Sore itu, kala bumi sedang menitikkan air untuk kesekian kalinya. Seorang remaja di persimpangan jalan sedang duduk manis termenung melihat lalu lalang kendaraan di tengah kebisingan kota. Deni namanya, remaja desa yang berjuang di tengah kerasnya kehidupan kota. Hidup berdua dengan seorang nenek yang serba kekurangan memaksa Deni untuk banting tulang ke sana ke mari guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Broken home, kata yang paling dihindari oleh telinga Deni saat berbincang dengan orang lain. Kata itu hanya akan mengingatkan pada kenangan buruk yang terjadi padanya.
Di kota Deni bekerja sebagai pedagang asongan yang rela berpindah dari tempat ke tempat untuk menawarkan dagangannya.
“Cangcimen, cangcimen, cangcimen!,” ucap Deni tiap berpapasan dengan orang.
Ganasnya sinar matahari tak pernah melunturkan semangat dan tekatnya untuk berjualan. Dari satu bus ke bus yang lain, dari satu jalan ke jalan yang lain dilakoninya setiap hari. Hingga pada suatu hari, ia berada di titik ia merasa ada yang aneh dengan kehidupan yang selama ini dilakoninya. Setelah ia bertemu dengan berbagai macam orang yang membuat hidupnya seakan-akan ada yang aneh dan merasa ada yang kurang.
Pada suatu hari, dia bertemu dengan seorang disabilitas yang tetap gigih bekerja sebagai pedagang asongan juga. Meskipun dengan keterbatasan fisik, dia tetap melakukan pekerjaannya dengan senang hati. Di samping keterbatasan fisik, pun kekurangan dari segi materi dan segala macam urusan duniawi.
Di tengah keramaian kota, seorang disabilitas itu berjalan terbata-bata dan hanya bertumpu pada tongkat di ketiaknya, tak alpa menjajakan dagangannya. Jatuh bangun dia rasakan saban hari. Waktu itu, dengan sorot mata yang tajam Deni melihat ke arah seorang disabilitas yang sedang beristirahat, bersambut dengan teriakan dari seorang pemilik warung, “Kalau mau mengemis jangan di sini!”
Cacian, hinaan, dan perlakuan yang tidak sepantasnya didapatkan sudah jadi makanannya sehari-hari, hingga Deni memberanikan diri untuk menghampiri dan bertanya padanya.
“Apa yang membuatmu bertahan hingga saat ini?,” tanya Deni.
“ Inilah keputusan Tuhan, aku bekerja keras semampuku, aku bersyukur, dan aku yakin Tuhan tidak pernah salah,” jawabnya.
Setelah melihat secara langsung kehidupan seorang disabilitas itu, Deni mulai merenung dan bergumam dalam hati.
“Ya Tuhan, mengapa engkau ciptakan orang yang hidupnya seakan-akan tidak berguna ini? Buat apa dia hidup di dunia ini jika hanya Engkau berikan kesulitan dalam menjalani hidupnya?,” batinnya.
Dan hal itu terus menghantui pikirannya terus menerus hingga terbawa dalam lelapnya. Pada saat itu juga Deni meragukan sembari mempertanyakan keputusan Tuhan. Setelah merenung cukup lama mengenai kejadian yang beberapa waktu lalu dialaminya, Deni pun mulai tersada. Satu hal yang begitu istimewa yang sudah lama tidak disadari oleh Deni adalah rasa syukur. Deni selalu beranggapan bahwa dirinya adalah orang yang paling menderita di muka bumi. Padahal banyak sekali orang di luar sana yang mengalami hal yang lebih sulit dari pada kehidupannya.
Apa yang dirasakannya selama ini, resah dan gelisah menyelimuti kalbu, marah dengan keadaan dan emosi yang tak tertahankan. Ia sadar bahwa seseorang yang terlihat mudah menjalani kehidupan dan berhasil menggapainya tidak pernah bersembunyi di balik kata “beruntung”. Hal-hal sederhana yang dapat dia petik dari sebuah kehidupan yang ia jalani selama ini adalah setiap manusia terlahir di bumi memiliki peluang untuk berhasil. Bersyukur adalah puncak tertinggi keberhasilan seseorang dalam menjalani hidup.
“Kehidupan bukan untuk dibanding-bandingkan, tetapi untuk dijalani, dan di syukuri”, gumam Deni setelah tenggelam dari lamunan panjangnya. Astalavista!
Penulis: Zaky
Redaktur: Natasya