana peker­jaan atau jabatan yang dulu hanya didudu­ki oleh kaum laki-laki sudah banyak didudu­ki kaum perem­puan. Berba­gai peker­jaan atau jabatan mulai dari Pegawai Negeri atau swasta, pilot, pen­gacara, notaris, dok­ter, direk­tur, menteri, bahkan sam­pai jabatan pres­i­den sudah banyak diper­ankan oleh perem­puan Indonesia.

Lalu per­tanyaan yang tim­bul adalah: “Apakah peker­jaan men­ja­di ibu rumah tang­ga itu ren­dah?”, “Apakah perem­puan yang memil­ih ting­gal dirumah seba­gai ibu rumah tang­ga diang­gap ket­ing­galan zaman?” Jawa­ban­nya adalah tidak.

Di masa sekarang dan masa yang akan datang, sesuai den­gan kema­juan teknolo­gi teruta­ma dalam bidang inter­net, san­gat mungkin akan semakin banyak orang yang memil­ih bek­er­ja di rumah. Tidak dap­at dipungkiri kema­juan zaman yang dibaren­gi den­gan teknolo­gi yang cang­gih akan semakin mem­per­mu­dah manu­sia. Tidak jarang kita temui ibu rumah tang­ga melakoni bis­nis ruma­han begi­tu pun laki-laki.

Seir­ing den­gan perkem­ban­gan zaman, melalui ger­akan eman­si­pasi ini, perem­puan Indone­sia akhirnya dap­at mense­ja­jarkan diri den­gan kaum pria dalam berba­gai bidang kehidu­pan, baik dibidang poli­tik, ekono­mi maupun sosial. Perem­puan sudah dap­at men­dudu­ki posisi pent­ing di bidang birokrasi. Perem­puan juga sudah dap­at berkiprah di bidang poli­tik. Selain itu, perem­puan juga sudah banyak yang suk­ses di bidang sosial dan ekonomi.

Selayaknyalah kita mema­ha­mi benar akan per­juan­gan dan cita-cita Kar­ti­ni. Sehing­ga men­ja­di cer­mi­nan kita apa yang harus kita lakukan dimasa men­datang khusus­nya perem­puan. Seyo­gyanya perem­puan akan men­ja­di seo­rang ibu dan men­ga­suh anak, namun bagaimana posisinya seper­ti itu dia bisa menengem­bangkan dirinya.

Ania

penyu­ka sas­tra, trav­el­ing, berkhay­al, pengge­mar puisi Aan Mansur (Tidak Ada New York Hari Ini).